Kisah Tragis Bawang Merah dan Bawang Putih

 Oleh:
Rino Sundawa Putra


Tentunya kita masih ingat tentang cerita klasik bawang merah dan bawang putih. Cerita yang sangat melegenda ini, bahkan beberapa kali diadopsi kedalam cerita sinetron. Sinetron yang paling populer yang diangkat dari kisah ini adalah sinetron yang diperankan oleh Nia Ramadani. Cerita yang berlatar penderitaan bawang putih karena kekejaman dan ketamakan bawang merah berakhir dengan happy ending, karena ketamakan bawang merah dia meninggal sedangkan karena kesabaran bawang putih, dia terbebas dari kekejaman dan keserakahan bawang merah.

Penulis sengaja membawa alam pikiran pembaca kedalam cerita fiksi bawang merah dan bawang putih sebagai prolog tulisan ini supaya lebih bernostalgia dalam skenario antagonisnya bawang merah dan protagonisnya bawang putih. Berangkat dari kisah fiksi tersebut, kini semua dihadapkan pada sebuah fakta bahwa sekarang ini baik itu bawang merah dan bawang putih sama-sama berperan sebagai sosok yang “antagonis”. Melambungnya harga “mereka” membuat limbung sebagian besar masyarakat. Betapa tidak komoditas pertanian ini punya nilai ekonomis tinggi karena tingkat konsumsinya  yang juga tinggi akan berpengaruh kepada sektor perdagangan yang lain, artinya komoditi ini mempunyai efek domino ekonomi yang tentu saja berpengaruh terhadap inflasi yang berimbas kepada menurunnya daya beli masyarakat. Belum lagi akan berimbas kepada ketahanan pangan bangsa Indonesia. 

Luar biasa, bawang merah dan bawang putih yang mungkin dulu kita sepelekan harganya kini hampir menyamai harga daging sapi, menembus harga Rp. 50.00 sampai Rp. 80.000 karena langkanya komoditas ini dipasaran. Nista, maja, utama! Hanya dengan bawang merah dan bawang putih saja, kita dibuat limbung, pusing tujuh keliling. Tidak pantas rasanya sebagai negara agraris, negara tropis yang tingkat kesuburan tanahnya sangat tinggi terjadi kelangkaan produk-produk pertanian dan holtikultura. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, siapa yang bermain, menjadi aktor antagonis layaknya watak bawang merah yang kejam dan tamak dalam cerita diatas? Adakah antagonisme aktor kebijakan pangan?. 

Liberalisasi Kebijakan Pangan di Indonesia 
Pada  tahun 1990-an, pemenuhan kebutuhan bawang putih dan bawang merah di Indonesia 90 %-nya dipenuhi dari produksi lokal sisanya dipenuhi dari impor, artinya 90 % kebutuhannya dipenuhi oleh para petani bawang. Ini mengindikasikan pada tahun tersebut kendali pangan atau kedaulatan pangan khususnya dikomoditas bawang ada dalam genggaman petani lokal, penentuan harga dipasaran pun akan ditentukan oleh petani yang dikendalikan oleh kebijakan negara, dengan asumsi para petani untung, harga stabil.

Kini keadaannya terbalik, dari total kebutuhan bawang merah dan putih, hampir 90 %-nya dipenuhi oleh impor, sisanya dipenuhi oleh para petani lokal. Konsekwensi logis dari keadaan ini, kendali harga pangan atau kedaulatan pangan sudah tidak ada, karena penentuan harga diserahkan sepenuhnya kepada para importir dan dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni perubahan keadaan dinegara pengimpor. Disinilah para aktor antagonis bawang mulai bermain, sehingga munculan istilah kartel impor. Kartel impor adalah penentuan harga pasaran berdasarkan kesepakatan bersama dengan cara membuat langka sebuah komoditas, setelah harga melambung, barang tersebut baru dilepas. Inilah yang terjadi pada harga bawang merah dan putih sekarang ini.

Bila menelusuri dari sisi kebijakan negara, ini diawali ketika pemerintah pada tahun 1998, masa transisi pergantian rezim dari orde baru ke masa reformasi. Dengan dalih penyelamatan ekonomi dari krisis moneter, pemerintah menandatangi kesepakatan Letter of Intent (LoI) sesuai anjuran IMF. Salah satu efek dari butir-butir kesepakatan pemerintah dengan IMF dalam LoI adalah liberalisasi sektor pertanian dan reformasi Bulog. Inilah titik awal pengambil-alihan kedaulatan pangan Indonesia.

Dalam hal ini, Bulog dikondisikan agar kehilangan perannya dalam memonopoli komoditas strategis harga pangan seperti beras, terigu, gula, kedelai, jagung, gandum, minyak goreng, bawang merah dan putih. Padahal Bulog punya peran strategis dalam menjaga stabilisasi harga pangan bagi produsen dan konsumen dalam menciptakan ketahanan pangan. Kebijakan ini secara langsung akan memberi peluang dan kekuatan pada sektor swasta/asing dalam mendominasi harga pangan. Dibukanya kran impor produk pangan dengan pajak yang kecil seperti beras, gula, kedelai, termasuk bawang merah dan putih secara besar-besaran lambat laun mematikan sektor pertanian lokal, karena harga produk pangan impor jauh lebih murah. Jadilah apa yang sekarang kita rasakan. Produktifitas para petani semakin menurun karena daya saing produknya kalah dengan komoditas impor, belum lagi persoalan pupuk dan bibit yang penyediaannya diserahkan kepada sektor swasta/asing. Lengkap sudah, dari mulai bibit, pupuk dan kendali harga semua ditentukan oleh sektor swasta/asing. Inilah antagonisme kebijakan yang tamak.

Pada masa pemerintahan SBY, kebijakan liberalisasi sektor pangan ini dilanggengkan dengan munculnyan UU Nomor 5 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan kepemilikan agrarian. Selanjutnya ada Intruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009 termasuk didalamnya mengatur investasi pangan skala luas, yang telah membuka jalan privatisasi dan monopoli sektor pangan menjadi semakin terbuka. (Rini, 2010:62, dalam Winarno: 2012).

Data BPS tahun 2010 menunjukan bahwa hampir 60 % penduduk Indonesia adalah pekerja di sektor pertanian. Bila melihat fakta ini, seharusnya kebijakan pangan pemerintah harus mengakomodasi kepentingan para pekerja di sektor pertanian. Ketidak berpihakan kebijakan pemerintah terhadap sektor pangan, akan mengakibatkan pemiskinan struktural yang tidak hanya dialami oleh para petani, tetapi akan berimbas kepada masyarakat secara keseluruhan, karena pangan merupakan produk konsumsi pokok yang keberadaannya akan mewakili kepentingan hajat hidup orang banyak. Melonjaknya harga kedelai, daging sapi, bawang merah dan putih adalah bukti bahwa kebijakan liberalisasi sektor pangan adalah penyebab lepasnya kedaulatan pangan dan ekonomi negara ini. Ironis!.

Rino Sundawa Putra adalah dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

1 komentar: