Politik & Birokrasi dalam Mewujudkan Good Governance
Oleh : Dr. Hari Walujo Sedjati
Pengalaman sejarah nasional sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa sangat berbeda dengan konsep pemerintahan demokrasi, karena pembuatan
keputusan nasional dipisahkan dari kekuatan-kekuatan sosial dan
politik, dimanifestasikan kedalam tingkatan-tingkatan kekuasaan elit
dari ibu kota. Sebagai negara kepulauan yang terpisahkan oleh
batas-batas kelautan disekitarnya, pemerintahan birokrasi sebagian besar
tidak mempan terhadap arus perubahan dalam masyarakat, namun malah
lebih responsif terhadap tekan negara-negara donor yang berasal dari
dunia internasional.
Meskipun terdapat kebenaran yang tidak dapat disangkal, bahwa para pegawai negeri memiliki kekuasaan, sumber dana yang besar, kumpulan orang-orang berpotensi dan intelektualitas. Namun terdapat perbedaan yang nyata pada negara, seperti Indonesia dibawah kekuasaan Orde Baru, dengan pemerintahan-pemerintahan birokrasi lainnya di negara-negara sedang berkembang. Dalam kasus ini, militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lainnya seperti misalnya partai partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau kepentingan-kepentingan komunal yang terorganisir lainnya. Tindakan-tidakan yang didesain, untuk mempengeruhi keputusan-keputusan pemerintah hanya berasal dari kaum elit itu sendiri tanpa memperhatikan partisipasi masa atau mobilisasinya.
Kekuasaan tidak berasal dari artikulasi-artikulasi kepentingan dari lingkungan sosial dan kondisi geografis yang berjauhan dalam masyarakat. Kekuasaan dipegang teguh oleh Presiden, Pembangunan dipergunakan sebagai Ideologi untuk melanggengkan kekuasaan, didukung penuh jajaran birokrasi memperlemah kekuasaan politik. Pemerintahan dikuasai oleh birokrat adalah sebuah bentuk pemerintahan yang didalamnya tidak ada partisipasi reguler atau partisipasi masyarakat.(Karl. D. Jackson;1981). Bentuk bureaucratis polity hanya merupakan bentuk partisipasi reguler yang lebih banyak melibatkan sejumlah besar warga negara dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan dari pada partisipasi dalam pembuatan kebijakan nasional. Meskipun bentuk partisipasi ini cenderung lebih diorganisasikan oleh kelompok vertikal dari pada horisontal yakni lebih didasarkan pada kewenangan tradisional dan pengelompokan patron-client dari pada didasarkan pengelompokan atas dasar atribut-atribut sosial yang mencerminkan kepentingan bersama.
Negara pada saat ini semenjak runtuhnya Orde Baru, memiliki partai-partai politik yang otonom, yang bisa mempengaruhi pembuatan keputusan dan partai politik dengan kapasitas organisasi yang mampu memobilisasikan warga negara secara konsisten. Arena utama untuk persaingan politik sebagian besar bukan hanya didalam negara, dan didalam sistem kekuasaan, tetapi juga mencari dukungan yang lebih luas, ditengah-tengah masyarakat. Partisipasi yang ditujukan untuk mendisiplinkan pemerintahan pusat, mejauhkan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme akan lebih berhasil jika segmen-segmen penting dari jajaran korp pegawai negeri, masyarakat, aparat penegak hukum, dan birokrasi mendukungnya. Banyaknya kasus-kasus penyelewengan kekuasaan, yang dijumpai di negara-negara dunia yang otoriter, menggunakan mesin birokrasi sebagai dukungan kekuasaan yang potensial, meskipun terjadi gejolak pada rakyat, dan ketidak puasan terjadi dimana-mana yang akhirnya berhasil diredam. Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur yang sangat diktaktor, runtuhnya pemerintahan Marcos di Filipina yang juga diktaktor oleh yang disebut sebagai People Power, pergolakan mahasiswa di Republik Rakyat Cina yang sayangnya berakhir dengan tragedi di Tiananmen; Krisis Moneter menimbulkan demonstrasi mahasiswa Indonesia meluas, dan kritik sosial yang berkembang, yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru yang otoriter dan buruk yang kemudian melahirkan pemerintahan Orde Reformasi yang sekarang ini. Pengalam buruk pemerintahan otoriter Indonesia menjadikan pilihan demokrasi sebagai anggapan paling ideal meskipun banyak pengorbanan. Demokrasi butuh biaya tinggi, disintegrasi social menjauh dari efektif, efisien, profesionalisme pemimpin birokrasi dan lain-lain. Adalah sebagian dari banyak contoh lain yang menggabarkan betapa demokrasi merupakan suatu kebutuhan manusia dimana-mana harus ditebus harga sangat mahal. Sejarah dunia penuh dengan kisah pengorbanan manusia tertindas yang ingin meraih kemerdekaan dan kebebasan baik dari kekuatan represif asing maupun domestik. Tetapi pengalaman di berbagai negara menunjukan, bahwa kebebasan dan demokrasi bersifat fragil, rawan terhadap kemungkinan penyelewengan. Disamping selalu ada arus tuntutan kepada demokrasidan kebebasan, selalu ada pula arus balik yang cenderung membatasinya. Demokrasi biasanya disuarakan secara lantang oleh mereka yang berada di luar kekuasaan, dan pembatasan terhadap pelaksanaan demokrasi umumnya dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Banyak orang menggunakan demokrasi dan kebebasan sebagai instrumen untuk tujuan lain diluar demokrasi, atau untuk mencapai kekuasaan, bukan untuk nilai politik yang harus dijunjung tinggi atau sebagai aturan main yang harus diikuti secara konsisten dalam situasi apapun. Banyak pula penguasa otoriter yang mengesyahkan kekuasaan dengan simbol-simbol demokrasi yang semu, karena mereka tahu bahwa otoritarianisme bukanlah ideologi politik yang populer dimata rakyat dan dunia Internasional. Banyak contoh pergolakan rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah yang justru melahirkan pemerintahan negara merdeka yang jauh lebih kejam dari pada penjajah itu sendiri. Banyak pula contoh revolusi untuk menumbangkan pemerintah yang represif justru melahirkan bentuk pemerintahan yang lebih diktaktor dan kejam dari rezim lama yang telah ditumbangkan.
Salah satu faktor penting yang ikut andil dalam pengembangan demokrasi adalah birokrasi artinya, birokrasi dapat memainkan peranan penting baik yang sifatnya positip maupun negatip. Demokrasi agar efektif, memerlukan dukungan birokrasi, antara lain dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik secara efektif, dan sebagai instrumen untuk menjaga tertip sosial. Birokrasi yang lemah, dapat membawa demokrasi kedalam chaos, yang pada gilirannya akan merusak masa depan demokrasi itu sendiri. Sebaliknya birokrasi yang terlalu kuat dapat melumpuhkan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga politik lain, sehingga proses check and balance tidak dapat berlangsung dengan baik. Birokrasi yang terlau kuat, juga membuat rakyat terlalu tergantung kepadanya, sehingga inisiatif rakyat tidak dapat berkembang. Ringkasanya birokrasi yang terlalu kuat bisa mengancam sendi-sendi demokrasi. Secara harfiah demokrasi berasal dari bahasa latin demokratia. (Dari akar kata demos yang berarti rakyat dan kratia berarti pemerintahan ). Demokrasi dengan demikian berarti pemerintahan kerakyatan, dalam sistem ini pemegang kekuasaan harus bertanggung jawab pada rakyat dan memerintah atasnamanya. Kekuasaanpun diperoleh melalui kompetisi atau sistem pemilihan yang bebas dan terbuka. Karena itu pula setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kekuasaan secara demokratis. Penguasa yang demokratis akan memandang kritik sosial sebagai bagian dari mekanisme politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaanya untuk menekan kritik sosial karena sebagai bagian dari sistem politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk menekan kritik sosial. Pergantian kekuasaan umumnya didiskusikan secara terbuka menjadi bagian dari diskusi publik dan berlangsung secara normal mengikuti aturan yang diterima.
Sebaliknya, pada sistem pemerintahan yang otoriter kekuasaan cenderung bersifat sentralisasi atau memusat pada satu orang atau klik saja. Kekuasaan tertutup bagi kelompok-kelompok lain diluar lingkaran elit penguasa. Penguasa diktaktor cenderung sensitif terhadap kritik, atau memandang kritik sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, dan sering kali pendekatan kekuasaan dipakai untuk menekan kritik tersebut. Hubungan-hubungan kekuasaan diorganisir untuk memperkuat posisi eksekutif. Sentralitas kekuasaan ditangan eksekutif tidak hanya tercermin dari kuatnya presiden, tetapi juga oleh mandulnya parlemen dan partai oposisi yang tidak dimungkinkan adanya. Pada sistem ini, pergantian pemimpin cenderung sulit terjadi dan jika terjadi, kebanyakan berlangsung secara tertutup diantara mereka yang berada didalam kekuasaan saja. Peralihan kekuasaan kepada pihak diluar lingkaran kekuasaan hanya dimungkinkan jika dipergunakan cara-cara kekerasan misalnya dengan penggulingan secara paksa (Carino;1992). Tampaknya saat ini sistem politik kita sudah mengarah pada demokrasi yang sesungguhnya, dengan pengorbanan yang besar baik moral maupun material saat suasana krisis moneter terjadi keruntuhan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sangat rigit dan otoriter. Distri busi kekuasaan antar lembaga-lembaga negara lain(DPR, Makamah Agung, dan Kejaksaan Agung ) sudah mulai berimbang, Secara riil telah dilaksanakan pemilihan Presiden dan anggota Legislatif yang berasaskan langsung umum bebasa dan rahasia tanpa gejolak yang berarti. Ada beberapa permasalah yang belum dipecahkan secara tuntas yaitu koruptor para mantan penguasa Orde Baru belum dituntaskan, krisis moneter yang berkepanjangan, dan mucul berbagai tindak terorisme yang mengancam disintregrasi nasional. Salah satu unsur penting yang memberikan ciri unsur demokrasi, adalah terjaminnya kebebasan warga negara rakyat dalam sistem politik yang demokratis terjamin kebebasannya untuk berserikat, mengemukakan pendapat, menetukan sikap politik dan lai-lain. Demikian sebaliknya, unsur penting yang memberikan ciri otoritarianisme adalah berbagai pembatasan dari pemerintah kepada warga negara.
Meskipun terdapat kebenaran yang tidak dapat disangkal, bahwa para pegawai negeri memiliki kekuasaan, sumber dana yang besar, kumpulan orang-orang berpotensi dan intelektualitas. Namun terdapat perbedaan yang nyata pada negara, seperti Indonesia dibawah kekuasaan Orde Baru, dengan pemerintahan-pemerintahan birokrasi lainnya di negara-negara sedang berkembang. Dalam kasus ini, militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lainnya seperti misalnya partai partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau kepentingan-kepentingan komunal yang terorganisir lainnya. Tindakan-tidakan yang didesain, untuk mempengeruhi keputusan-keputusan pemerintah hanya berasal dari kaum elit itu sendiri tanpa memperhatikan partisipasi masa atau mobilisasinya.
Kekuasaan tidak berasal dari artikulasi-artikulasi kepentingan dari lingkungan sosial dan kondisi geografis yang berjauhan dalam masyarakat. Kekuasaan dipegang teguh oleh Presiden, Pembangunan dipergunakan sebagai Ideologi untuk melanggengkan kekuasaan, didukung penuh jajaran birokrasi memperlemah kekuasaan politik. Pemerintahan dikuasai oleh birokrat adalah sebuah bentuk pemerintahan yang didalamnya tidak ada partisipasi reguler atau partisipasi masyarakat.(Karl. D. Jackson;1981). Bentuk bureaucratis polity hanya merupakan bentuk partisipasi reguler yang lebih banyak melibatkan sejumlah besar warga negara dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan dari pada partisipasi dalam pembuatan kebijakan nasional. Meskipun bentuk partisipasi ini cenderung lebih diorganisasikan oleh kelompok vertikal dari pada horisontal yakni lebih didasarkan pada kewenangan tradisional dan pengelompokan patron-client dari pada didasarkan pengelompokan atas dasar atribut-atribut sosial yang mencerminkan kepentingan bersama.
Negara pada saat ini semenjak runtuhnya Orde Baru, memiliki partai-partai politik yang otonom, yang bisa mempengaruhi pembuatan keputusan dan partai politik dengan kapasitas organisasi yang mampu memobilisasikan warga negara secara konsisten. Arena utama untuk persaingan politik sebagian besar bukan hanya didalam negara, dan didalam sistem kekuasaan, tetapi juga mencari dukungan yang lebih luas, ditengah-tengah masyarakat. Partisipasi yang ditujukan untuk mendisiplinkan pemerintahan pusat, mejauhkan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme akan lebih berhasil jika segmen-segmen penting dari jajaran korp pegawai negeri, masyarakat, aparat penegak hukum, dan birokrasi mendukungnya. Banyaknya kasus-kasus penyelewengan kekuasaan, yang dijumpai di negara-negara dunia yang otoriter, menggunakan mesin birokrasi sebagai dukungan kekuasaan yang potensial, meskipun terjadi gejolak pada rakyat, dan ketidak puasan terjadi dimana-mana yang akhirnya berhasil diredam. Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur yang sangat diktaktor, runtuhnya pemerintahan Marcos di Filipina yang juga diktaktor oleh yang disebut sebagai People Power, pergolakan mahasiswa di Republik Rakyat Cina yang sayangnya berakhir dengan tragedi di Tiananmen; Krisis Moneter menimbulkan demonstrasi mahasiswa Indonesia meluas, dan kritik sosial yang berkembang, yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru yang otoriter dan buruk yang kemudian melahirkan pemerintahan Orde Reformasi yang sekarang ini. Pengalam buruk pemerintahan otoriter Indonesia menjadikan pilihan demokrasi sebagai anggapan paling ideal meskipun banyak pengorbanan. Demokrasi butuh biaya tinggi, disintegrasi social menjauh dari efektif, efisien, profesionalisme pemimpin birokrasi dan lain-lain. Adalah sebagian dari banyak contoh lain yang menggabarkan betapa demokrasi merupakan suatu kebutuhan manusia dimana-mana harus ditebus harga sangat mahal. Sejarah dunia penuh dengan kisah pengorbanan manusia tertindas yang ingin meraih kemerdekaan dan kebebasan baik dari kekuatan represif asing maupun domestik. Tetapi pengalaman di berbagai negara menunjukan, bahwa kebebasan dan demokrasi bersifat fragil, rawan terhadap kemungkinan penyelewengan. Disamping selalu ada arus tuntutan kepada demokrasidan kebebasan, selalu ada pula arus balik yang cenderung membatasinya. Demokrasi biasanya disuarakan secara lantang oleh mereka yang berada di luar kekuasaan, dan pembatasan terhadap pelaksanaan demokrasi umumnya dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Banyak orang menggunakan demokrasi dan kebebasan sebagai instrumen untuk tujuan lain diluar demokrasi, atau untuk mencapai kekuasaan, bukan untuk nilai politik yang harus dijunjung tinggi atau sebagai aturan main yang harus diikuti secara konsisten dalam situasi apapun. Banyak pula penguasa otoriter yang mengesyahkan kekuasaan dengan simbol-simbol demokrasi yang semu, karena mereka tahu bahwa otoritarianisme bukanlah ideologi politik yang populer dimata rakyat dan dunia Internasional. Banyak contoh pergolakan rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah yang justru melahirkan pemerintahan negara merdeka yang jauh lebih kejam dari pada penjajah itu sendiri. Banyak pula contoh revolusi untuk menumbangkan pemerintah yang represif justru melahirkan bentuk pemerintahan yang lebih diktaktor dan kejam dari rezim lama yang telah ditumbangkan.
Salah satu faktor penting yang ikut andil dalam pengembangan demokrasi adalah birokrasi artinya, birokrasi dapat memainkan peranan penting baik yang sifatnya positip maupun negatip. Demokrasi agar efektif, memerlukan dukungan birokrasi, antara lain dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik secara efektif, dan sebagai instrumen untuk menjaga tertip sosial. Birokrasi yang lemah, dapat membawa demokrasi kedalam chaos, yang pada gilirannya akan merusak masa depan demokrasi itu sendiri. Sebaliknya birokrasi yang terlalu kuat dapat melumpuhkan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga politik lain, sehingga proses check and balance tidak dapat berlangsung dengan baik. Birokrasi yang terlau kuat, juga membuat rakyat terlalu tergantung kepadanya, sehingga inisiatif rakyat tidak dapat berkembang. Ringkasanya birokrasi yang terlalu kuat bisa mengancam sendi-sendi demokrasi. Secara harfiah demokrasi berasal dari bahasa latin demokratia. (Dari akar kata demos yang berarti rakyat dan kratia berarti pemerintahan ). Demokrasi dengan demikian berarti pemerintahan kerakyatan, dalam sistem ini pemegang kekuasaan harus bertanggung jawab pada rakyat dan memerintah atasnamanya. Kekuasaanpun diperoleh melalui kompetisi atau sistem pemilihan yang bebas dan terbuka. Karena itu pula setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kekuasaan secara demokratis. Penguasa yang demokratis akan memandang kritik sosial sebagai bagian dari mekanisme politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaanya untuk menekan kritik sosial karena sebagai bagian dari sistem politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk menekan kritik sosial. Pergantian kekuasaan umumnya didiskusikan secara terbuka menjadi bagian dari diskusi publik dan berlangsung secara normal mengikuti aturan yang diterima.
Sebaliknya, pada sistem pemerintahan yang otoriter kekuasaan cenderung bersifat sentralisasi atau memusat pada satu orang atau klik saja. Kekuasaan tertutup bagi kelompok-kelompok lain diluar lingkaran elit penguasa. Penguasa diktaktor cenderung sensitif terhadap kritik, atau memandang kritik sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, dan sering kali pendekatan kekuasaan dipakai untuk menekan kritik tersebut. Hubungan-hubungan kekuasaan diorganisir untuk memperkuat posisi eksekutif. Sentralitas kekuasaan ditangan eksekutif tidak hanya tercermin dari kuatnya presiden, tetapi juga oleh mandulnya parlemen dan partai oposisi yang tidak dimungkinkan adanya. Pada sistem ini, pergantian pemimpin cenderung sulit terjadi dan jika terjadi, kebanyakan berlangsung secara tertutup diantara mereka yang berada didalam kekuasaan saja. Peralihan kekuasaan kepada pihak diluar lingkaran kekuasaan hanya dimungkinkan jika dipergunakan cara-cara kekerasan misalnya dengan penggulingan secara paksa (Carino;1992). Tampaknya saat ini sistem politik kita sudah mengarah pada demokrasi yang sesungguhnya, dengan pengorbanan yang besar baik moral maupun material saat suasana krisis moneter terjadi keruntuhan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sangat rigit dan otoriter. Distri busi kekuasaan antar lembaga-lembaga negara lain(DPR, Makamah Agung, dan Kejaksaan Agung ) sudah mulai berimbang, Secara riil telah dilaksanakan pemilihan Presiden dan anggota Legislatif yang berasaskan langsung umum bebasa dan rahasia tanpa gejolak yang berarti. Ada beberapa permasalah yang belum dipecahkan secara tuntas yaitu koruptor para mantan penguasa Orde Baru belum dituntaskan, krisis moneter yang berkepanjangan, dan mucul berbagai tindak terorisme yang mengancam disintregrasi nasional. Salah satu unsur penting yang memberikan ciri unsur demokrasi, adalah terjaminnya kebebasan warga negara rakyat dalam sistem politik yang demokratis terjamin kebebasannya untuk berserikat, mengemukakan pendapat, menetukan sikap politik dan lai-lain. Demikian sebaliknya, unsur penting yang memberikan ciri otoritarianisme adalah berbagai pembatasan dari pemerintah kepada warga negara.
Dalam sistem politik demokrasi liberal,
birokrasi adalah subordinate dari kepemimpinan politik dimana seluruh
tindakanya ditujukan untuk melaksanakan semua aturan atau perintah dari
politisi. Secara teoritis birokrasi dapat membantu jika dibutuhkan dalam
memberikan kontribusinya pada pengambilan kebijakan, dan tidak boleh
pula berpihak kepada kepentingan yang sempit , dari kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat. Birokrasi harus netral, berperan semata-mata
sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas operasional
atau adminstratif secara profesional. Dalam literatur administrasi
negara klasik dikenal dengan dikotomi politik dan adminstrasi
(Wilson;1987, dan Goodnow,1900). Politik berurusan dengan pengambialan
kebijakan, sementara administrasi berurusan dengan implementasi
kebijakan. Sebagai lembaga implementasi, sistem dan prosedur birokrasi
harus dikembangkan secara efisien, antara lain dengan struktur birokrasi
yang hirarkhis, aturan-aturan yang berlaku secara impersonal, juga
sistem pengembangan karier yang dapat menjamin perkembangan profesional
aparaturnya. Tujuan dari pengembangan konsep ini adalah untuk menjamin
efektivitas pemerintahan yang telah berkembang secara demokratis.
Artinya mekanisme politik yang demokratis harus ditopang oleh birokrasi
yang profesional agar semua kebijakan politik yang diputusakan dapat
diimplementasikan secara lebih efisien. Pengembangan birokrasi yang
rasional pada akhirnya dapat menimbulkan proses birokratisasi, yaitu
menguatnya peranan politik birokrasi dalam sistem pemerintahan yang pada
gilirannya telah mengurangi kadar demokrasi dan sistem politik.
Meskipun birokrasi resminya merupakan lembaga implementasi, tetapi
sesungguhnya para aparaturnya memiliki diskresi yang tinggi dalam
pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Birokrasi menjadi salah satu dari
segitiga di samping politisi dan kelompok kepentingan yang mempunyai
peranan kunci dalam mekanisme politik (Long;1986). Oleh karena itu,
negara-negara modern saat ini sering disindir dengan julukan yang
bersifat derogatif seperti adminstrative state (Waldo;1948),
bureaucratic state (Caiden,1982) atau government of the bureaucrats, by
the bureaucrats, for the bureaucrats (Caiden;1986). Hal demikian
dimungkinkan karena birokrasi dilengkapi dengan sumberdaya yang tidak
dimiliki oleh lembaga-lembaga politik lainnya. Ia menguasai informasi,
yang diperlukan, dalam pengambilan kebijakan publik, ia bisa
berkolaborasi dengan intelektual untuk merumuskan kebijakan secara
tehnokratis, sumber dana, dan lain-lain. Dengan sumber daya yang
dimiliki dan dikuasai birokrasi dapat melakukan mobilisasi dukungan
politik secara efektif terhadap langkah-langkah strategis yang diambil
(Long;1986). Pada tingkat ini sesungguhnya netralitas birokrasi telah
dilanggar dan demokrasi telah mengalami proses pembusukan. Tetapi proses
pembusukan pada negara-negara yang telah maju, relatif dapat
dikendalikan karena birokrasi muncul setelah demokrasi. Partai-partai
politik telah terlanjur berkembang cukup mapan, rekrutmen politik yang
demokratis telah cukup melembaga dan sikap politik warga negara sudah
cukup dewasa. Berbagai negara tersebut, kritik-kritik sosial dapat
muncul dengan bebas dan proses chek and balance masih dapat berlangsung
dengan cukup efektif.
Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, birokrasi berkembang tanpa didahului oleh demokratisasi.
Indonesia mempunyai sejarah birokrasi kerajaan yang meletakan para
birokratnya (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk
melayani kepentingan raja, lalu muncul birokrasi kolonial yang
dikembangkan secara rasional (Weberian) untuk memenuhi kepentingan
negara penjajah, dan sejak kemerdekaan sampai sekarang birokrasi
merupakan organisasi besar dan modern di tengah masyarakat yang belum
terbiasa berorganisasi. Sejak pemerintahan Orde Baru birokrasi
berkembang merupakan lembaga yang sangat dominan dalam sistem politik
Indonesia, dengan fungsi yang sangat banyak, sebagai insterumen dalam
pelayanan publik, sebagai agen pembaharuan dan pembangunan, dan sebagai
kekuatan politik untuk mendukung kekuasaan baik pada birokrasi sipil
maupun militer. Pengalaman yang demikian buruk dalam sejarah
perpolitikan di Indonesia, maka pada saat ini diusahakan birokrasi
netral dimana setiap unsur dalam birokrasi tidak boleh melaksanakan
kegiatan politik praktis. Bilamana campur tangan politik yang begitu
besar dari birokrasi dikawatirkan akan terjadi loyalitas kepada penguasa
tidak terbatas pada melaksanakan kebijakan-kebijakan publik yang dibuat
oleh pimpinan eksekutif, tetapi sebagai instrumen yang handal dari
kepemimpinan eksekutif untuk mencapai tujuan politik yaitu meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Hanya jika birokrasi benar-benar netral,
partai politik akan dapat berkembang menjadi besar, dan besarnya
partai-partai politik akan membuat kekuasaan terbagi kedalam pusat-pusat
kekuasaan yang lebih banyak, dan hal ini pada gilirannya akan dapat
meningkatkan bobot proses check and balance dalam mekanisme politik yang sehat.
Kehadiran birokrasi publik bagaimanapun
sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah negara yang berdaulat.
Pengembangan demokrasi tidak boleh tidak memerlukan keterlibatan
birokrasi, karena birokrat dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat
dilakukan oleh politisi. Kadang-kadang birokrasi modern cenderung
berkembang mengikuti wataknya sendiri yang secara fundamental berlawanan
dengan karakter demokrasi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
demokrasi bercirikan populis, sementara birokrasi mempunyai ciri-ciri
hirarkis. Nilai yang dominan dalam demokrasi adalah keadilan, sementara
untuk birokrasi nilai yang dominan adalah efektif dan efisien. Demokrasi
ditegakan atas dasar nilai kesamaan (equity) dan persamaan
hak, dan pengambilan keputusan bersifat partisipatory keputusan atau
kebijakan yang diambil politisi merupakan melaksanakan kehendak rakyat,
dan politisi harus mempertanggung jawabkan semua kebijakan yang diambil
kepada rakyat dari mana kekuasaan mereka berasal. Sebaliknya birokrasi
ditegakan atas dasar perbedaan status dan peranan (spesialisasi dan
hirarkis). Arus keputusan dan perintah mengalir dari atas
(manajer/pimpinan) ke bawah (bawahan/pengikut), dan arus
pertanggungjawaban mengalir dari arah sebaliknya. Kontroversial semacam
ini telah lama diketahui dan banyak dari teori politik dan adminstrasi
negara membiarkan begitu saja. Politik sudah selayaknya bercirikan
demokrasi dan birokrasi selayaknya lebih bersifat otoriter. Mereka punya
lingkungan hidup sendiri-sendiri yang berbeda tanpa perlu saling
mengkritik satu sama yang lainnya. Konsep dikotomi adminstrasi dan
politik dari Wilson (1987) didasarkan pada asumsi seperti tersebut.
Politik dan adminstrasi (birokrasi) adalah dua dunia yang berbeda yang
harus dikembangkan secara berbeda pula.
Pengembangan adminstrasi yang berbeda
dengan politik (mengutamakan hirarki efektif dan efisien) justru
dibutuhkan agar kebijakan publik yang dibuat secara demokratis dapat
diimplementasikan secara profesional oleh administrator. Artinya,
pengembangan adminstrasi yang tidak demokratis justru diperlukan untuk
menopang sistem politik yang demokratis. Perbedaan secara jelas dan
tegas mekanisme pengambilan keputusan adminstrasi dan politik. Keputusan
politik oleh lembaga lesgislatif berkenaan dengan pilihan nilai
normatif. Sementara pengambilan keputusan adminstrasi berkenaan dengan
penjabaran secara rasional faktual tujuan-tujuan politik ke dalam
program-program atau proyek-proyek publik. Karena sifat keputudsan yang
diambil berbeda, maka cara pengambilan keputusanpun berbeda. Perumusan
tujuan politik dilakukan melaui prosedur politik seperti
negosiasi,kompromi, dan ratifikasi. Sementara pengambilan keputusan
adminstrasi dilakukan secara hirarkis dengan prosedur yang rasionalatau
instrumental (Denhart;1984). Kontroversi yang tampaknya tidak
problematik tersebut dalam perkembagan berikutnya dapat menjadi sangat
problematik. Penerimaan terhadap kontroversi tersebut dalam perkembagan
berikutnya dapat menjadi sangat problematik. Penerimaan terhadap
kontroversi tersebut secara implisit didasarkan kepada asumsi bahwa
budaya birokrasi yang tidak demokrasi tersebut dapat dilokalisasi secara
efektif hanya sebatas proses adminstrasi, tidak mencemari budaya
demokrasi dari masyarakat atau politisi. Dalam praktek kita melihat
bahwa budaya birokrasi yang tidak demokrasi cenderung merasuk kedalam
budaya masyarakat dan politik. Banyak kejadian di Indonesia pengambilan
keputusan politik lebih cenderung bersifat tehnokratis ketimbang populis
karena banyak tehnokrat terlibat dalam politik praktis, dan pertimbagan
konsultan lebih dihargai dari pada suara rakyat atau orang banyak
Misalnya kasus yang masih aktual dalam kenaikan bahan bakar minyak yang
tidak dikehendaki sebagian besar rakyat terjadi demonstrasi dimana-mana ,
tetapi tetap saja dilaksanakan karena suara pemikiran dari tehnokrat.
Itu sebuah realita terhadap pengingkaran suara rakyat yang memiliki dan
berdaulat syah kepada bangsa dan negara kita. Politisi seperti juga para
birokrat, cenderung berorientasi ke atas ketimbang kebawah. Ini tampak
misalnya budaya restu dalam pemilihan pimpinan dewan atau pimpinan
organisasi politik, recall terhadap wakil rakyat yang vocal tidak
seperti yang digariskan oleh partai politik meskipun baik buat rakyat.
Adalah sebagai contoh yang menunjukan bahwa budaya birokrasi mulai
meracuni budaya politik Indonesia. Secara kultural, birokrasi cenderung
bersifat ekspansif sehingga institusi birokrasi akan semakin menguasai
politik dan budaya politik akan lebih bersifat birokratis. Sebagaimana
negara yang sudah maju didukung oleh masyarakat yang sudah matang
berpolitik, invidualisme sudah berkembang, masyarakat telah bisa
membedakan secara tegas antara antara sektor publik dengan sektor
privat, antara milik dengan urusan kantor dan berbagai urusan pribadi.
Otoritas yang merupakan pengikat hubungan antara individu dalam
birokrasi adalah otoritas yang rasional dengan batas hak dan kewajiban
yang jelas, yang berlaku secara impersonal. Hubungan hirarkis yang
terjadi antara atasan dan bawahan bersifat kontraktual, individu mau
mengorbankan kebebasan dengan taat kepada organisasi birokrasi karena
ada imbalan berupa gaji dan status yang disepakati bersama. Pada
birokrasi, ketaatan bawahan terhadap atasan didasarkan pada mandat
formal yang dimiliki atasan, bukan karena tradisi atau karisma yang
dimiliki atasan.
Prosedur diletakan sebagai alat untuk
mencapai efisiensi, bukan ceremony yang memiliki nilai sakral. Karena
berdasarkan latar belakang tersebut, sifat otoritarian dari birokrasi
tidaklah kental, pada tingkat tertentu individu dalam birokrasi untuk
menjaga otonominya bisa menolak tidak kepada atasannya misalnya untuk
melakukan berbagai pekerjaan diluar tugasnya. Birokrasi di Indonesia
tidak semuanya bercirikan pemikiran Max Weber, karena tumbuh diatas
masyarakat yang feodalistik (Kuntowijoyo; 1994). Birokrasi Indonesia
dirancang sebagai birokrasi yang rasional, tetapi dalam prakteknya
sering diwarnai budaya feodalistik, sehingga praktek-praktek hubungan
yang bersifat nepotisme mudah berkembang (Masdiana; 1995).
Hubungan
antar individu dalam birokrasi bisa sangat impersonal, misalnya ketika
birokrat berhadapan dengan kepentingan klien yang tidak ia kenal. Tetapi
ketika berhadapan dengan yang dikenalnya, hubungan dapat berubah
menjadi sangat personal. Terhadap klien tersebut pertama, peraturan dan
prosedur akan diterapkan secara kaku, bahkan cenderung disakralkan,
tetapi pada klien yang terakhir, aturan dan prosedur formal yang
disakralkan tersebutdapat dengan mudah dilewati. Pada birokrasi di
Indonesia yang demikian tersebut, otoritas yang mengikat hubungan antar
individu diwarnai tradisi hubungan patron klien dengan batas hak dan
tanggung jawab yang kabur. Oleh sebab itu, kepatuhan bawahan kepada
atasan sering tidak mempunyai batas-batas yang jelas. Atasan dapat
memerintah bawahan untuk melakukan sesuatu di luar tanggung jawab
bawahan. Karena itu dalam birokrasi seperti ini atasan akan sangat mudah
mengikat bawahan untuk loyal pada hal-hal diluar pekerjaan administrasi
yang menjadi tanggung jawab resminya. Misalnya untuk memenuhi
kepentingan pribadi atasan atau untuk memenuhi kepentingan pribadi
atasan yang lainnya. Konsep monoloyalitas dapat diterapkan secara
efektif meskipun sesungguhnya hal ini manyalahi prinsip-prinsip
birokrasi yang rasional. Akan menjadi lebih celaka lagi kalu
fungsi-fungsi politik tersebut telah dilembagakan, misalnya dengan
membentuk kantor publik yang secara khusus menangani masalah-masalah
politik di masyarakat, karena dengan demikian pekerjaan politik sudah
menjadi bagian dari tugas resmi birokrasi. Pengalaman buruk tersebut
pernah terjadi selama Orde Baru berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan
selama mungkin, sehingga partai pemerintah Golkar selalu menang mutlak.
Berbagai pengalaman buruk tersebut, pembenahan terhadap birokrasi di
Indonesia harus ditujukan kepada dua hal sekaligus membebaskan birokrasi
dari funsi kontrol politik terhadap masyarakat dan pada saat yang sama
mengurangi kecenderungan sentralisme, elitisme, dan tehnokratisme dalam
pengambilan keputusan, antara lain dengan mengembangkan desentralisasi
yang lebih substantif dan pemberdayaan publik secara sunguh-sungguh.
Distribusi kekuasaan kedalam pusat-pusat
kekuasaan yang banyak dan terjaminnya kebebasan individu dalam hal
menggunakan hak-hak politiknya merupakan indikator terpenting dari
demokrasi. Namun ada indikator penting yang lain sejauh ini belum
disinggung, keperpihakan pemegang otoritas kepada kepentingan rakyat.
Pengertian demokrasi lebih mengacu kepada prosedur, mekanisme politik
yang demokratis, dan kepada substansi mekanisme politik yang ditujukan
untuk memenuhi kepentingan publik. Konsep-konsep penting demokrasi yang
perlu dijadikan acuan adalah kebebasan, keterbukaan, representativitas,
kesamaan dalam kesempatan, akuntabilitas, responsibilitas, dan
responsivitas. Pemerintah harus bertanggung jawab, artinya setiap
tindakan yang dilakukan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak
yang menjadi sumber kekuasaan, dan dalam hal ini adalah wakil rakyat
duduk dalam lembaga legislatif. Untuk bisa demikian, setiap pemegang
mandat publik harus memiliki rasa bertanggung jawab kedalam seperti apa
yang telah dilakukan. Moral atau etika pejabat publik harus mendasari
setiap tindakannya, mereka tidak hanya patuh terhadap hukum-hukum
formal, tetapi memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan rakyat,
terutama kelompok miskin atau yang tidak diuntungkan., dan senantiasa
tanggap terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Pelaksanaan demokrasi
prosedural tidak secara otomatis menjamin terpenuhinya kepentingan
publik, politisi dapat meraih kekuasaan politik secara demokratis tetapi
penggunaan kekuasaan yang ia peroleh untuk memenuhi kepentingannya atau
kelompoknya saja. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam birokrasi,
birokrasi dapat secara konsisten menjaga netralitasnya dengan sepenuhnya
loyal kepada kepemimpinan politik. Tetapi loyal kepada kepemimpinan
politik tidak secara otomatis loyal kepada rakyat jika ternyata apa yang
diinginkan oleh pemimpin politik bertentangan dengan tuntutan
masyarakat. Birokrasi agar secara substantif menjadi demokratis perlu
menjaga komitmennya kepada publik, birokrasi harus berpihak kepada
kepentingan rakyat. Politisi dan adminstrator publik juga membawa mandat
publik untuk melayani kepentingan publik, dan karenanya haruslah
berbuat sesuai dengan rasa kewajiban moralnya sebagai pelayanan publik
(Harmon &Mayer; 1986). Tanpa kesadaran moral demikian birokrat dapat
terperangkap kepada kecenderungan melayani dirinya, sesuatu yang secara
mencolok menggejala dalam banyak birokrasi publik; adanya hukum-hukum
formal dimungkinkan direkayasa untuk membela kepentingannya, dan
melindungi diri dari kontrol sosial.
Teori Birokrasi yang ditulis oleh H.G.
Frederickson (1980) bahwa keputusan pemerintah adalah hasil dari tawar
menawar atau negosiasi diantara para aktor politik yang duduk dalam
lembaga Legislatif yang masing-masing memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Kerangka kerja tawar menawar ini
presiden memiliki kunci sentral, namun presiden juga memiliki
kepentingan untuk mengakomodasikan berbagai macam kepentingan
orang-orang yang duduk didalam lembaga eksekutif. Birokrasi dan para
pejabat eksekutif bukan sebagai semata-mata pelaksana yang netral,
tetapi sebagai partisipan yang aktip yang memiliki kepentingan
terselumbung yang harus dimanifestasikan dalam implementasi kebijakan.
Bilamana lembaga Legislatif membuat keputusan politik yang memiliki
kemauan yang sama dengan warga negara dan para birokrat juga memiliki
pandangan yang sama dengan warga negara, maka keputusan yang
dilaksanakan oleh birokrasi tentu sama dengan warga negara. Sehingga
hasilnya bisa memuaskan semua pihak maka Birokrasi yang demikian disebut
Birokrasi berdaya guna.
Pemerintahan Orde Lama sampai era kekuasaan
Orde Baru tahun 1966 sampai lengsernya regim Soeharto pada tahun 1998,
Kekuasaan lebih terkonsentrasikan ditangan Presiden, namun Indonesia
tetap bercirikan bureaucratic polity yakni sebuah sistem politik dimana
kekuasaan dan partisipasi dalam keputusan nasional ditangan para elit
pegawai negeri, termasuk para spesialis tehnokrat. Meskipun dalam hal
ini sejumlah birokrasi dan militer memberikan pengaruh yang sangat besar
pada masa Orde Baru berkuasa, dalam implementasi kebijakan sampai pada
tingkat daerah, namun kebijakan tersebut dibuat sekelompok kecil
penguasa meskipun tidak secara eklusif jelas. Konsep bureaucratic
polity/pemerintahan birokrasi berbeda dengan bentuk lainnya dari
pemerintahan, dimana derajat pembuatan keputusan nasional dipisahkan
dari kekuatan sosial dan politik diluar kekuasaan elit dari ibu kota.
Pemerintahan birokrasi tidak menerima terhadap arus perubahan dalam
masyarakat, malah lebih menanggapi arus tekanan datangnya dari luar
negeri. Pemerintahan birokratis Orba memiliki corak spesifik, sebab
dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab pada
partai-partai politik, kelompok kepentingan komunal yang
terorganisasikan. Semua kekuasaan dan kebijakan hanya terkonsentrasikan
pada elit itu sendiri kurang begitu memperlihatkan pada kepentingan
partisipasi massa secara luas, kekuasaan muncul bukan dari artikulasi
kepentingan dari lingkungan sosial dan kondisi geografis. Bureaucratic
polity hanya merupakan bentuk partisipasi reguler yang lebih banyak
melibatkan massa dalam hal implementasi kebijakan dari pada keputusan
pembuatan kebijakan. Parisipasi massa lebih banyak diorganisir oleh
kelompok vertikal daripada horisontal. Pemerintah birokrasi tidak sama
dengan penguasa militer meskipun pejabat militer mungkin sebagai
pemegang kekuasaan. Ide-ide dari para tehnokrat sipil lebih banyak
dalam kebijakan Indonesia, dibandingkan negara dunia ketiga yang lain.
Yang pada umumnya sangat memperhatikan tentang setting ekonomi yang
bertumpu pada stabilisasi, keseimbangan budget yang mengandalkan hutang
luar negeri, restorasi sistem pasar, pembangunan pertanian yang
mengorbankan petani, dan keterbukaan pada investasi asing.
Meskipun kekuasaan terkonsentrasi pada
kelompok disekitar presiden Suharto, birokrasi Indonesia lebih banyak
didukung oleh militer. Penguasa militer mengandung arti rejim-rejim yang
bercirikan mobilisasi dan partisipasi yang tinggi populisme militer.
Pemerintahan birokratis yang ada hanya memaksimalkan rasionalitas
ekonomi kental dengan nuansa kolusi korupsi dan nepotisme, terjadi
disefisiensi organisasi dan terjadi perkembangan perekonomian meskipun
berdampak pada ketimpangan ekonomi sangat tajam dalam masyarakat.
Pemerintahan Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan mengandalkan pada
dukungan birokrasi baik sipil maupun militer, para pemimpin militer dan
birokrasi yang loyal diberi reward (hadiah) oleh penguasa dalam bentuk
jabatan-jabatan sipil yang basah mendatangkan uang. Seperti, Direktur
Pertamina, Sekjend, Dirjend, Gubernur, Bupati, Menteri dan berbagai
jabatan eselon lainnya. Sehingga menimbulkan arogansi kekuasaan dan
angka korupsi dilingkungan birokrasi menjadi sangat tinggi. Disamping
itu, birokrasi seharusnya netral, tetapi dipergunakan sebagai pendukung
partai penguasa, partai politik Golkar, dan penguasa mengetahui bahwa
birokrasi sebagai sumber kupulan orang-orang potensial, kekuasaan dan
sumber dana yang besar sehingga memiliki kedudukan yang sangat
strategis(Karl D Jacson; 1981)
Perilaku aparat adminstrasi dalam
menjalankan tugas harus mendasarkan pada otoritas legal serta ditandai
dengan keyakinannya akan aturan-aturan dan tertib hukum. Didalam
empiriknya birokrasi lama-kelamahan menjadi tidak efisien dan berubah
fungsi, seperti diungkapkan oleh Crozier (1984), Penelitian telah
menunjukan bahwa birokrasi yang ideal semakin jauh dari efisien .
Birokrasi tidak lebih dari “ Bereau Pathologi” yang menggambarkan suatu
keadaan yang rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibelitas
terhadap peraturan, kelambanan mengambil keputusan, menolak usaha-usaha
yang eksperimen, dan prosedur kerja yang berbelit-belit. Perkembangan
yang demikian menjauhkan dari pelayanan publik yang baik, kemajuan dan
menjadikan tugas-tugas birokrasi semakin komplek. Disatu pihak
kompleksitas tugas birokrasi merefleksikan betapa pentingnya peranan
yang dimainkan oleh birokrasi, peranan yang demikian penting itu sering
menampilkan birokrasi sebagai wujud kehadiran pemerintah dalam
masyarakat. Sebenarnya makna birokrasi bagi masyarakat tidak hanya
tampak pada peranannya saja. dapat juga dilihat dalam konteks hubungan
kekuasaan. Dalam hubungan kekuasaan, birokrasi sangat dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi masing-masing komponen,
birokrasi biar bagaimananpun juga tidak akan terlepas dari percaturan
kepentingan yang ada didalam masyarakat. Birokrasi itu merupakan alat
kekuasaan pemerintah. karena peranannya yang demikian besar sehingga
para aparat birokrasi, menampilkan diri seolah-olah sebagai penguasa
sesungguhnya. Politisi sebagai pemimpin birokrasi harus mampu
menyuarakan, memperjuangkan kepentingan masyarakat posisinya sebagai
konstituen yang dapat mencabut mandat dari rakyat. Pemerintah dituntut
bersikap netral didalam mewujudkan kepentingan masyarakat kedalam bentuk
kebijaksanaannya. Para penguasa di sebuah negara pada dasarnya juga
mewakili kepentingan-kepentingan tertentu, kondisi yang demikian, maka
terbuka peluang bagi penguasa untuk memperalat birokrasi bagi
kepentingannya sendiri atau bagi kelompok yang diwakilinya. Pada satu
sisi birokrasi di Indonesia seolah-olah menampilkan sistem birokrasi
modern tetapi kental nuansa administrasi tradisional tampak seperti
ritualisme administratif yang tidak efisien paternalistik, arogansi
kekuasaan, kesukuan dan lain-lain. Sejalan dengan tersebut, Ramashy Ray;
(1983) mengemukakan apa yang disebutnya sebagai kultur birokrasi yang
mendasari interaksi antar berbagai jenjang jabatan atau strata
organisasi yang berbeda, dan kultur birokrasi tetap pola hubungan antara
atasan dengan bawahan, hubungan antara jabatan-jabatan yang setara.
Kemandirian birokrasi dalam arti yang sesungguhnya tanpa campurtangan
politik, atau tujuan – tujuan yang kurang baik perlu diwujudkan, dan
diharapkan birokrasi dapat berperilaku profesional dalam kerangka
kepentingan masyarakat, secara keseluruhan. Untuk itu setidak-tidaknya
ada empat nilai yang harus dimiliki birokrasi;
- Peranan birokrasi harus senantiasa bertujuan untuk melayani kepentingan umum. Oleh karena itu birokrasi harus mendahulukan kepentingan umum diatas segala kepentingan lainnya. Birokrasi sebagai pembuat kebijakan public dan sekaligus sebagi pelaksana kebijakan yang dibuat lembaga politik. Birokrasi berdaya guna hanya dapat dicapai oleh birokrat-birokrat yang profesional dan mandiri.
- Untuk dapat melayani kepentingan umum dengan baik, profesionalisme aparatur harus didasarkan pada pendidikan dan spesialisasi yang rasional dan bukan yang bersifat patrimonial. Pendidikan yang profesional memungkinkan aparatur meningkat kemampuannya didalam penguasaan teknologi di kehidupan modern yang rasional.
- Prinsip the right man on the right place perlu dipegang teguh. Prinsip ini mesyaratkan dua hal. Pertama, rekruitmen dan penempatan birokrat haruslah melalui proses seleksi yang terbuka, dalam arti bahwa syarat serta prosedurnya diketahui secara umum. Yang tidak kalah pentingnya, kedua adalah bahwa sistem seleksi hanya mengutamakan keahlian dan ketrampilan, birokrasi bukanlah jabatan politis, atau pribadi dan kelompok, yang harus benar-benar melakukan proses seleksi obyektif.
- Para politisi yang telah dipilih langsung oleh rakyat duduk di lembaga legislative dan sebagai pemimpin Birokrasi, harus memperjuangkan seluruh kepentingan warga negara bukan memperjuangkan dirinya, partai atau golongan tertentu saja.
D A F T A R P U S T A K A
Caiden, Gerald E;1982 Public Administration; Pasific Palisaes;C.A; Palisades Publishers.
Caiden, Gerald.E.;1986;The Challenge to
the Administrative State; Dalam Frederick.S. Long; 1984; Current Issues
in Publicc Administration; New York; Martin Press.
Carino, Lediva;1992; Bureaucracy for Democracy; The Dynamics of Executive and
Croizer;1984; The Politics Of Bereaucracy; Longman Press; New York.
Denhart Robert B and Janet Denhardt ;1984; Theories of Public Organization; Montery;C.A Brooks/Cole Publishing Company.
Fredericson, H. George; 1980 New Public Administration University of Albama Press;1980.
Goonow; FrankJ;1900; Politics and Administration; New York; Macmilland.
Harmon.T.Mayer;1986; Organization Theory For Public Administration; Boston; Little; Brown and Company.
Ramashy Ray 1983 . The Bureaucratic Experience; New York;St Martins Press.
Kuntowijoyo; Dr; 1994; Demokrasi Budaya Birokrasi; Yogyakarta; Pen.Yayasan Bentang Budaya.
Karl D Jacson; 1981 Political Power and Communications in Indonesia; Publishing Michigan University.
Long Norton E; 1986; Power
Administration Dalam Francis E. Rourke; Bureaucratic; Power In National
Policy Making; Boston Company.
Masdiana, Erlangga;1995; Praktek Nepotisme dalam Birokrasi; Republika 15 Juni 1995.
United Nations Development Programme (UNDP);1991 Human Development Report.
Waldo Dwight;1948; The Administrative
State :A Study of The Political Theory Of American Public
Administration; New York; The Ronald Press.
Wilson, Woodrow;1987; The Study of Administration; Political Science Quartely;Press.
Alamat Korespondensi :
DR. Hari Walujo Sedjati, M.Si
Jln. Gunung Muria No 15 RT 01 /RW 08. Kelurahan Grendeng Kec. Purwokerto
Utara Kab. Banyumas. Provinsi Jawa Tengah. Kode Pos : 53122. Hp. 081.
328. 627. 071. 085878533306.
Email: hariwaluyo@gmail.com
Dosen Kopertis Wilayah V.Dpk stisip Kartika Bangsa Yogyakarta. Makalah ini akan disampaikan dalam Studium General Labpol FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Kamis, 27 September 2012
Sumber Gambar Ilustrasi : Tri Hartanto’s Blog
0 komentar:
Post a Comment