Melawan Arus di Kota Santri (Lanjutan, Part 3)

Sahabatku menepati janjinya, datang tidak kurang dari sepuluh menit. Dengan tergesa-gesa sahabatku turun dari mobil, menghindari terjangan air hujan. “kamu sudah lama disini?” Tanya sahabatku. “lumayan, kamu mau pesan apa?”, “sama sepertimu, kopi aceh gayo!”, “tumben biasanya kamu kan suka Cappuccino?”, “aku ingin tetap semangat gas, Cappuccino kurang nendang untuk menemani kegelisahanku malam ini”.

Aku sedikit bertanya-tanya dalam hati, kegelisahan apa yang menimpa sahabatku ini, padahal baru kemarin dia sedang bahagia karena lolos tes untuk dipercaya menjadi surveyor dan pemutus kredit dikantornya. Sebagai pegawai bank BUMN, sahabatku sangat antusias sekali berkarir, dia bercerita bahwa dia ingin mengikuti jejak ayahnya yang sekarang sudah menjadi penilik di bank yang sama, sebuah jabatan yang cukup terhormat. Sahabatku memulai kariernya sebagai tenaga kontrak yang ditugaskan sebagai Customer Service kredit mikro, dan minggu kemarin dia baru saja diangkat menjadi surveyor, itu artinya naik satu tingkat, walaupun masih tetap tenaga kontrak. Kopi pesanannya pun tersaji, perempuan penjaga kasir nampak keheranan melihatku sahabatku datang tiba-tiba. 

“Apa gerangan yang menimpa sahabatku ini sampai merasa risau dan galau malam ini”, aku sedikit menggoda. “ini soal karirku gas”, “kenapa, Bukankah kamu kemarin naik satu tingkat disana?”. Sahabatku langsung berbusa-busa dengan pertanyaan awalku. “ justru itu gas, tadi sore aku berdebat hebat dengan orang tuaku perihal karirku. Kamu tahu sendiri kan sejak awal aku merasa tidak enak satu kantor dengan bapaku, orang pasti menilai ada kolusi. Tapi aku tak pernah peduli dengan prasangka orang, karena aku merasa aku berjuang sendiri ketika aku mencoba melamar ke bank itu, bahkan dulu bapaku tidak pernah tahu bahwa aku mengirim lamaran ke bank itu”. “terus masalahnya dimana?” aku sedikit memotong. “begini, tidak disangka tadi bapaku berkata bahwa aku harus siap-siap, sebentar lagi aku akan dipanggil untuk tes pegawai tetap. 

Pada awalnya aku merasa gembira, tetapi pada saat itu juga bapaku berkata bahwa tes itu bagiku hanya formalitas saja, karena bapaku sudah mengkondisikan dengan orang dalam. Tidak hanya itu, bahkan kata bapaku tesku yang kemarin untuk menempati posisi surveyor juga sebetulnya sudah dikondisikan. Aku terkejut gas, selama ini aku menganggap bahwa ini semua murni hasil kerja kerasku sendiri, tapi ternyata diam-diam bapaku mengkondisikan aku, ini tidak etis gas! Mengingkari hati nuranikku sendiri! Pantas saja waktu tes kemarin ada beberapa teman saya yang lebih senior daripada aku tidak lolos, sedangkan aku yang lebih muda dari mereka lolos.”. Gawat! Pikirku dalam hati. Aku tahu sahabatku ini, dia adalah sosok yang punya prinsip, idealis dan punya karakter pemberontak, sekarang dihadapkan pada situasi yang seolah mengingkari prinsip dan idealismenya, yang lebih parah lagi, sekarang dia berhadap-hadapan dengan bapaknya sendiri. “aku mengerti perasaanmu rid, tapi kamu harus sedikit bijak rid, karena kamu sekarang berhadapan dengan orang tuamu sendiri. Kamu harus berpikir bahwa itu semata-mata usaha bapakmu untuk menata masa depanmu sendiri. Bapakmu mengusahakan yang terbaik untukmu”. 

Aku sedikit menenangkan sahabatku, walaupun disisi lain aku juga mengutuk usaha bapaknya yang mengingkari azas kepatutan. “maksudmu aku harus mengingkari hati nuraniku sendiri gas?!, mentang-mentang itu bapaku lantas aku membenarkan apa yang dilakukan oleh bapaku?!. Tidak begitu gas, prinsip adalah prinsip, walaupun aku berhadapan dengan bapaku sendiri”. Aku yakin pendiriannya tidak bisa dipatahkan, “tapi kamu harus sedikit hati-hati dalam menyikapinya rid, jangan sampai kamu terlalu agresif dalam menghadapi bapakmu”, aku tetap saja sedikit diplomatis, walau aku bisa mengetahui apa yang akan dilakukan nanti bila sudah berkaitan dengan prinsipnya. “aku malu gas, disini, dikedai kopi ini kita sering berbicara tentang prinsip, idealisme dan pemberontakan. 

Kita sering menggugat dan mengkritisi praktek-praktek ketidak-adilan, menguliti sistem yang membuat manusia menghalalkan segala cara untuk kepentingannya sendiri, termasuk praktek kolusi, dan sekarang praktek-praktek seperti telah menjangkiti pikiran bapaku, dan aku harus dipaksa menelan mentah-mentah sistem kotor ini!”. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku mencoba memikirkan sebuah pendapat yang bisa membuat sahabatku ini berpikir bijak dan diplomatis. “aku tahu rid, pendirian kamu memang susah untuk ditaklukan, sebagai jalan keluar yang bijak alangkah baiknya kamu mencoba menggagalkan usaha bapak kamu untuk mengkondisikan tes itu, dan kamu minta tes itu dilakukan secara jujur. Tapi ini harus dikomunikasikan dengan cara baik-baik kepada bapak kamu. Aku yakin rid, kamu lolos dari tes kemarin dan pasti lolos pada tes yang akan datang itu semata-mata karena kerja keras kamu, kamu memang punya bakat dibidangmu rid, kamu mendapatkan nilai terbaik di Fakultas Ekonomi, itu menandakan kamu memang punya bakat dibidang perbankan. Dan kamu tidak boleh berprasangka buruk bahwa hasil tes kemarin dan tes yang akan datang adalah hasil rekayasa”. “tidak bisa gas! Bapaku sudah mengecewakan aku! Jalan terbaik adalah aku harus mengundurkan diri dan mencoba langkah dari awal lagi dengan melamar ke Bank yang lain dengan usahaku sendiri. Terlalu resisten rasanya bila harus satu Bank dengan bapaku, apalagi posisi bapaku sebagai penilik, ini sekaligus memberi pelajaran pada bapaku, bahwa praktek-praktek seperti itu tidak bisa diterima, bahkan oleh anaknya sendiri. “tapi aku yakin rid, praktek kotor ini sudah terlalu akut dan kronis, bisa dibilang hampir semua institusi terjangkit virus ini. Aku bahkan tidak menjamin bahwa Bank lain juga bersih dari praktek nista ini”. 

Aku meyakinkan sahabatku bahwa pada zaman edan ini sulit mencari ruang dalam pekerjaan kita yang bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, sekaligus menenangkan sahabatku agar tidak kecewa dengan keadaan yang menimpanya. Aku berharap dengan pernyataanku ini sahabatku tidak terlalu kecewa dengan bapaknya juga dengan Bank yang selama ini ia memulai karirnya. “aku yakin pada diriku sendiri gas, bahwa prinsip, idealisme dan keyakinan ini akan tetap membedakan aku walaupun aku berada ditempat yang yang terjangkiti virus. Di Bank lain setidaknya tidak ada bapaku, jadi bisa bekerja sendiri berdasarkan prestasiku. Kejujuran akan membedakan kita dari keadaan yang akut ini gas, kita harus berani melawan arus, menentang sistem sebagai pembeda bahwa kita ini adalah orang yang berani jujur karena prinsip”. “aku percaya padamu kawan..!”. 

Akhirnya persoalan ini mengkerucut pada kesimpulan yang sedari awal sudah aku duga, bahwa sahabatku tidak akan tunduk pada sistem yang dicurangi, termasuk oleh bapaknya sendiri. “kalau memang menurut kamu itu jalan terbaiknya, tentunya kamu harus siap kembali lagi dari nol kawan!”, “kembali melangkah dari nol tetapi dengan kerja keras sendiri jauh lebih terhormat, ketimbang melanjutkan sesuatu yang sudah didapat selama 4 tahun tetapi didapat dengan cara mengakali sistem”, “saya sepakat itu rid!”. 

Kesimpulan dari percakapan ini ternyata membuat sahabatku kembali ceria, seolah yakin dengan keputusannya itu. Memang seperti biasanya kita sudah merasa lega ketika mendapatkan akhir sebuah percakapan dengan mengusung tema-tema pemberontakan, kritikan dan perlawanan arus terhadap hegemoni ketidak-adilan. Semua tercurah dikedai kopi ini. Sebuah akhir yang membuat sahabat saya tersenyum tanpa beban.

Satu jam kami menghabiskan waktu perbincangan tadi, hujan masih saja belum reda, dan sekarang jarum jam menunjuk pada angka 13.05 WIB. “kapan hujan ini akan berhenti”, aku masih saja mengeluhkannya. “jangan menggerutu soal hujan gas, justru hujanlah yang menyelamatkan aku, hujan lah yang membuatmu tertahan dikedai kopi ini, dan akhirnya membawaku kesini untuk mencurahkan keresahan hatiku. Sekarang aku lega gas!, terima kasih hujan.., terima kasih Bagas..!” ha..ha.. ha.. kami tertawa lepas menertawakan ucapan sahabatku.
 
Susana sesaat menjadi hening ketika kami sama-sama menyeruput kopi. “wah.. titik darah penghabisan nih”, celoteh si Farid ketika melihat cangkir kopinya yang sudah kosong. “kamu besok masuk siang gas”, “mungkin agak pagi, karena besok harus diskusi dulu dengan wartawan lapangan”, “jam berapa?”, “jam sembilan”, “mantap!, berati tidur jam setengah tiga pun ga jadi masalah. Teh.. pesan kopi yang sama dua lagi ya, plus roti bakarnya dua!”. Celaka pikirku, kenapa si Farid ini pesan lagi kopi padahal ini sudah larut. “malam  ini malam panjang gas, lagian masih hujan, kalau maksa pulang malah nanti masuk angin kecuali kamu titipin motor kamu dan ikut denganku naik motor. Kita sepakat pulang jam dua oke?!”. “kamu sendiri kan besok pagi ngantor?”, “tenang gas, aku besok ke kantor siang Cuma menyerahkan surat pengunduran diriku”. Pasrah.. aku tidak bisa berbuat apa-apa atas ajakan si Farid, memang dipikir-pikir masih hujan dan aku juga masih betah ngobrol ngalor-ngidul dengan si Farid, apalagi ditemani secangkir kopi aceh gayo plus cemilannya. Tapi yang menjadi persoalan adalah besok jam Sembilan sudah harus ada dikantor. “ah.. besok adalah besok!” cetusku dalam hati untuk meredakan kegelisahaanku. (Bersambung).

Penulis : Rino Sundawa Putra, Dosen FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Koran Mingguan Tasikplus.

1 komentar: