Melawan Arus di Kota Santri (Lanjutan, Part 4)

Beberapa saat setelah kopi dan cemilannya tersaji, dalam pikiranku tersirat kekagumanku kepada sahabatku atas sikapnya yang sangat konsisten dalam mengusung prinsip dan idealismenya dalam memandang kehidupan menurut kacamatanya.

Dalam renungan sejenak itu, sejujurnya aku sedikit malu pada diriku sendiri, karena bila persoalan yang menimpa sahabatku, dialami olehku, aku belum tentu bisa mempertahankan prinsip dan idealisme, apalagi harus berhadapan dengan orang tuaku, “malam ini aku belajar banyak pada sahabatku”, cetusku dalam hati.

“Kenapa melamun Gas?”, pertanyaan sahabat memecah renunganku. Aku terdiam sejenak dan menyempatkan diri mereguk kopi hangat yang sudah tersaji, “ah engga, Cuma sedikit menikmati malam”, kilahku. Tapi aku sudah tidak bisa menahan apa yang aku renungkan untuk segera “dimuntahkan” pada sahabatku. “Aku salut padamu Rid, dalam kondisi seperti ini, kondisi dimana semua sistem lazim diatur karena kekeluargaan, kedekatan, dan uang, kamu masih mempertahankan prinsipmu itu”. Sebetulnya pertanyaan konyol ini tidak sepantasnya aku tanyakan, karena dari pertanyaan ini aku terlihat sebagai orang yang gamang, ambigu, dan seolah terlihat menyerah bahkan meng-amini sistem bobrok ini, tapi inilah caraku memulai pembicaraan agar adrenalin sahabatku dalam mengusung prinsip idealismenya menggebu-gebu, dan aku bisa memetik keyakinan yang luar biasa kokoh dari jawaban sahabatku.      
“Kenapa mesti ragu Gas?, ketika kita meyakini bahwa sesuatu yang kita perjuangkan adalah sebuah kebenaran, kenapa mesti ragu!?. Ada perasaan yang akan membuat menjadi manusia seutuhnya manakala kita mempertahankan apa yang kita anggap benar, perasaan lega, bahagia, atau mungkin perasaan sebagai manusia yang tidak dikejar-kejar rasa bersalah karena sudah melakukan hal-hal yang menelanjangi kebenaran itu sendiri”. Sudah kuduga, sahabatku menjawab dengan nada menggebu-gebu, dan aku semakin menikmati setiap ungkapan yang dikatakan sahabatku. “Tapi ada kalanya kita harus berkompromi dengan keadaan rid, tidak selamanya manusia berada pada posisi yang diuntungkan ketika hendak mempertahankan idealisme dan prinsipnya”.

Aku rangsang kembali dengan pertanyaan itu agar sahabatku lebih mengebu-gebu. “ ya.., pada awalnya saya juga gamang dan ambigu kemudian seolah-olah saya akan menyerah pada sistem nepotis, kolusi dan korup yang sistemik ini, tapi setelah saya baca biografinya Ghandi, ternyata Ghandi masih bisa menjiwai kemiskinan, keterbatasan, pengekangan, pengucilan sebagai sebuah kenikmatan yang tiada tara. Kamu juga pernah baca kan bukunya?”. Ya.., Ghandi! Keyakinan hidupnya ditopang prinsip Ahimsa, prinsip pengorbanan, penaklukan atas hawa nafsu yang menjadi landasan filosofis ajaran hindu. Bahkan Ghandi sempat mempelajari ajaran Islam tentang makna hidup yang dibentengi dengan sikap perlawanan dalam menundukan kezaliman, dengan sebuah resiko kemiskinan, kekurangan dan pengucilan. Rasanya terlalu tinggi, sebuah menara gading bila kita membicarakan idealisme Ghandi pada konteks realitas kehidupan abad ini. Tapi sebagai sebuah renungan, idealisme dan prinsip Ghandi cukup membuat pandangan kita tercerahkan.

“Kawan, aku percaya padamu. Di kedai ini kita selalu membicarakan tentang perlawanan, pemberontakan dan mengususung ketidakpuasan, dan aku yakin kamu masih istiqomah antara ucapan dan tindakan. Aku masih ingat, dulu kamu sempat kecewa karena cita-cita kamu menjadi PNS dikota ini harus gugur karena satu formasi dibanderol enam puluh lima juta rupiah agar bisa lolos menjadi abdi negara, belum lagi kompetisi yang tidak fair dengan anak-anak pejabat yang sudah pasti diprioritaskan. Kamu juga ketika mahasiswa merasa muak dengan senior-senior aktifis dalam pergerakan mahasiswa yang memble karena sudah diberi akses oleh pejabat, seolah menjual-belikan gerakan mahasiswa, atau kamu pernah bercerita bagaimana beberapa aktifis mahasiswa dalam memperjuangkan masa peralihan rezim dari mulai Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Orde Reformasi yang semula idealis atas nama keadilaan dan menyatu dengan ketidak-adilan yang dirasakan rakyat jelata dalam menentang rezim, dan setelah rezim tumbang, kemudian diberi akses menjadi pejabat publik, maka berubahlah watak aktifis itu menjadi sangat elitis dan mempraktekan gaya rezim yang dulu pernah ditentangnya.

Aku yakin kamu tidaklah ragu dengan melontarkan pertanyaan seperti itu padaku, tapi kamu ingin mempertebal keyakinanku kan?, keyakinan atas apa yang aku yakini”. Ya.. Tuhan, dia sedang menganalisaku dan celakanya analisanya benar!. Aku kikuk dan berpura-pura menyeruput kopiku, aku tidak punya pilihan karena aku yakin temanku ini sangat jeli menilai gelagatku. “maafkan aku rid, aku sudah menguji keyakinanmu itu. Malam ini aku banyak belajar darimu kawan”, “dengan cara itu kita bisa saling menguatkan”. Suasana hening sejenak dan selanjutnya kita berbicara tentang hal remeh temeh yang sedikit membuat suasana tampak santai, diselingi dengan lelucon-lelucon yang membuat kita memecah kesunyian malam dengan tawa. Cukup sudah untuk malam ini, seiring waktu berjalan, seiring hujan yang berubah kembali menjadi gerimis, kami beranjak dari kedai itu. “aku yang bayar tagihannya gas”, teriak sahabatku sambil bergegas ke meja kasir. (Habis)

Ditulis oleh : Rino Sundawa Putra, Dosen FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Koran Mingguan Tasikplus. 

1 komentar: