Ilmu Politik dalam Setting Global


Subhan Agung


Dalam kehidupan dunia ini, muncul dan tenggelamnya suatu eksistensi adalah sunatullah. Suatu negara beserta rezim politiknya muncul, kemudian berkuasa dan hancur. Begitupun dengan kemegahan dan superioritas sebuah bangsa pada akhirnya digantikan oleh peradaban bangsa lain. Fakta bangsa-bangsa besar di dunia yang kemudian terpuruk semisal megahnya peradaban bangsa Yunani dan Romawi Kuno, Mesir Kuno, Cina Kuno, dan Persia. Bangsa-bangsa penakluk di masa Sebelum Masehi sampai permulaan Masehi tersebut pada akhirnya hancur. Dominasi kekuasaan dan peradaban Islam kemudian mendominasi dunia di awal abad ke-8 sampai di penghujung abad ke-17 lewat rezim Mu’awiyah, Abbasyiah, Mughal, Safawi dan Turki Osmani (Turkey Ottoman). Secara berturut-turut rezim tersebut menguasai dunia sampai kemudian akhirnya dihancurkan agresi bangsa Mongol ke dunia Islam. 

Bangsa-bangsa Barat yang sebelumnya selalu tersubordinasi, kemudian bangkit di awal abad ke-17, di Inggris muncul semangat baru yang disebut enlightment, di Jerman dikenal aufklarung, di Prancis dikenal renaissance yang menyiratkan semangat bangkit dari keterpurukan. Semangat ini terbukti memompa bangsa-bangsa ini menjadi bangsa dominan bahkan penakluk di dunia. Kekuatan mereka tidak hanya pada bidang militer, tetapi juga industri dan ilmu pengetahuan. Revolusi industri yang mereka gembar-gemborkan akhirnya membawa zaman dunia kepada modernisasi ekonomi yang bebas (pasar bebas). 

Liberalisasi ekonomi semakin menjadi-jadi lewat munculnya “raksasa” baru dunia di wilayah Amerika sebelah utara. Sejak awal abad ke-19 sampai pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai salah satu pioner negara demokrasi modern yang mengusung liberalisasi ekonomi atau globalisasi. Dominasinya semakin menggila ketika saingan terkuatnya Uni Soviet hancur di penghujung abad ke-19. Tentunya kalau kita berpedoman pada sunatullah yang dijelaskan di atas, kekuasaan Amerika Serikat pun tidak akan abadi. Kegelisahan dan ketidakpuasan akan zaman ini muncul begitu kencang, tidak hanya dari negara Dunia Ketiga, namun juga di dalam negeri mereka sendiri. Bahkan tanda-tanda kehancuran Amerika pun sudah menjadi bahan kajian yang menarik para ilmuwan dari mulai segi ekonomi, resistensi Dunia Ketiga dan demokrasi sepihak yang dikembangkannya. Disisi lain negara-negara Dunia Ketiga pun semakin menggeliat dan mulai menjelma menyaingi Amerika sebagai raksasa dunia baru saat ini, semisal Cina dan terutama juga India .


Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sebagai penguasa dunia, Amerika Serikat dan Uni Eropa tentunya mendominasi penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak ilmu baru mulai berkembang dan mendapatkan kegairahannya di masa ini. Walaupun akar-akar filsafatnya sudah muncul di masa Yunani Kuno, namun pengembangan besar-besaran dengan penemuan yang spektakuler terjadi di masa ini. Hampir semua ranah kehidupan di dunia ini tercakup dalam kajian ilmiah. Ilmu pengetahuan terbukti mampu mempermudah aktivitas manusia. Eksistensi ilmu pengetahuan pun dipatenkan dan dibentuk lembaga perkumpulan ilmuwan dunia. Lembaga tersebut secara berkala memberikan penganugerahan pencapaian aplikasi ilmu dalam kehidupan. Contohnya semisal penganugerahan Nobel dunia bagi yang berjasa di bidang ilmu pengetahuan. 

Sampai saat itu muncullah beratus-ratus disiplin dari cabang keilmuan yang berkembang di Barat dengan diikuti oleh negara-negara berkembang dari mulai Kedokteraran, Matematika, Fisika, Kimia, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Administrasi Negara dan keilmuan lainnya yang menyusul kemudian. Ilmu-ilmu tersebut sebenarnya semua bersumber dari filsafat. Dalam filsafat kita mengenal salah satu cabang kajian yakni epistemologi. Dalam epistemologi ada dua mainstream aliran yang nantinya justru melahirkan pemilahan seperti eksakta dan non eksakta. Pertama, idealisme (rasionalism) yang lebih menekankan akal dalam pencapaian kebenaran, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indra dinomorduakan. Aliran kedua adalah realism atau empirisme yang lebih menekankan panca indra sebagai sumber kebenaran, sedangkan peran akal dinomorduakan. Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347) dan Aristoletels (384-322) merupakan cikal bakal dialektika kedua aliran tersebut.


Perkembangan Kajian Politik sebagai Ilmu

Sebenarnya Ilmu Politik diakui dunia dan dilembagakan sebagai cabang keilmuan relatif masih baru dibandingan pendahuluanya yang berdekatan rumpun semisal Sosiologi, Ekonomi dan Psikologi. Namun akar-akar kajian Ilmu Politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan bisa dikatakan politik merupakan kajian yang paling tua, setua munculnya kehidupan sosial manusia. Sejarah kajian-kajian ilmu politik juga banyak berdasar dari ilmuwan-ilmuwan yang pernah muncul sejak munculnya masa Pencerahan sampai saat ini. Kajian-kajian tersebut di antaranya :


1. Kajian Filsafat Politik
 
Kajian ini muncul berdasar bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa lepas dari politik itu sendiri. Plato dan Aristoteles menyebut istilah politik untuk menggambarkan negara kota (polis) di Yunani Kuno dan hasrat manusia untuk selalu berpolitik (zoon politicon). Filosof-filosof di masa Sebelum Masehi yang lain juga banyak yang menyebut istilah politik dalam karya-karyanya semisal Epicurus dan Socrates. Di masa Masehi juga ilmuwan semisal GWF Hegel dan Al-Farabi yang mengkaji politik lebih kental dengan nuansa kajian filsafat politik. Kajian filsafat politik juga mengkaji berbagai paradigma yang nantinya menjadi main-stream dalam metodologi politik seperti melahirkan pendekatan interpretis, konstruktivis, normatifisme atau positivisme, institusionalisme, teori kritik dan rational choice.

2. Kajian Kekuasaan
Niccolo Machiavelli, Karl Marx, Dante Aliegeri, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun dan sederet ilmuwan politik lainnya mulai mengkaji politik dalam sistem dan institusi pemerintahan yang concern dengan kekuasaan seorang pemimpin dengan gaya filsafat yang bermacam-macam. Ciri khas pemikiran politik di masa ini lebih cenderung mengkaji politik prosedural dalam pemerintahan di masa mereka masing-masing. Pengertian politik kemudian lebih pada cara mendapatkan, mempertahankan dan menjalankan kekuasaan.

3. Kajian Demokrasi
Perkembangan kajian Ilmu Politik tidak bisa dilepaskan dari trend kajian ilmuwan politik Barat, terutama Amerika Serikat. Di akhir abad ke-18 trend kajian politik mulai gencar membidik demokrasi sebagai sistem politik. Sebenarnya istilah ini sudah ada dari Yunani Kuno pada abad ke-5 SM, terdiri dari demos yang berarti rakyat, dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Secara umum demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).

Seiring dengan perkembangan wacana yang menyertainya, istilah demokrasi telah berubah sejalan dengan waktu, di mana berkembang berbagai definisi modern tentang demokrasi khususnya sejak abad ke-19, bersamaan dengan perkembangan demokrasi dalam sistem politik di banyak negara. namun pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18 yakni Revolusi Perancis dan Revolusi Kemerdekaan di AS. Ilmuwannya yang terkenal John Locke, Montesque dan JJ. Rosseouw di masa klasik. Sedangkan di tahun 1940-an muncul Joseph Scumpeter (1942) yang melihat definisi demokrasi lebih pada praktek-praktek politik prosedural di Amerika dan Eropa, di tahun 1970-an muncul ilmuwan pelanjut Scumpeterian semisal Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset . Sebelumnya tahun 1964 model Scumpeterian gaya baru juga muncul lewat kajian tentang birokrasi Indonesia yang menjadi teori besar sebagai model jaring-jaring kekuasaan birokrasi di negara-negara berkembang dari Harold Crouch dan Harri J. Benda yang dikenal sebagai politik patronase (neo-patrimonialism).


4. Kajian Life Politics 

Di tahun 1960-an, muncul tandingan sekaligus kritikan kajian demokrasi yang terlalu prosedural dari kalangan pemikir politik demokrasi substantivist. Menurut aliran ini demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan mereka. 

Berawal dari adanya substansi demokrasi inilah kemudian berkembang pemikiran yang meletakan demokrasi tidak hanya dari sisi prosedural namun lebih dalam lagi seperti pada cara pandang, sikap dan perilaku masyarakat. Tokohnya semisal Almound dan Verba (1963) , Habermas dengan masyarakat komunikatifnya. Mulai saat itu kajian-kajian ilmu politik yang mengkaji politik kehidupan mulai bermunculan, terutama dikembangkan oleh para ilmuwan post-strukturalis dan disusul oleh posmodernisme semisal kajian habitus politik dari Bourdieu, politik dekontruksi dari Derrida, geneanologi kekuasaan model Foucault, soft power dari Robert Nie Jr dan Gayatri Spivak serta Homi Baba dengan cultural studiesnya, gender dan politik dari Naomi Wolf. 


5. Sistem dan Institusi Pemerintahan

Selanjutnya kajian demokrasi sebagai kajian penting politik kemudian digunakan para ilmuwan untuk melihat sistem dan institusi pemerintahan dan perilaku rezim politik di dunia. Kajian kemudian bergeser pada demokratisasi politik. Di tahun 1984 muncul kajian struktur dan agen (aktor politik) dari Anthoni Giddens (strukturasi Giddens) . Studi demokratisasi berkembang pesat mulai tahun 1980-an sampai sekarang. Bahkan awal tahun 1990-an, studi demokratisasi terfokus pada transisi yang disusul dengan studi konsolidasi demokrasi yang terlihat dalam karya suntingan O ‘Donnel dan Philipe Schmitter (1986); Larry Diamond, Juan linz, dan Lipset (1990); Guiseppe di Palma (1990), dan Samuel Huntington (1991). Secara garis besar tipikal pemikiran masa ini menganggap bahwa konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat dalam aturan demokrasi, sebuah proses panjang yang mengurangi erosi demokrasi, keruntuhan demokrasi. Menurut kelompok ini demokrasi terkonsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan dalam masyarakat menganggap tindakan demokratis sebagai alternatif utama dalam meraih kekuasaan dan tidak ada aktor/kelompok yg mempunyai klaim veto dlm tindakan pembuatan keputusan. Selain itu juga konsolidasi tidak hanya proses politik dalam level prosedural dan lembaga-lembaga politik tetapi juga dalam level masyarakat.


6. Kajian Negara dan Masyarakat

Selain demokrasi, studi hubungan Negara dan Masyarakat sipil juga menjadi kajian dalam disiplin Ilmu Politik yang akar-akarnya dapat ditelusuri sejak zaman Romawi ada yang disebut konsep civic virtue, kemudian Cicero menggunakan societas civilis untuk menyebut negara, bahkan ketika JJ. Rousseau menggunakan istilah societies civile, ia memahaminya sebagai negara yang menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan rakyatnya. Gelombang selanjutnya civil society dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari negara, hal ini disebabkan mulai menguatnya negara dan banyaknya dominasi negara atas rakyat, sehingga cenderung berkembang pemahaman keduanya sering dipertentangkan (vis a vis), walaupun saat itu belum terlalu gencar. Hal dapat dilacak salah satunya dari ilmuwan Adam Fergusson dalam bukunya An Essay on the History of Civil Society yang memahami civil society sebagai alternatif penting dalam menyeimbangkan dominasi negara. Gelombang penguatan negara atas civil society dipahami GWF. Hegel yang diperkuat Marx lewat civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol, civil society justru memerlukan seperangkat aturan serta pembatasan-pembatasan lewat kontrol hukum, administratif dan politik oleh negara supaya tidak menimbulkan anarkisme. 

Pemahaman seperti di atas sekonyong-konyong menimbulkan reaksi keras dari pemikir kontemporer semisal Alexis De Tocqueville yang menempatkan unsur kemandirian dan pluralitas dan tanpa ada pembatasan dari negara, karena pada hakikatnya negara merupakan organ yang asal muasalnya dari rakyat. Pemahaman tersebut saat ini marak dan cenderung menempatkan civil society sebebas-bebasnya dan sebagai kajian netral tidak seperti dipahami Hegel yang terikat oleh sejumlah aturan. Kedua aliran ini pada kenyataannya terus berkembang sebagai kubu bahkan sampai zaman modern saat ini. Aliran Hegelian juga cenderung dilanjutkan lewat pemikirannya Philippe Scimitter (1995), Laurence Whitehead (2004) dan lainnya. Sedangkan Aliran Tocquevellian cenderung terepresentasi dalam karya-karya Neera Chandoke (2003) dan Gurpreet Mahajan (2003).

7. Gerakan Sosial

Di tahun 1997 penelitian fenomenal dari Hanspieter Kriesi tentang gerakan sosial menambah literatur baru dalam sub kajian ilmu politik khususnya gerakan sosial. Kemudian dilanjutkan Tilly & CastaƱeda di tahun yang sama dengan konsepnya tentang model contentious politics dalam gerakan sosial. Gerakan sosial termasuk di dalamnya melihat berbagai gejala dan desakan kelompok masyarakat baik terhadap sistem negara, maupun sistem sosial yang menindas. 

8. Governance dan Studi Kebijakan

Governance bisa dikatakan cara pandang baru mengelola negara, ekonomi dan masyarakat, yang berbeda dengan cara pandang government. Maka ada pergeseran dari cara pandang “government” menuju “governance”. Proses interaksi antara negara/pemerintah (sektor kesatu), pasar/swasta (sektor kedua) dan masyarakat sipil (sektor ketiga). Governance merupakan jembatan antara ilmu politik (yang mengkaji kekuasaan dan mempunyai tujuan demokrasi) dan administrasi publik (yang mengkaji proses kebijakan dengan pendekatan teknokratis). 

Dari uraian di atas, sub-sub kajian ilmu politik meliputi tiga kajian besar yakni : (1) filsafat politik dan metodologi, (2) kajian negara (politik prosedural) dan (3) politik kehidupan (politics). Diantara tiga kajian besar tersebut di dalamnya meliputi studi pemikiran politik, skup dan metodologi politik, partai politik, pemilu dan legislasi, demokrasi, teori elit, kajian birokrasi, partisipasi politik, gender dan politik, gerakan sosial, politik identitas dan multikulturalisme, governance dan studi kebijakan, kajian kekuasaan, konflik politik, politik intermediary (Ormas, LSM, gerakan mahasiswa dan lainnya), perilaku politik, politik keamanan dan pembangunan, negara dan masyarakat, studi budaya politik, politik lokal dan otonomi daerah, agama dan politik, pemasaran politik, dan politik internasional. Khusus untuk politik internasional saat ini studinya lebih cenderung pada kajian disiplin ilmu yang masih serumpun yakni hubungan internasional. Dari sub-sub kajian tersebut, aplikasi dalam pengkajian materinya di setiap negara disesuaikan dengan kondisi politik masing-masing yang termanifest dalam kebijakan negara tersebut dan ditambah dengan kajian local contain yang menunjang.



Bahan Bacaan

Abdullah, Amin, 1992, Aspek Epistemologis Filsafat : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis dan Prosfektif, LESFI, Yogyakarta.
Almound dan Sidney Verba, The Civic Culture, Routledge, tahun 1963.
Dwipayana, AAGN dan Miftah Adi Ikhsanto, 2009, Modul Teori Politik, Pascasarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta.
Giddens, Anthony, 1984, Book The Constitution of Society: Outline of a Theory of Structuration, NY.
Hikam, AS, 1996, Negara dan Masyarakat Sipil, K Gramedia, Jakarta.
Suhada Irwan(ed), 2007, India : Bangkitnya Raksasa Baru Asia, Penerbit Kompas, Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment