Pertautan Kepentingan antar Elit : Studi Tarik Ulur Kepentingan antar Elit Politik Lokal dalam Proses Pemekaran Kabupaten Pangandaran

Oleh:
Subhan Agung[1]
Fitriani Yuliawati[2]



[1] Pengajar Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

[2] Pengajar Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya, mahasiswa program Master Kebijakan Publik STIA, Tasikmalaya.



Pendahuluan
Pemekaran wilayah merupakan salah satu fenomena yang paling booming pada era otonomi daerah ini. Semakin banyak daerah yang merasa mampu menjalankan pemerintahannya sendiri, perbincangan diseputar wacana pemekaran wilayah (kabupaten/kota dan provinsi), akhir-akhir ini merupakan salah satu tema politik yang banyak dibicarakan di masyarakat setelah media baik cetak maupun elektronik menyoroti tentang kasus pembentukan provinsi Tapanuli di Sumatra Utara yang akhirnya menimbulkan korban dengan tewasnya ketua DPRD Sumut. Pergolakan seputar diskursus tentang pemekaran wilayah bahkan sudah sangat mengkristal dan mewacana dengan cepat, tajam, dan menimbulkan friksi politik yang keras.Maka tak heran isu ini menjadi seperti bola salju, yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal.
Sebagai contoh untuk menggambarkan hal di atas adalah semisal munculnya provinsi-provinsi baru di daerah Sumatera Utara, entah itu menjadi dua atau tiga provinsi.Selain itu, fenomena pemekaran pun marak terjadi pada tingkat kabupaten.Wacana ini merupakan hal yang wajar, mengingat beberapa daerah lainnya telah “sukses” dalam melakukan pemekaran. Misalnya, kabupaten Ciamis yang dimekarkan menjadi 2 Kabupatenmelalui UU No. 27 tahun 2002 mengenai Pembentukkan Kota Banjar di Jawa Baratyang disahkan pada tanggal 11 Desember 2002 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Februari 2003, yaitu kabupaten Ciamis dan kota Banjar yang dianggap efektif oleh masyarakat kabupaten Ciamis dan kota Banjar karena telah berhasil memandirikan kota Banjar, baik pada segi ekonomi maupun pemerintahan. Sehingga, keberhasilan ini akhirnya menimbulkan wacana baru pemekaran kabupaten Ciamis Selatan (Pangandaran saat ini).

Memahami Konflik antar Elit
Sebuah konflik tentu saja tidak terlepas dari adanya suatu kepentingan atau tujuan diantara pihak-pihak yang berkonflik. Menurut Paul Conn dalam Maswadi Rauf (2000), tujuan konflik dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu: pertama, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mempunyai tujuan yang sama-sama ingin mendapatkan, yaitu berupa perebutan jabatan atau kekuasaan politik atau jabatan pemerintahan. Kedua, satu pihak ingin mendapatkan, sedangkan pihak yang lain ingin mempertahankan apa yang selama ini dimiliki. Seperti yang terjadi dalam pemilihan calon legislatif. Ketiga, pihak-pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan apa yang telah ada, baik berupa persaingan ekonomi, teknologi, persenjataan, dan sebagainya antarnegara.
Vilpredo Pareto, dalam Haryanto (1981:180) mengatakan, elite adalah individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia, elite berjuang melawan massa, melawan mereka yang kurang berbakat, kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan, walaupun di sisi lain mereka juga diblokir oleh kecenderungan elit berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri (self perpetuating) dan turun-temurun.
John Higley dan Michael G. Burton (1987:17-18) menghidupkan teori konflik elite dalam korelasinya dengan transisi menuju demokrasi. Kedua pakar ini membagi tiga tahap struktur elit dalam proses transisi. Pertama, elit yang bersatu secara ideologis. Terjadi dalam negara otoriter. Dalam rezim yang otoriter, mayoritas elit yang kuat secara politik umumnya menjadi anggota partai politik yang sama, mendukung kebijakan politik yang sama dan menunjukkan loyalitas kepada pemimpin yang sama. Dalam situasi ini, politik sangat stabil namun partisipasi politik yang luas tidak terjadi. Bersatunya elite dalam negara otoriter dianggap bukan proses yang murni dan sukarela, namum dibentuk di bawah sistem yang represif. Secara rasional, para elite akan memilih untuk bersatu karena hanya melalui penyatuan diri dengan irama negara otoriter, maka kepentingan politik meraka terlindungi. Kedua,elite yang berkonflik. Bersatunya elite secara ideologis tidak akan bertahan lama. Penyatuan dianggap menentang hakikat masyarakat modern yang beragam. Pada saatnya, elit yang bersatupun akan pecah dan berkonflik satu sama lain. Dalam fase perpecahan, para elit secara publik mulai menunjukkan perbedaan. Mereka bukan saja berbeda dalam orientasi politik, namun mulai juga menjadi anggota partai yang berbeda dan mendukung pemimpin yang berbeda pula. Konflik elit ini dianggap situasi yang tidak terhindari untuk keluar dari negara otoriter. Hanya, melalui konflik elite yang serius, negara otoriter menjadi rapuh dan kemudian jatuh. Konflik elite di satu sisi berjasa dalam pelumpuhan negara otoriter, namun di sisi lain juga berbahaya, jika konflik elit berterusan, negara selalu dalam keadaan krisis yang membuat politik tidak stabil. Jauh lebih berbahaya lagi, apabila konflik elit yang berkepanjangan dapat membuat negara selalu dalam ancaman kerusuhan, anarki dan kekerasan yang berdarah. Ketiga, elit yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi. Untuk sampai ke demokrasi, para elite harus menapaki ke satu tahap yang lebih maju lagi. Yaitu mengubah struktur elit dari situasi konflik tanpa adanya aturan main bersama yang disepakati, menuju kompetisi elit dalam prosedur demokrasi
Penelitian ini berawal berangkat dari pemahaman konflik itu sendiri.Konflik dalam suatu masyarakat dan negara ada kalanya sangat diperlukan, hal tersebut karena konflik atau perbedaan, baik pendapat, aspirasi maupun ide dapat memperkaya gagasan yang dapat dikembangkan ke arah kemajuan.Pengajuan pemikiran-pemikiran yang berlainan dan bervariasi merupakan sumber inovasi, perubahan dan kemajuan apabila perbedaan tersebut dapat dikelola melalui mekanisme penyelesaian yang baik.Dengan demikian konflik dapat berfungsi sebagai suatu sumber perubahan kearah kemajuan, seperti yang dikemukakan oleh Dahrendorf (dalam Sastroatmodjo, Sudjiono, 1995:243), bahwa konflik mempunyai fungsi sebagai pengintegrasi masyarakat dan sumber perubahan.
Analisis ini akan pembahasannya akan dibagi dalam dua kajian, yakni ; pertama, tentang kronologis dan dinamika pemekaran Pangandaran/ Ciamis Selatan ini. Kedua, akan membahas tentang proses pertautan antar elit politik dalam proses pemekaran ini yang akan digambarkan dengan model kontentius politik. Hal ini dilakukan agar lebih mampu menggambarkan proses pertentangan antar elit (aktor politik) dalam memperebutkan kepentingannya, sehingga pemetaannya jelas. Model ini tetap tidak menghilangkan substansi model analisis yang digunakan yakni interaktif. Persepsi dan interpretasi penulis didapat dari mendialogkan antara realitas dengan dikatakan informan. Mendialogkan apa yang dikatakan informan yang satu dengan yang lain dan mendialogkan apa yang dikatakan informan dengan teori yang ada. Model kontentius hanya merupakan salah satu konsep untuk mendialogkan antara teori dengan apa yang dikatakan informan.

Kronologis Pemekaran
Sesuai dengan pemahaman konflik di atas, bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar dalam hidup bernegara dan bermasyarakat yang demokratis. Namun, konflik yang tidak mampu dikelola dengan baik memunculkan masalah baru bagi demokratisasi itu sendiri. Dalam konteks konflik yang tidak mampu dikelola, egosentrisme masing-masing pihak yang berkonflik sangat mendominasi dan cenderung akhirnya kepentingan pribadi dan golongan yang sangat mendominasi. Konteks itulah paling tidak yang menggambarkan proses dan upaya pemekaran di Ciamis menjadi kabupaten Ciamis dan Pangandaran.
Namun selain antusiasme yang memang standar terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia, konteks desakan kelompok masyarakat di wilayah Ciamis Selatan memiliki konteks dan setting tertentu. Semisal luasnya wilayah geografis di wilayah Pangandaran ke pusat ibu kota yang mencapai jarak di atas 70 km/jam, sehingga menyusahkan masalah urusan publik di wilayah ini. Selain itu juga isu kesenjangan Pendapatan Asli Daerah yang besar dari Pangandaran yang selama ini dikeruk pemerintah Ciamis dan masih banyak faktor lain yang menguatkan pembentukan calon daerah pemekaran ini.
Satu hal yang penting dibahas di sini adalah adanya anggapan keberhasilan kota Banjar yang dianggap berhasil dalam memajukan kotanya setelah lepas dari kabupaten Ciamis. Motivasi itu dianggap para elit politik, terutama mereka yang merasa selama ini kurang optimal perannya di Ciamis ataupun yang berasal dari daerah tersebut yang kemudian mewacanakan kabupaten Ciamis Selatan atau saat ini Pangandaran.Apalagi wacana tersebut dinilai banyak kalangan tidak terlalu berlebihan dikarenakan selama ini pendapatan kabupaten Ciamis sangat besar dari wilayah Ciamis Selatan, terutama Objek Wisata Pangandaran.
Seperti kebanyakan wacana pemekaran lainnya di Indonesia, persoalan apakah usulan tersebut mewakili aspirasi rakyat ataukah hanya kepentingan segelintir elit politik cukup sulit menjawabnya.Hal ini dikarenakan kelompok elit tersebut dengan elegan mampu mencitrakan bahwa mereka adalah representasi dari masyarakat yang menginginkan adanya perubahan radikal yang porogresif dalam hal perbaikan kesejahteraan dan pembangunan di wilayahnya.Artinya bagi masyarakat sebenarnya ada ada tidaknya pemekaran yang penting terjaminnya kesejahteraan mereka.
Selain hal tersebut di atas, konteks munculnya wacana pemekaran juga mengalami kemiripan dengan trend yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia. Trend tersebut biasanya muncul karena adanya alasan keinginan untuk mandiri pada daerah tersebut, hal tersebut juga melatarbelakangi terbentuknya pemekaran di Ciamis bagian selatan ini. Pada tahun 2007, setelah melalui proses panjang dan melelahkan, dalam upaya untuk meneruskan lembaga yang sebelumnya pernah ada—semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan-- dalam memperjuangkan pemekaran, maka muncullah Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP). Lembaga ini muncul atas keinginan masyarakat Pangandaran dan sekitarnya (sepuluh kecamatan). Badan Perwakilan Desa yang merupakan lembaga perwakilan formal di tingkat desa dari kesepuluh kecamatan tersebut akhirnya bersepakat memberikan mandat pada lembaga yang nantinya melanjutkan perjuangan pemekaran yang sudah disuarakan sejak tahun 2001 itu. Oleh karena itulah muncul PPKP yang mendapat mandat dari BPD-BPD semua desa yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut.
Presidium ini lahir di tahun 2007 yang pada awalnya diketuai oleh bapak Yulius SP. Saat ini presidium diketuai oleh bapak Supratman, seorang pengusaha sapi dari Cikembulan, Parigi. Presidium ini menurutnya lahir dari grass-root yang melibatkan elemen masyarakat yang ada. Tokoh-tokohnya adalah Supratman sendiri, H. Adang Sandaan Hadari, H. Yos Rosby, dan tokoh muda Pangandaran yang sekaligus sekretaris presidium Andis Sose, SE. Dukungan kuat mengalir hampir dari semua masyarakat yang ada di Pangandaran. Tugas presidium yang terbentuk ini adalah melanjutkan proses yang selama ini sudah ada dan diperjuangkan oleh gerakan-gerakan semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) di tahun 2001 yang giat-giatnya memperjuangkan wacana pemekaran. Tokoh-tokohnya saat itu ada bapak Ade dan Bapak H.Totong dari Babakan. Menurut Supratman, lembaga Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) ini mengalami kemunduran dengan serangkaian proses yang menemui jalan buntu, di mana lobi-lobi yang dilakukan ke pemerintah ditolak dan mendapatkan resistensi. Pemerintahan Engkon Komara dan jajarannya menentang habis-habisan. Belum lagi mendapatkan resistensi yang kuat dari tokoh-tokoh ulama dan politisi partai di hampir semua kecamatan wilayah utara Ciamis. Satu-satunya dukungan dari DPRD waktu itu hanya datang dari Fraksi Partai Amanat Nasional saat itu yang mengakomodir, sehingga berkas dari presidium bisa masuk ke DPRD dan dibahas disana.
Menurut Andis Sose dan Supratman ada tiga pintu yang selama ini digunakan oleh daerah-daerah di indonesia dalam memproses desakan pemekaran daerah, yakni lewat jalur DPRD, baik di tingkat daerah maupun pusat, jalur pemerintah (eksekutif) dan juga jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Ciamis Selatan lewat presidium melanjutkan proses yang sudah berjalan sebelumnya lewat dewan, dari mulai kabupaten, provinsi sampai DPR RI. Jalan pemekaran mulai ada celah-celah positif setelah persetujuan datang dari Bupati dan DPRD sebagai syarat administratif. Bahkan DPRD kemudian membentuk Pansus Pemekaran Pangandaran. Maksudnya adalah untuk mengawal proses pemekaran secara kelembagaan DPRD yang memang sudah menjadi kewenangannya.
Gerakan-gerakan perjuangan pemekaran terus-menerus tidak pernah berhenti, walaupun kemudian lembaga semisal Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) akhirnya mati. Namun tokoh-tokoh yang memperjuangkannya masih tetap eksis dan bertransformasi ke generasi selanjutnya seperti Yulius SP. Suara-suara untuk pemekaran pun selalu muncul ke permukaan.Nuansa konflik dan ketegangan sangat terasa ketika kami tim peneliti melakukan observasi dan wawancara di Pangandaran. Kami ditekankan oleh presidium (diwakili Andis Sose saat itu), bahwa penelitian ini jangan mengarah pada pengumpulan opini publik masyarakat yang mengarah pada mengganggu proses yang sedang berlangsung. Dikhawatirkan muncul kelompok masyarakat yang kontra pemekaran sehingga mengganggu proses. Mereka mengkhawatirkan karena ada penelitian sejenis ini pernah dilakukan tim peneliti dari salah satu universitas di Bandung. Namun tim peneliti berupaya menjelaskan bahwa tim ini lebih fokus pada dinamika proses pemekaran dan peran aktor-aktor politik lokal. Tentu saja hal ini menyiratkan bahwa polarisasi di masyarakat Pangandaran sendiri sebenarnya ada, namun kurang muncul ke permukaan, karena memang aksesnya ditutup.
Dalam proses naik-turunnya proses desakan pemekaran, konflik kemudian timbul antara mereka yang ingin tetap mempertahankan Ciamis, yang diwakili oleh elit-elit politik konservatif, terutama yang berasal dari luar daerah yang akan dimekarkan. Sedangkan mereka yang terus-menerus “ngotot” ingin menjadikan wilyah Ciamis Selatan menjadi kabupaten direpresentasikan oleh sekelompok elit yang memang dari dulu selalu kritis terhadap pemerintahan rezim yang berkuasa dan juga asli putra daerah Ciamis Selatan semisal Jeje Wiradinata (Mantan Ketua DPRD Kab.Ciamis).Semasa Jeje Wiradinata menjabat ketua DPRD selalu gencar melakukan upaya pemekaran, namun selalu terganjal oleh elit pemerintahan lokal dan kelompok elit lainnya.
Ketegangan tersebut sebenarnya dalam banyak kasus yang terjadi di daerah-daerah Indonesia merupakan sesutu yang wajar dan bisa dikatakan sebagai dampak yang timbul karena pemekaran. Penguasa wilayah yang daerahnya akan dimekarkan akan selalu mempertahankan sekuat tenaga supaya wilayah tidak jadi memekarkan diri, apalagi jika wilayah yang akan dimekarkan merupakan, wilayah yang potensial dalam “mengeruk” Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintahannya semisal Pangandaran ini. Bapak Engkon Komara, sebagai bupati Ciamis tentunya tidak menyepakati pemekaran Pangandaran ini. Hal ini pun diikuti oleh Camat-camat di wilayah-wilayah yang akan dimekarkan.
Kontentius (ketegangan) politik diantara mereka kemudian merambah pada isu konflik sumber daya, isu kepentingan elit lokal untuk memanfaatkan momentum dan lainnya.Dalam hal aktor yang berseteru pro dan kontra pada akhirnya melibatkan banyak pihak, semisal pemerintah pusat, provinsi, pihak akademisi semisal Universitas Padjadjaran (UNPAD), Intitut Tekhnologi Bandung (ITB), media yang dengan terus-menerus memberitakan dengan gencar, kelompok masyarakat semisal Presidium Pemekaran Kabupaten Pangandaran.
Hasil kajian tim dari Universitas Padjadjaran dan Institut Tekhnologi Bandung (ITB) yang dibentuk DPRD Ciamis untuk melakukan studi pemekaran Ciamis Selatan, menyebutkan bahwa pemisahan 10 kecamatan untuk membentuk daerah otonom, telah memenuhi syarat. Tim kecil itu mempergunakan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, hal itu berbeda dengan data yang dipergunakan oleh tim sebelumnya yang memakai data BPS tahun 2006. Dikatakan Andi Sose, kegagalan kabupaten Pangandaran dalam penelitian untuk uji kelayakan saat itu lebih disebabkan konteks saat itu Pangandaran baru bangkit dari tragedi Tunami, sehingga perekonomian sedang jatuh-jatuhnya. Hal ini terbukti bahwa setelah itu penelitian lanjutan yang masih dilakukan institusi yang sama Pangandaran dinyatakan layak untuk dimekarkan.
Ketua DPRD Ciamis saat itu, Jeje Wiradinata mengungkapkan kesimpulan hasil kajian tim kecil yang secara khusus meneliti persoalan perkembangan perekonomian di wilayah yang sebelumnya menghendaki pemekaran. Kajian yang dilakukan tim tersebut, juga berpegang pada PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.Hal tersebut juga dikuatkan dengan penelitian dari Universitas Padjadjaran yang merekomenasikan Ciamis Selatan layak untuk menjadi kabupaten di tahun 2007 dengan alasan berdasarkan penilaian, calon daerah otonom tergolong mampu dengan nilai 412 (persyaratan minimal 340). Demikian pula induk daerah otonom tergolong pada kategori sangat mampu..
Di sisi lain Bupati Ciamis dan birokrat Ciamis yang nota bene tidak sepakat dengan pemekaran Ciamis Selatan mengajukan keberatan dengan dalih belum saatnya dan belum layaknya Ciamis Selatan untuk pemekaran. Dan di tahun 2008 Bupati Ciamis menunjuk Universitas Padjadjaran yang bekerja sama dengan ITB untuk melakukan pengkajian ulang layak tidaknya Ciamis Selatan berpisah dari Ciamis. Hasilnya adalah Ciamis Selatan belum layak menjadi kabupaten sendiri, dikarenakan produksi non migas yang diharapkan sebagai sumber pendapatan domestic regional bruto (PDRB) dinilai kurang memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian Jawa Barat.
Menurut Supratman (presidium saat ini), kemunduran proses pemekaran ini salah satunya dikarenakan Jeje Wiradinata yang memang selama ini cukup mendukung pemekaran, ditahun 2008 justru sepertinya acuh tak acuh dalam mengcounter upaya yang dilakukan pemerintah, atau bersikap setengah hati. Perubahan sikap ini disinyalir karena posisinya yang saat itu sebagai calon Bupati Ciamis pada Pilkada 2009 bersama Engkon Komara. Sikap ini dilakukan dikarenakan Jeje Wiradinata ingin mempertahankan dan “mencuri” suara dari utara Ciamis, semisal Panjalu, Kawali, Cihaurbeuti yang selama ini dianggap basis dukungan politik Engkon Komara. Sikap ini tentunya memberikan kekecewaan tersendiri bagi presidium kabupaten Ciamis Selatan yang namanya menjadi Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP) di tahun 2007. Tokoh-tokoh lokal bermunculan dalam upaya yang selama ini sudah ditempuh, semisal Supratman, Haji Adang, Andis Sose dan lainnya.
Jeje Wiradinata justru mengungkapkan hal yang berbeda dengan presidium, memang ketidaksepakatan dan kontra terhadap itu ada di pemerintah—Engkon Komara, dkk--, namun sepengetahuannya pemerintah Engkon Komara tidak mempersulit proses. Lewat lobi-lobi yang dilakukan DPRD, terutama wakil dari Ciamis Selatan, bupati memberikan persetujuan pembentukan kabupaten baru. Hal ini menjadi salah satu syarat administrasi yang wajib dipenuhi, selain persetujuan DPRD induknya. Jadi anggapan konflik terjadi antara yang pro dan kontra yang keras salah besar, hal itu terlalu dipolitisir dan dibesar-besarkan. Kalaupun pemerintah pada awalnya kontra, tapi tidak sampai terjadi mobilisasi dukungan. Selama ini proses berlangsung sesuai prosedur yang berlaku
Wacana pemekaran kabupaten Pangandaran mengalami kemandegan ketika terjadi peristiwa meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara dalam demo anarkhis masyarakat pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, Februari 2009 yang lalu. Pasca terjadinya peristiwa itu Presiden SBY menekankan untuk melakukan moratorium pemekaran di seluruh wilayah Indonesia untuk sementara. Moratorium ini juga yang menjadi andalan bagi Bupati Engkon Komara untuk menghentikan sementara proses yang sudah berlangsung selama ini.
Bulan Juli, tepatnya tanggal 26 Juli 2010 digelar dengar pendapat antara Tim 12 DPRD Ciamis (keseluruhan anggotanya dari Ciamis Selatan), presidium, BPD-BPD di Ciamis Selatan, kepada desa dan tokoh masyarakat Pangandaran.im 12 DPRD Ciamis yang anggotanya merupakan wakil rakyat dari wilayah Ciamis Selatan mulai menindaklanjuti pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Pangandaran, secara kelembagaan. Di lain pihak Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran (PPKP) juga tetap konsisten bergerak memperjuangkan segala proses pemekaran. Perjuangan pembentukan kabupaten Pangandaran dapat berjalan lebih kuat, apabila seluruh elemen masyarakat menyatukan persepsi mengenai pemekaran tersebut. Tim 12 maupun Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran harus saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.Rapat saat itu akhirnya menyepakati adanya utusan khusus untuk datang ke pemerintah pusat, khususnya Depdagri. Utusan tersebut, terdiri dari unsur DPRD Ciamis, Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran, BPD, Bupati Ciamis, Gubernur Jawa Barat, anggota DPRD Jawa Barat dari asal Ciamis.Tokoh masyarakat Ciamis selatan yang hadir di antaranya mantan Ketua DPRD Ciamis Jeje Wiradinata, Abdul Goffar dan Mizan. Sementara tim 12 yang anggotanya berasal dari wilayah Ciamis selatan seluruhnya hadir. Presidium sendiri diwakili Koordinator Presidium Pembentukan Kabupaten Pangandaran Yulius SP didampingi Adang Hadari.
Pasca dinyatakan layaknya Pangandaran dan lewat penggodogan di DPR dan disahkannya undang-undangnya, pemerintah dibawah Engkon Komara melunak. Hal ini terlihat dari sikap yang ditunjukkan oleh camat Pangandaran saat ini, beliau menyatakan bahwa posisi pemerintah, termasuk camat saat ini netral, biarkan masyarakat menentukan nasibnya sendiri. Sikap ini membuat lega presidium dikarenakan sikap pemerintah selama ini keras terhadap pemekaran ini.Saat ini masyarakat Pangandaran dan sekitarnya masih menunggu hasil dan penuntasan dari DPR RI dan penilaian atas kunjungannya ke Pangandaran. Dari sinyal-sinyal yang ada, sepertinya keinginan masyarakat Pangandaran untuk “memisahkan” diri dari kabupaten Ciamis akan segera terlaksana. Pemerintah Ciamis yang dari awal desakan pemekaran antipati akhirnya memang tidak bisa berbuat banyak, karena prosesnya memang sudah sesuai perundangan-undangan yang berlaku sehingga memiliki kekuatan hukum. Dengan sangat terpaksa pemerintah harus membantu proses-proses yang terkait dengan kebutuhan penuntasan pemekaran.
Pemerintah kabupaten Ciamis yang diwakili wakil bupatinya Iing Syam Arifin pada Rapat Paripurna DPRD Ciamis, tanggal 8 Juli 2010 mengungkapkan bahwa, pemerintah sudah merencanakan akan menggelontorkan hibah dan dukungan dana untuk calon Kabupaten Pangandaran sebesar Rp 7,5 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan bagi hibah penyelenggaraan pemerintah tahun pertama dan kedua serta dukungan dana pemilihan kepala daerah (Pilkada) pertama kali.Berkaitan dengan pemberian hibah dan dukungan, pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 12,5 miliar. Dengan demikian apabila diakumulasi, anggaran untuk calon Kabupaten Pangandaran selama dua tahun berturut sebesar Rp 20 miliar.
Konflik politik dalam momentum desakan pemekaran Ciamis dan Pangandaran memperlihatkan pada kita bagaimana momentum pemekaran ini menjadi arena pertarungan antar elit lokal (kontentius politik) dalam mengukuhkan kekuasaan masing-masing.Bicara kekuasaan dalam kajian Ilmu Politik memang berkutat pada mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaannya itu. Proses kontentius politik antar elit pun akan berkutat pada persoalan tersebut. Seperti yang disebutkan dalam kajiannya Pareto seperti diulas di atas, bahwa elit memiliki kemampuan lebih dalam semua hal, termasuk menunggangi gegar demokrasi saat ini. Mereka selalu mengatakan bahwa yang terjadi adalah proses demokrasi. Andaikatapun ada pertarungan, hal itu merupakan sesuatu yang wajar dalam koridor demokratisasi.Namun menjadi picik, jika kepentingan politik dan ambisi pribadi serta kelompoknya yang mengatasnamakan demokrasi justru kontra-produktif bagi kesejahteraan itu sendiri.
Pemekaran Pangandaran dari proses awal desakan masyarakat sudah sangat kental dengan pertautan kepentingan antar elit lokal di kabupaten Ciamis. Kepentingan dan desakan berbagai elemen masyarakat di tahun 2001 menginginkan pemekaran tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah Ciamis, dibawah pimpinan Engkon Komara (Bupati Ciamis).

Pertautan Kepentingan antar Elit
Pertautan antar kepentingan elit dalam pemekaran Pangandaran ini akan digambarkan dalam model ketegangan politik (kontentius politik) yang muncul diantara kelompok-kelompok elit yang memiliki kepentingan dengan proses ini. Dalam model kontentius digambarkan adanya : (1) struktur yang menjadi setting pertentangan tersebut, (2) proses pertentangan tersebut, yang meliputi pembentukan aktor, eskalasi aktor dan mobilisasi aktor. (3) mobilisasi aktor.
Struktur yang menjadi lahan pertautan kepentingan antar aktor politik adalah sosial, ekonomi, dan politik dan pemerintahan. Lahan-lahan inilah yang dijadikan ajang pertempuran dalam proses pemekaran ini. Kalau kita lihat isu-isu yang kemudian “membubung” adalah persoalan kemudahan dalam pelayanan publik, akses untuk mendapatkan layanan tersebut, sumber daya alam dan pengelolaannya, isu kesejahteraan masyarakat, terutama di wilayah Ciamis Selatan.
Isu-isu besar tersebut yang dijadikan ranah pertentangan selama ini. Kelompok yang pro (Presidium dan tokoh-tokoh Ciamis Selatan) melihat bahwa hal-hal yang disebutkan di atas di kawasan Ciamis Selatan mengalami kemunduran dengan kondisi jarak geografis yang begitu luas, kemampuan pemerintah menjadi terbatas mengurusi semua persoalan masyarakat. Sehingga tuntutan pemekaran adalah jalan yang tepat. Sedangkan kalangan pemerintahan (pimpinan Engkon Komara), menganggap bahwa isu-isu tersebut bukan menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat untuk memisahkan diri dari Ciamis. Pemerintah selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi warganya, apabilamasih ada kelemahan selama ini, masih ada solusi yang lebih tepat selain pemekaran, semisal hambatan geografis, sehingga mempersulit pelayanan publik di wilayah Ciamis Selatan bisa dicarikan solusi semisal kantor pelayanan yang ditempatkan di Pangandaran. Pemerintah melihat justru kepentingan elit-elit politik lokallah yang lebih mendominasi dalam pemekaran kabupaten Pangandaran.
Aktor-aktor politik lokal yang berhadap-hadapan pada awalnya adalah konflik antara yang pro-pemekaran dan yang kontra pemekaran. Aktornya diidentifikasi yang pro dipimpin oleh tokoh-tokoh yang bergabung dalam Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) dengan pemerintah kabupaten Ciamis yang direpresentasikan oleh bapak Engkon Komara. Proses vis a vis kedua aktor yang bersilang pendapat inilah dalam konsep di atas disebut sebagai proses pembentukan aktor. Identifikasi ini penting untuk menyederhanakan peta pertarungan antar elit pada awalnya. Dari informasi informan dan data sekunder menunjukkan bahwa pemerintah di bawah pimpinan bapak Engkon Komara sangat antipati terhadap proses pemekaran tersebut. Namun di sisi lain Paguyuban juga sangat semangat dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pemekaran ini. Arena pertarungan meliputi struktur ekonomi, sosial, politik dan pemerintahan.
Aktor yang berhadapan pada awalnya sederhana yakni pemerintah dan masyarakat Pangandaran yang terepresentasi pada Paguyuban Masyarakat Pakidulan mengalami perluasan aktor. Pemerintah kemudian menggandeng lembaga akademis semisal Unpad yang pada awalnya digunakan untuk membuat penelitian uji kelayakan pemekaran. Walaupun lembaga ini netral namun kesimpulan penelitian saat itu yang menyimpulkan bahwa Pangandaran belum layak pemekaran dijadikan legitimasi pemerintah untuk tidak merespon bahkan mematikan wacana pemekaran. Pemberitaan-pemberitaan pun lebih mengarah pada ketidaklayakan Pangandaran untuk memekarkan diri. Namun di sisi lain Paguyuban Masyarakat Pakidulan pun tidak tinggal diam, mereka menggandeng tokoh-tokoh politik lokal yang disegani di kabupaten semisal ketua DPRD Jeje Wiradinata dan juga Fraksi Partai Amanat Nasional.
Sebagaimana kita ketahui, walaupun saat itu hasil penelitian Universitas Padjadjaran menyimpulkan Pangandaran belum layak pemekaran, namun berkas usulan pemekaran tetap di proses di dewan. Paguyuban juga memobilisasi masyarakat dengan berbagai cara salah satunya penggalangan dukungan lewat web site Pangandaran yang bertahan sampai saat ini (http://www.pangandaran.com) yang didalamnya berisi visi misi, rencana, program dan proses perkembangan pemekaran. Masyarakat bisa mengakses secara langsung keseluruhan proses yang berlangsung. Pemerintahan Engkon Komara juga “dijaga” oleh banyaknya dukungan semisal camat-camat di Ciamis yang dipengaruhi pemerintah, termasuk camat Pangandaran. Hal ini mudah bagi pemerintah dikarenakan camat adalah bawahan bupati yang harus menuruti perintah bupati dan kapan saja bupati bisa menggantinya. Dukungan yang kontra pemekaran pun dilancarkan tokoh-tokoh politik dan kalangan partai yang berasal dari kecamatan-kecamatan Ciamis sebelah utara, semisal Kawali, Panjalu (daerah asalnya Bupati Engkon), Cihaurbeuti, Tambaksari, Rajadesa dan kecamatan-kecamatan besar lainnya.
Pasang-surut perkembangan proses pemekaran terus bergulir dan diwarnai layak dan tidak layak pemekaran. Tercatat Pangandaran beberapa kali dinyatakan tidak layak untuk dimekarkan lewat kajian ilmiah dari Universitas Padjadjaran dan Institut Tekhnologi Bandung, sampai akhirnya lewat uji ulang kelayakan, dinyatakan layak. Tarik ulur ini sangat sarat dengan kepentingan aktor-aktor yang berbeda pendapat tentang pemekaran ini. Tahun 2009 sampai saat ini boleh dikatakan keberpihakan sedang menuju ke kelompok yang pro pemekaran, karena serentetan progres semisal ditetapkannya Rancangan Undang-Undang di DPRD Jawa Barat, bahkan sampai di DPR RI. Dipertengahan tahun 2010 DPR RI terjun langsung ke Pangandaran dan diliput banyak media yang semakin mengukuhkan Pangandaran menjadi kabupaten. Sikap aktor utama (pemerintah kabupaten Ciamis) agak melunak dan mau bekerja sama dikarenakan memang rekomendasi dari DPR RI mengharuskan seperti itu. Mau tidak mau pemerintah mengakomodir segala keperluan yang dibutuhkan dalam proses pemekaran.
Konflik politik yang muncul kemudian di akhir-akhir ini, terutama pasca kunjungan anggota DPD-RI di pertengahan tahun 2010 lalu, tidak lagi dalam porsi berhadap-hadapannya antara yang pro dan yang kontra, namun lebih kepada tarik-menarik kepentingan antar elit, kesalahpahaman, miskomunikasi dan barangkali secara sarkastik bisa dibilang siapa yang merasa paling depan memperjuangkan pemekaran. Hal ini dimungkinkan kepentingan para elit lokal, baik yang memperjuangkan sejak awal ataupun yang baru, pada orientasi pasca pemekaran. Kepentingan tersebut semisal pemilihan bupati dan pejabat penting lainnya.
Pertentangan tersebut seperti terlihat dalam pertentangan dan protes yang dilakukan presidium terhadap agenda dengar pendapat yang diselenggarakan DPRD Ciamis dengan Tim 12 nya (Pansus Pemekaran Ciamis Selatan) pada tanggal 26 Juli 2010. Presidium justru menganggap pertemuan tersebut menunjukkan DPRD tidak tahu apa-apa tentang pemekaran, karena dengar pendapat tersebut justru akan menggangu proses yang sudah berjalan di DPR. Harusnya dewan langsung berkomunikasi langsung dengan presidium, karena sudah mendapat mandat dari masyarakat lewat BPD-BPD di Ciamis Selatan. Walaupun dewan punya kewenangan, tetapi jangan sampai melangkahi tugas dan fungsi dari presidium.
Sedangkan Jeje Wiradinata, politisi kawakan Ciamis asal Pangandaran, memang memiliki peran yang tidak sedikit tentang pemekaran ini. Namun kekecewaan presidium terjadi karena sikapnya pernah “mendua” di tahun 2008-2009 ketika beliau masih menjabat ketua DPRD kabupaten Ciamis. Sikap ini dianggap tokoh pemekaran  (Supratman, informan) untuk mendapatkan suara dari Ciamis sebelah utara, sejak saat itu presidium antipati dengan bapak Jeje Wiradinata. Sikap Jeje saat ini mendukung pemekaran, disinyalir ingin mendapat dukungan pencalonannya menjadi bupati Pangandaran, yang memang sudah terdengar gencar rencana pencalonannya.
Dalam menyikapi tudingan dan kekcewaan dari presidium saat ini, Jeje Wiradinata (mantan ketua DPRD, informan) menganggap hal itu salah besar dan salah memahami sikapnya. Hal ini dikatakannya berikut“Kekecewaan dan tudingan itu --kalaupun memang ada-- dari presidium mungkin bersifat pribadi. Mungkin ada ketidaksukaan terhadap saya. Padahal peran saya dan DPRD Ciamis dalam menggolkan pemekaran sampai ke DPR RI saat ini tidak diragukan lagi. Kalau tidak ada pengesahan DPRD kan tidak mungkin pemekaran gol ?, DPRD di jaman saya juga mengesahkan pembiayaan untuk uji akademis kelayakan saat itu dari Unpad sekitar 500 juta, dan uji ulang sekitar 150 juta, bahkan saya juga sempat membuat Pansus untuk mengawal proses secara kelembagaan. Sedangkan tentang suara dari utara justru sebaliknya, saya malah tidak mendapatkan suara, dikarenakan saya harus jujur berkata “ya” pemekaran jadi, ketika penduduk menanyakan jadi atau tidaknya pemekaran. Padahal mereka sangat kontra dengan pemekaran saat itu. Hal ini saya lakukan karena saya tidak bisa berbohong pada masyarakat, walaupun akhirnya harus kehilangan suara saat itu”.
Apa yang disampaikan Jeje Wiradinata justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Supratman (ketua Presidium Kabupaten Pangandaran), Jeje Wiradinata justru menganggap antipati presidium dibawah pimpinan Supratman lebih kepada masalah pribadi, pernyataannya tentang “mendua”nya sikap dirinya terhadap pemekaran Pangandaran sangat tidak beralasan, dikarenakan DPRD di masa kepemimpinannya selalu pro-aktif dan mengawal setiap proses. Jeje menganggap langkahnya selama ini sudah tepat dan berimbang sesuai dengan aspirasi. Dirinya tidak mengintervensi aspirasi masyarakat, semuanya dibiarkan berproses apa keinginan masyarakat.
Jeje Wiradinata mensinyalir antipati tersebut dikarenakan ada isu dirinya akan mencalonkan diri sebagai bupati Pangandaran, jika sudah dimekarkan nanti. Presidium yang kebetulan saat ini dipimpin pak Supratman tidak suka dengan isyu ini, dikarenakan kemungkinan Supratman sendiri juga akan mencalonkan diri sebagai bupati. Kepentingan inilah yang kemungkinan besar “menyelewengkan” apa yang sebenarnya terjadi. Menurutnya persoalan nanti siapa yang akan mencalonkan bupati tidak masalah siapapun yang penting mampu. Dan jika dirinyapun maju, itu bukan ambisi pribadi, tetapi amanah partainya—Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—sebagai kewajaran dalam proses politik. Apalagi PDI-P adalah partai besar di Ciamis dan Pangandaran, sehngga wajar mengajukan calonnya dalam pemilihan bupati.
  Terlepas dari siapa yang benar dan salah dalam perdebatan dan ketidaksepahaman antar elit di atas, kalau kita melihat fenomena ini telah terjadi eskalasi aktor yang begitu besar. Hal inilah dalam model di pertarungan aktor di atas sebagai tahap eskalasi dan mobilisasi aktor. Eskalasi aktor yang asalnya hanya konflik lokal meluas sampai nasional. Eskalasinya juga menjadi perdebatan di tingkat nasional (khususnya di komisi II DPR RI), masalahnya juga berkembang bukan hanya pada persoalan pro-kontra pemekaran, tetapi lebih meluas pada perbedaan kepentingan tertentu.
 Dalam proses perluasan eskalasi aktor tersebut, masing-masing aktor awal yang berkonflik memobilisasi aktor yang memiliki kesamaan kepentingan, sehingga bermetamorfose ke bawahnya. Walaupun kemudian dalam kasus pemekaran Pangandaran ini, mobilisasi lebih kuat di pihak yang pro pemekaran. Hal ini terbukti dari perkembangan terkini pihak pemerintah yang selama ini menentang pemekaran, mulai melunak dan mau bekerja sama membantu proses pemekaran. Selain itu juga muncul aktor netral yang dalam dataran tertentu bisa dimanfaatkan oleh aktor utama tadi untuk melegitimasi posisinya. Selain itu juga muncul aktor politik yang menunggangi proses pemekaran ini untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan dan ambisi pribadinya.
Dari analisis di atas, golongan elit (pemerintahan, elit masyarakat, mantan pejabat, agamawan dan lainnya) banyak terjadi luka-liku persoalan dan pertautan kepentingan. Mereka selalu saja memanfaatkan momentum yang ada untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal ini memang tidaklah aneh, karena biasanya elit memiliki tabiat seperti yang disebutkan di atas. Ilmuwan Wertheim, misalnya pernah menyindir kondisi ini. menurutnyapemahaman elit tentang massa yang selama ini menjadi taken for granted, adalah bahwa massa tidak tahu apa-apa, pengikut setia (pembebek). Hal inilah sebenarnya yang sepenuhnya harus dirubah. Bagaimana kemudian elit yang memiliki kelebihan dalam berbagai bidang mampu menjadi fasilitator dalam pendidikan politik, mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasi politik dan kepentingan umum yang kemudian diusung.

Benang Merah
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat diambil suatu kesimpulan, yaitu aspirasi pemekaran sebenarnya berawal di tahun 1999-an dan mulai menguat di tahun 2001 dengan dikomandani sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Paguyuban Masyarakat Pakidulan (PMP) yang tentunya digerakkan oleh elit-elit politik lokal Pangandaran yang juga mendapat support kuat dari Partai Amanat Nasional dan elit politik lokal yang ada di DPRD saat itu. Bisa dikatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat Pangandaran mendukung pemekaran, kalaupun yang kontra suara mereka tidak muncul ke permukaan. Pemerintah di bawah pimpinan bapak Engkon Komara menentang keras dengan memobilisasi dukungan di dewan dan tokoh-tokoh politik dari kecamatan di sebelah utara Ciamis.
Konflik menjadi meluas dikarenakan kedua belah pihak yang berkonflik tetap pada pendirian masing-masing dan memobilisasi kekuatan. Dengan dalih syarat administrasi pemekaran, politisasi dan mobilisasi kekuatan inilah yang menyebabkan konflik melibatkan pihak-pihak lain yang selama ini tidak terlibat, semisal kalangan akademisi (Unpad dan ITB), media, DPRD, para tokoh di Ciamis utara, para tokoh masyarakat di Ciamis Selatan, politisi partai politik, agamawan, DPR RI, dan presiden. Dari hasil penelitian terlihat bagaimana kerasnya perjuangan masyarakat Pangandaran dalam mengusung pemekaran, namun di sisi lain juga terlihat adanya upaya dari segelintir politisi yang memanfaatkan hal ini untuk ambisi dan kepentingan pribadinya. Di luar kontentius yang terjadi seperti dibahas dalam analisis di atas, keberhasilan masyarakat Pangandaran dan sekitarnya lewat representasi peran presidiumnya, sehingga saat ini proses pemekarannya hampir final, menunjukkan kekompakkan dan desakan masyarakat yang begitu kuat tidak bisa dihalangi oleh kekuasaan rezim sekalipun. Namun, moment ini sudah menjadi lahan subur arena pertarungan antar elit politik lokal yang memiliki berbagai kepentingan di dalamnya, pertarungan inilah yang menyebabkan proses penuh dinamika dan dalam dataran tertentu terjadi tarik-ulur. Apapun hasil yang didapat dari proses pemekaran ini yang jelas sangat dibutuhkan masyarakat adalah kesejahteraan.



DAFTAR PUSTAKA

Brata, Kusumah, dan Solihin, Dadang, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, dan Jurusan Ilmu Politik FISIP UNSOED, 2003, Laporan Hasil Analisis Monitoring dan Evaluasi Otonomi Daerah Menurut UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999 di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Haris, Syamsuddin, 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah, Pusat penelitian politik LIPI, Jakarta.

Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit; Suatu Bahasan Pengantar, PLOD-JIP Fisipol UGM, Yogyakarta.

Jurnal Otonomi Daerah, Edisi Juni 2002, Demokratisasi, Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Tantangan Nasional.

Jurnal Pendidikan dan Monitoring Pembangunan Otonomi Daerah, Edisi, September 2000, Basis Asosiasi Lokal Untuk pembangunan Otonomi Daerah, LP2OD-KW dan PUISUI, Jakarta.

Lembaga Studi dan Advokasi Kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri, 2003, Evaluasi dan Pelaksanaan Monitoring Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Moleong, L. J, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung

Nugroho D, Riant, 2000, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi. PT ELEX Media Komputindo, Jakarta.

Sarundajang, S.H, 2002, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Saefullah, Eep, 2000, Pengkhianatan Demokrasi A la Orde Baru, Rosdakarya, Bandung.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1999, Metode Penelitian Survay, LP3ES, Jakarta.

Republik Indonesia, 2000, Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.

Republik Indonesia, 2004, Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung.

Republik Indonesia, 2004, Undang-undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pmerintah Pusat dan Daerah, Fokus Media, Bandung.

Saifudin Fedyani, Akhmad, 1990, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Press, Jakarta.

WF. Wertheim, Elite vs Massa, Resist Book, Yogyakarta, 2009.


Sumber Lain :

Ciamis Dalam Angka
Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi 07 Februari 2009
www.pikiranrakyat.online.com, Edisi 11 Desember 2008.





0 komentar:

Post a Comment