Gerakan Mahasiswa dalam Mengawal Hegemoni Rezim

Oleh : Subhan Agung

Arbi Sanit, dalam M. Rusli Karim (1997, h.15) mengatakan bahwa sedikitnya ada lima alasan mengapa mahasiswa terpanggil untuk menjadi agen perubah (agen of social change) atas segala kemapanan yang menindas rakyat, yakni ; pertama, adanya kesadaran berbagai kelompok masyarakat yang pendidikannya relatif baik. Kedua, lamanya proses pendidikan yang dialami memberikan sosialisasi politik yang relatif lama. Ketiga, akulturasi sosial-budaya yang tercipta di lingkungan kampus. Keempat, kesadaran berbagai kelompok elite di kalangan pemuda yang nantinya akan memasuki “lapisan atas” dalam hierarki politik dan kepemimpinan bangsa. Kelima,  keterlibatannya dalam pemikiran dan pencarian solusi atas masalah sosial kemasyarakatan.

Harus diakui bahwa sejarah menunjukkan gerakan mahasiswa dalam perkembangannya terjadi pasang-surut. Selain itu juga gerakan mahasiswa masih terkesan tidak kompak, sporadis dan membludak ketika ada satu momentum dalam gejala sosial tertentu. Ini bisa terlihat dari terkotak-kotaknya gerakan mahasiswa dalam dekade zaman tertentu. Misalnya kita mengenal gerakan mahasiswa 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978,1990-an dan 1998. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh, di mana posisi mahasiswa yang sangat terbatas oleh waktu dan mengurai teori di kampus menjadi satu penyebab signifikan.

Dari periode-periode yang dipaparkan di atas, maka sangatlah kentara bahwa pergerakan mahasiswa merupakan gerakan yang sudah mengakar semenjak puluhan tahun silam. Konsistensi inilah yang akan terus diperjuangkan oleh mahasiswa untuk selalu bersikaf kritis terhadap realitas objektif di sekitarnya yang dinilai mengalami ketimpangan dan ketidakadilan.

Pantas kiranya ketika gerakan mahasiswa menjadi elemen penting bangsa ini. Bahkan dalam studi Ilmu Politik[1], posisinya merupakan salah satu kekuatan politik di negeri ini. Salah satu ranah yang menjadi titik perhatian gerakan mahasiswa adalah sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang berpengeruh besar terhadap nasib masyarakat. Dengan naluri kritis dan senantiasa dekat dengan realitas objektif masyarakat, tidak kurang mahasiswa harus menentang kebijakan tersebut.

“Penentangan” mahasiswa yang dilandasi oleh idealisme yang mereka perjuangkan yang merupakan hasil olah fikir, olah pergulatan --dialectica, bahasanya GWF. Hegel---wacana dan teori menjadi satu persepsi yang tegas dalam membela masyarakat atas sikap, tindakan dan kebijakan pemerintah yang arogan dan hegemonik dalam bahasanya Gramsci disebut perlawanan kaum intelektual (counter hegemony).

Menurut Al-Zastrow Ng (1998, 143), dari segi ferforma dan orientasi gerakan, secara umum kita dapat melihat empat macam tipologi gerakan mahasiswa. Pertama, tipe gerakan elitis dan berorientasi elitis. Pada tipe ini sama sekali tidak punya concern pada persoalan sosial-kemasyarakatan. Bagi kelompok ini realitas adalah kenikmatan hidup, oleh karenanya aktivitas mereka sepenuhnya diorientasikan pada upaya memenuhi kenikmatan. Persoalan kemiskinan, problem sosial dan sejenisnya adalah merupakan sesuatu yang terkutuk dan sama sekali harus dihindari karena menjijikkan. Kedua, gerakan populis, berorientasi elitis. Tipe ini selalu akrab bergumul dengan berbagai problem sosial dan membincangkannya setiap saat. Namun, tetap saja tidak berpretensi menyelesaikan masalah tersebut. Tipe ini justru merasa diuntungkan dengan adanya problem sosial. Bagi mereka kemiskinan dan problem kerakyatan merupakan komoditi yang biasa diperjualbelikan. Gerakan ini mempertahankan elitisme dengan bersikap populis. Tipe semacam ini sama bahayanya dengan tipe pertama. 

Ketiga, gerakan elitis, berorientasi populis. Pada tipe ini sudah ada kemauan untuk melakukan transformasi sosial. Namun, karena alasan-alasan tertentu (status sosial, kemampuan bahkan derajat keberanian) menyebabkan mereka enggan menyentuh langsung medan yang sesungguhnya. Problem-problem sosial diamati dan dipecahkan dari jauh, seperti seorang dokter yang menyembuhkan pasien. Kelompok ini tercermin dalam gerakan kelompok diskusi, pers mahasiswa dan sejenisnya. Kelompok keempat yang paling ideal yaitu gerakan populis, berorientasi pupulis. Pada gerakan ini seluruh aktivitas bersentuhan langsung dengan fakta dan realitas empiris yang ada dan bertujuan untuk menyelesaikan dan menjawabnya. Gerakan ini lebih efektif karena ada hubungan emosional dan sikap empati yang cukup tinggi antara pelaku aksi dengan masyarakat. 

Pemetaan yang dipaparkan Al-Zastrouw di atas, boleh jadi bisa menjelaskan orientasi dari gerakan mahasiswa. Walaupun gerakan mahasiswa dalam sejarah politik bangsa kita sudah teruji dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan, tetapi tidak berarti gerakan mahasiswa tidak bisa diperalat kekuasaan. Pada kenyataannya gerakan mahasiswa menjadi salah satu kelompok yang rawan ditumpangi kelompok kepentingan tertentu. Hal ini wajar karena gerakan mahasiswa sifatnya labil dan akan terorganisir secara global jika dianggap memiliki common enemy yang sama. Di sisi kelemahan tersebut semoga gerakan mahasiswa ke depannya semakin dewasa dan tetap konsisten dalam mengawal kekuasaan dari setiap rezim. Amin.  

Referensi 
Rodee, Clymer Carlton, dkk, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Cet IV,  Raja Grafindo Utama, Jakarta.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Mizan, Bandung.
Ng, Al-Zastrouw, 1998, Reformasi Pemikiran : Respon Kontemplatif  terhadap Persoalan Kehidupan dan Budaya,  LKPSM,  Jakarta.


[1]Prof. DR. Clymer Rodee, dkk, bukunya Pengantar Ilmu Politik (2000;23) menyebutkan bahwa buku Biografi Asosiasi Ilmu Politik Amerika tahun 1973 mencirikan delapan kategori umum Ilmu Politik, yang dibagi dalam enam belas bidang spesialisasi.

0 komentar:

Post a Comment