Politik & Birokrasi dalam Mewujudkan Good Governance

Oleh : Dr. Hari Walujo Sedjati

Pengalaman sejarah nasional sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa sangat berbeda dengan konsep pemerintahan demokrasi, karena pembuatan keputusan nasional dipisahkan dari kekuatan-kekuatan sosial dan politik, dimanifestasikan kedalam tingkatan-tingkatan kekuasaan elit dari ibu kota. Sebagai negara kepulauan yang terpisahkan oleh batas-batas kelautan disekitarnya, pemerintahan birokrasi sebagian besar tidak mempan terhadap arus perubahan dalam masyarakat, namun malah lebih responsif terhadap tekan negara-negara donor yang berasal dari dunia internasional.

Meskipun terdapat kebenaran yang tidak dapat disangkal, bahwa para pegawai negeri memiliki kekuasaan, sumber dana yang besar, kumpulan orang-orang berpotensi dan intelektualitas. Namun terdapat perbedaan yang nyata pada negara, seperti Indonesia dibawah kekuasaan Orde Baru, dengan pemerintahan-pemerintahan birokrasi lainnya di negara-negara sedang berkembang. Dalam kasus ini, militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lainnya seperti misalnya partai partai politik, kelompok-kelompok kepentingan,  atau kepentingan-kepentingan komunal  yang terorganisir lainnya. Tindakan-tidakan  yang didesain, untuk mempengeruhi keputusan-keputusan pemerintah hanya berasal dari kaum elit itu sendiri tanpa memperhatikan partisipasi masa atau mobilisasinya. 

Kekuasaan tidak berasal dari artikulasi-artikulasi kepentingan dari lingkungan sosial dan kondisi geografis yang berjauhan dalam masyarakat. Kekuasaan dipegang teguh oleh Presiden,  Pembangunan dipergunakan sebagai Ideologi untuk melanggengkan kekuasaan, didukung penuh jajaran birokrasi  memperlemah kekuasaan politik. Pemerintahan dikuasai oleh birokrat adalah sebuah bentuk pemerintahan yang didalamnya tidak ada partisipasi reguler atau partisipasi masyarakat.(Karl. D. Jackson;1981). Bentuk bureaucratis polity  hanya merupakan bentuk partisipasi reguler yang lebih banyak melibatkan sejumlah besar warga negara dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan dari pada partisipasi dalam pembuatan kebijakan nasional. Meskipun bentuk partisipasi ini cenderung lebih diorganisasikan oleh kelompok vertikal dari pada horisontal yakni lebih didasarkan pada kewenangan tradisional dan pengelompokan patron-client dari pada didasarkan pengelompokan atas dasar atribut-atribut sosial yang mencerminkan kepentingan bersama.

Negara pada saat ini semenjak runtuhnya Orde Baru, memiliki partai-partai politik yang otonom, yang bisa mempengaruhi pembuatan keputusan dan partai politik dengan kapasitas organisasi yang mampu memobilisasikan warga negara secara konsisten. Arena utama untuk persaingan politik sebagian besar bukan hanya didalam negara, dan didalam sistem kekuasaan, tetapi juga mencari dukungan yang lebih luas, ditengah-tengah masyarakat. Partisipasi yang ditujukan untuk mendisiplinkan pemerintahan pusat, mejauhkan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme akan lebih berhasil jika segmen-segmen penting dari jajaran korp pegawai negeri, masyarakat, aparat penegak hukum, dan birokrasi mendukungnya. Banyaknya kasus-kasus penyelewengan kekuasaan, yang dijumpai di negara-negara dunia yang otoriter, menggunakan mesin birokrasi sebagai dukungan kekuasaan yang potensial, meskipun terjadi gejolak pada rakyat, dan ketidak puasan terjadi dimana-mana yang akhirnya berhasil diredam. Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur  yang sangat diktaktor, runtuhnya pemerintahan Marcos di Filipina yang juga diktaktor oleh yang disebut sebagai People Power, pergolakan mahasiswa di Republik Rakyat Cina yang sayangnya berakhir dengan tragedi di Tiananmen; Krisis Moneter menimbulkan demonstrasi mahasiswa Indonesia meluas, dan  kritik sosial yang berkembang, yang berhasil menumbangkan rejim Orde Baru yang otoriter dan buruk yang kemudian melahirkan pemerintahan Orde Reformasi yang sekarang ini. Pengalam buruk pemerintahan otoriter Indonesia menjadikan pilihan demokrasi sebagai anggapan paling ideal meskipun banyak pengorbanan. Demokrasi butuh biaya tinggi, disintegrasi social menjauh dari efektif, efisien, profesionalisme pemimpin birokrasi dan lain-lain. Adalah sebagian dari banyak  contoh lain yang menggabarkan betapa demokrasi merupakan suatu kebutuhan manusia dimana-mana harus ditebus harga sangat mahal.  Sejarah dunia penuh dengan kisah pengorbanan manusia tertindas yang ingin meraih kemerdekaan dan kebebasan baik dari kekuatan represif asing maupun domestik. Tetapi pengalaman di berbagai negara menunjukan, bahwa kebebasan dan demokrasi bersifat fragil, rawan terhadap kemungkinan penyelewengan. Disamping selalu ada arus tuntutan kepada demokrasidan kebebasan, selalu ada pula arus balik yang cenderung membatasinya. Demokrasi biasanya disuarakan secara lantang oleh mereka yang berada di luar kekuasaan, dan pembatasan terhadap pelaksanaan demokrasi umumnya dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Banyak orang menggunakan demokrasi dan kebebasan sebagai instrumen untuk tujuan lain diluar demokrasi, atau untuk mencapai kekuasaan, bukan untuk nilai politik yang harus dijunjung tinggi atau sebagai aturan main yang harus diikuti secara konsisten dalam situasi apapun. Banyak pula penguasa otoriter yang mengesyahkan kekuasaan dengan simbol-simbol demokrasi yang semu, karena mereka tahu bahwa otoritarianisme bukanlah ideologi politik yang populer dimata rakyat dan dunia Internasional. Banyak contoh pergolakan rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah yang justru melahirkan pemerintahan negara merdeka yang jauh lebih kejam dari pada penjajah itu sendiri. Banyak pula contoh revolusi untuk menumbangkan pemerintah yang represif justru melahirkan bentuk pemerintahan yang lebih diktaktor dan kejam dari rezim lama yang telah ditumbangkan.

Salah satu faktor penting yang ikut andil dalam pengembangan demokrasi adalah birokrasi artinya, birokrasi dapat memainkan peranan penting baik yang sifatnya positip maupun negatip. Demokrasi agar efektif, memerlukan dukungan birokrasi, antara lain dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik secara efektif, dan sebagai instrumen untuk menjaga tertip sosial. Birokrasi yang lemah, dapat membawa demokrasi kedalam chaos, yang pada gilirannya akan merusak masa depan demokrasi itu sendiri. Sebaliknya birokrasi yang terlalu kuat dapat melumpuhkan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga politik lain, sehingga proses check and balance tidak dapat berlangsung dengan baik. Birokrasi yang terlau kuat, juga membuat rakyat terlalu tergantung kepadanya, sehingga inisiatif rakyat tidak dapat berkembang. Ringkasanya birokrasi yang terlalu kuat bisa mengancam sendi-sendi demokrasi. Secara harfiah demokrasi berasal dari bahasa latin demokratia. (Dari akar kata demos yang berarti rakyat dan kratia berarti pemerintahan ). Demokrasi dengan demikian berarti pemerintahan kerakyatan, dalam sistem ini pemegang kekuasaan harus bertanggung jawab pada rakyat dan memerintah atasnamanya. Kekuasaanpun diperoleh melalui kompetisi atau sistem pemilihan yang bebas dan terbuka. Karena itu pula setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kekuasaan secara demokratis. Penguasa yang demokratis akan memandang kritik sosial sebagai bagian dari mekanisme politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaanya untuk menekan kritik sosial karena sebagai bagian dari sistem politik, dan tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk menekan kritik sosial. Pergantian kekuasaan umumnya didiskusikan secara terbuka menjadi bagian dari diskusi publik dan berlangsung secara normal mengikuti aturan yang diterima.

Sebaliknya, pada sistem pemerintahan yang otoriter kekuasaan cenderung bersifat sentralisasi atau memusat pada satu orang atau klik saja. Kekuasaan tertutup bagi kelompok-kelompok lain diluar lingkaran elit penguasa. Penguasa diktaktor cenderung sensitif terhadap kritik, atau memandang kritik sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, dan sering kali pendekatan kekuasaan dipakai untuk menekan kritik tersebut. Hubungan-hubungan kekuasaan diorganisir untuk memperkuat posisi eksekutif. Sentralitas kekuasaan ditangan eksekutif tidak hanya tercermin dari kuatnya presiden, tetapi juga oleh mandulnya parlemen dan partai oposisi yang tidak dimungkinkan adanya. Pada sistem ini, pergantian pemimpin cenderung sulit terjadi dan jika terjadi, kebanyakan berlangsung secara tertutup diantara mereka yang berada didalam kekuasaan saja. Peralihan kekuasaan kepada pihak diluar lingkaran kekuasaan hanya dimungkinkan jika dipergunakan cara-cara kekerasan misalnya dengan penggulingan secara paksa (Carino;1992). Tampaknya saat ini sistem politik kita sudah mengarah pada demokrasi yang sesungguhnya, dengan pengorbanan yang besar baik moral maupun material  saat suasana krisis moneter  terjadi keruntuhan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sangat rigit dan otoriter. Distri busi kekuasaan antar lembaga-lembaga negara lain(DPR, Makamah Agung, dan Kejaksaan Agung ) sudah mulai berimbang, Secara riil telah dilaksanakan  pemilihan Presiden dan anggota Legislatif yang berasaskan langsung umum bebasa dan rahasia tanpa gejolak yang berarti. Ada beberapa permasalah yang belum dipecahkan secara tuntas yaitu koruptor para mantan penguasa Orde Baru belum dituntaskan, krisis moneter yang berkepanjangan, dan mucul berbagai tindak terorisme yang mengancam disintregrasi nasional. Salah satu unsur penting yang memberikan ciri unsur demokrasi, adalah terjaminnya kebebasan warga negara rakyat dalam sistem politik yang demokratis terjamin kebebasannya untuk berserikat, mengemukakan pendapat, menetukan sikap politik dan lai-lain. Demikian sebaliknya, unsur penting yang memberikan ciri otoritarianisme adalah berbagai pembatasan dari pemerintah kepada warga negara.


Dalam sistem politik demokrasi liberal, birokrasi adalah subordinate dari kepemimpinan politik dimana seluruh tindakanya ditujukan untuk melaksanakan semua aturan atau perintah dari politisi. Secara teoritis birokrasi dapat membantu jika dibutuhkan dalam memberikan kontribusinya pada pengambilan kebijakan, dan tidak boleh pula berpihak kepada kepentingan yang sempit , dari kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Birokrasi harus netral, berperan semata-mata sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas operasional atau adminstratif secara profesional. Dalam literatur administrasi negara klasik dikenal dengan dikotomi politik dan adminstrasi (Wilson;1987, dan Goodnow,1900). Politik berurusan dengan pengambialan kebijakan, sementara administrasi berurusan dengan implementasi kebijakan. Sebagai lembaga implementasi, sistem dan prosedur birokrasi harus dikembangkan secara efisien, antara lain dengan struktur birokrasi yang hirarkhis, aturan-aturan yang berlaku secara impersonal, juga sistem pengembangan karier yang dapat menjamin perkembangan profesional aparaturnya. Tujuan dari pengembangan konsep ini adalah untuk menjamin efektivitas pemerintahan yang telah berkembang secara demokratis. Artinya mekanisme politik yang demokratis harus ditopang oleh birokrasi yang profesional agar semua kebijakan politik yang diputusakan dapat diimplementasikan secara lebih efisien. Pengembangan birokrasi yang rasional pada akhirnya dapat menimbulkan proses birokratisasi, yaitu menguatnya peranan politik birokrasi dalam sistem pemerintahan yang pada gilirannya telah mengurangi kadar demokrasi dan sistem politik. Meskipun birokrasi resminya merupakan lembaga implementasi, tetapi sesungguhnya para aparaturnya memiliki diskresi yang tinggi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Birokrasi menjadi salah satu dari  segitiga di samping politisi dan kelompok kepentingan yang mempunyai peranan kunci dalam mekanisme politik (Long;1986). Oleh karena itu, negara-negara modern saat ini sering disindir dengan julukan yang bersifat derogatif seperti adminstrative state (Waldo;1948), bureaucratic state (Caiden,1982) atau government of the bureaucrats, by the bureaucrats, for the bureaucrats (Caiden;1986). Hal demikian dimungkinkan karena birokrasi dilengkapi dengan sumberdaya yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga politik lainnya. Ia menguasai informasi, yang diperlukan, dalam pengambilan kebijakan publik, ia bisa berkolaborasi dengan intelektual untuk merumuskan kebijakan secara tehnokratis, sumber dana, dan lain-lain. Dengan sumber daya yang dimiliki dan dikuasai birokrasi dapat melakukan mobilisasi dukungan politik secara efektif terhadap langkah-langkah strategis yang diambil (Long;1986). Pada tingkat ini sesungguhnya netralitas birokrasi telah dilanggar dan demokrasi telah mengalami proses pembusukan. Tetapi proses pembusukan pada negara-negara yang telah maju, relatif dapat dikendalikan karena birokrasi muncul setelah demokrasi. Partai-partai politik telah terlanjur berkembang cukup mapan, rekrutmen politik yang demokratis telah cukup melembaga dan sikap politik warga negara sudah cukup dewasa. Berbagai negara tersebut, kritik-kritik sosial dapat muncul dengan bebas dan proses chek and balance masih dapat berlangsung dengan cukup efektif.


Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, birokrasi berkembang tanpa didahului oleh demokratisasi. Indonesia mempunyai sejarah birokrasi kerajaan yang meletakan para birokratnya (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja, lalu muncul birokrasi kolonial yang dikembangkan secara rasional (Weberian) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah, dan sejak kemerdekaan sampai sekarang birokrasi merupakan organisasi besar dan modern di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi. Sejak pemerintahan Orde Baru birokrasi berkembang merupakan lembaga yang sangat dominan dalam sistem politik Indonesia, dengan fungsi yang sangat banyak, sebagai insterumen dalam pelayanan publik, sebagai agen pembaharuan dan pembangunan, dan sebagai kekuatan politik untuk mendukung kekuasaan baik pada birokrasi sipil maupun militer. Pengalaman yang demikian buruk dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, maka pada saat ini diusahakan birokrasi netral dimana setiap unsur dalam birokrasi tidak boleh melaksanakan kegiatan politik praktis. Bilamana campur tangan politik yang begitu besar dari birokrasi dikawatirkan akan terjadi loyalitas kepada penguasa tidak terbatas pada melaksanakan kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh pimpinan eksekutif, tetapi sebagai instrumen yang handal dari kepemimpinan eksekutif  untuk mencapai tujuan politik yaitu meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hanya jika birokrasi benar-benar netral, partai politik akan dapat berkembang menjadi besar, dan besarnya partai-partai politik akan membuat kekuasaan terbagi kedalam pusat-pusat kekuasaan yang lebih banyak, dan hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan bobot proses check and balance dalam mekanisme politik yang sehat.


Kehadiran birokrasi publik bagaimanapun sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah negara yang berdaulat. Pengembangan demokrasi tidak boleh tidak memerlukan keterlibatan birokrasi, karena birokrat dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh politisi. Kadang-kadang birokrasi modern cenderung berkembang mengikuti wataknya sendiri yang secara fundamental berlawanan dengan karakter demokrasi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa demokrasi bercirikan populis, sementara birokrasi mempunyai ciri-ciri hirarkis. Nilai yang dominan dalam demokrasi adalah keadilan, sementara untuk birokrasi nilai yang dominan adalah efektif dan efisien. Demokrasi ditegakan atas dasar nilai kesamaan (equity) dan persamaan hak, dan pengambilan keputusan bersifat partisipatory keputusan atau kebijakan yang diambil politisi merupakan melaksanakan kehendak rakyat, dan politisi harus mempertanggung jawabkan semua kebijakan yang diambil kepada rakyat dari mana kekuasaan mereka berasal. Sebaliknya birokrasi ditegakan atas dasar perbedaan status dan peranan (spesialisasi dan hirarkis). Arus keputusan dan perintah mengalir dari atas (manajer/pimpinan) ke bawah (bawahan/pengikut), dan arus pertanggungjawaban mengalir dari arah sebaliknya. Kontroversial semacam ini telah lama diketahui dan banyak dari teori politik dan adminstrasi negara membiarkan begitu saja. Politik sudah selayaknya bercirikan demokrasi dan birokrasi selayaknya lebih bersifat otoriter. Mereka punya lingkungan hidup sendiri-sendiri yang berbeda tanpa perlu saling mengkritik satu sama yang lainnya. Konsep dikotomi adminstrasi dan politik dari Wilson (1987) didasarkan pada asumsi seperti tersebut. Politik dan adminstrasi (birokrasi) adalah dua dunia yang berbeda yang harus dikembangkan secara berbeda pula.


Pengembangan adminstrasi yang berbeda dengan politik (mengutamakan hirarki efektif dan efisien) justru dibutuhkan agar kebijakan publik yang dibuat secara demokratis dapat diimplementasikan secara profesional oleh administrator. Artinya, pengembangan adminstrasi yang tidak demokratis justru diperlukan untuk menopang sistem politik yang demokratis. Perbedaan secara  jelas dan tegas mekanisme pengambilan keputusan adminstrasi dan politik. Keputusan politik oleh lembaga lesgislatif berkenaan dengan pilihan nilai normatif. Sementara pengambilan keputusan adminstrasi berkenaan dengan penjabaran secara rasional faktual tujuan-tujuan politik ke dalam program-program atau proyek-proyek publik. Karena sifat keputudsan yang diambil berbeda, maka cara pengambilan keputusanpun berbeda. Perumusan tujuan politik dilakukan melaui prosedur politik seperti negosiasi,kompromi, dan ratifikasi. Sementara pengambilan keputusan adminstrasi dilakukan secara hirarkis dengan prosedur yang rasionalatau instrumental (Denhart;1984). Kontroversi yang tampaknya tidak problematik tersebut dalam perkembagan berikutnya dapat menjadi sangat problematik. Penerimaan terhadap kontroversi tersebut dalam perkembagan berikutnya dapat menjadi sangat problematik. Penerimaan terhadap kontroversi tersebut secara implisit didasarkan kepada asumsi bahwa budaya birokrasi yang tidak demokrasi tersebut dapat dilokalisasi secara efektif hanya sebatas proses adminstrasi, tidak mencemari budaya demokrasi dari masyarakat atau politisi. Dalam praktek kita melihat bahwa budaya birokrasi yang tidak demokrasi cenderung merasuk kedalam budaya masyarakat dan politik. Banyak kejadian di Indonesia pengambilan keputusan politik lebih cenderung bersifat tehnokratis ketimbang populis karena banyak tehnokrat terlibat dalam politik praktis, dan pertimbagan konsultan lebih dihargai dari pada suara rakyat atau orang banyak Misalnya kasus yang masih aktual dalam kenaikan bahan bakar minyak yang tidak dikehendaki sebagian besar rakyat terjadi demonstrasi dimana-mana , tetapi tetap saja dilaksanakan karena suara pemikiran dari  tehnokrat. Itu sebuah realita terhadap pengingkaran suara rakyat yang memiliki dan berdaulat syah kepada bangsa dan negara kita. Politisi seperti juga para birokrat, cenderung berorientasi ke atas ketimbang kebawah. Ini tampak misalnya budaya restu dalam pemilihan pimpinan dewan atau pimpinan organisasi politik, recall terhadap wakil rakyat yang vocal tidak seperti yang digariskan oleh partai politik meskipun baik buat rakyat. Adalah sebagai contoh yang menunjukan bahwa budaya birokrasi mulai meracuni budaya politik Indonesia. Secara kultural, birokrasi cenderung bersifat ekspansif sehingga institusi birokrasi akan semakin menguasai politik dan budaya politik akan lebih bersifat birokratis.  Sebagaimana negara yang sudah maju didukung oleh masyarakat yang sudah matang berpolitik, invidualisme sudah berkembang, masyarakat telah bisa membedakan secara tegas antara antara sektor publik dengan sektor privat, antara milik dengan urusan kantor  dan berbagai urusan pribadi. Otoritas yang merupakan pengikat hubungan antara individu dalam birokrasi adalah otoritas yang rasional dengan batas hak dan kewajiban yang jelas, yang berlaku secara impersonal. Hubungan hirarkis yang terjadi antara atasan dan bawahan bersifat kontraktual, individu mau mengorbankan kebebasan dengan taat kepada organisasi birokrasi karena ada imbalan berupa gaji dan status yang disepakati bersama. Pada birokrasi, ketaatan bawahan terhadap atasan didasarkan pada mandat formal yang dimiliki atasan, bukan karena tradisi atau karisma yang dimiliki atasan.


Prosedur diletakan sebagai alat untuk mencapai efisiensi, bukan ceremony yang memiliki nilai sakral. Karena berdasarkan latar belakang tersebut, sifat otoritarian dari birokrasi tidaklah kental, pada tingkat tertentu individu dalam birokrasi untuk menjaga otonominya bisa menolak tidak kepada atasannya misalnya untuk melakukan berbagai pekerjaan diluar tugasnya. Birokrasi di Indonesia tidak semuanya bercirikan pemikiran Max Weber, karena tumbuh diatas masyarakat yang feodalistik (Kuntowijoyo; 1994). Birokrasi Indonesia dirancang sebagai birokrasi yang rasional, tetapi dalam prakteknya sering diwarnai budaya feodalistik, sehingga praktek-praktek hubungan yang bersifat nepotisme mudah berkembang (Masdiana; 1995). 
Hubungan antar individu dalam birokrasi bisa sangat impersonal, misalnya ketika birokrat berhadapan dengan kepentingan klien yang tidak ia kenal. Tetapi ketika berhadapan dengan yang dikenalnya, hubungan dapat berubah menjadi sangat personal. Terhadap klien tersebut pertama, peraturan dan prosedur akan diterapkan secara kaku, bahkan cenderung disakralkan, tetapi pada klien yang terakhir, aturan dan prosedur formal yang disakralkan tersebutdapat dengan mudah dilewati. Pada birokrasi di Indonesia yang demikian tersebut, otoritas yang mengikat hubungan antar individu diwarnai tradisi hubungan patron klien dengan batas hak dan tanggung jawab yang kabur. Oleh sebab itu, kepatuhan bawahan kepada atasan sering tidak mempunyai batas-batas yang jelas. Atasan dapat memerintah bawahan untuk melakukan sesuatu di luar tanggung jawab bawahan. Karena itu dalam birokrasi seperti ini atasan akan sangat mudah mengikat bawahan untuk loyal pada hal-hal diluar pekerjaan administrasi yang menjadi tanggung jawab resminya. Misalnya untuk memenuhi kepentingan pribadi atasan atau untuk memenuhi kepentingan  pribadi atasan yang lainnya. Konsep monoloyalitas dapat diterapkan secara efektif meskipun sesungguhnya hal ini manyalahi prinsip-prinsip birokrasi yang rasional. Akan menjadi lebih celaka lagi kalu fungsi-fungsi politik tersebut telah dilembagakan, misalnya dengan membentuk kantor publik yang secara khusus menangani masalah-masalah politik di masyarakat, karena dengan demikian pekerjaan politik sudah menjadi bagian dari tugas resmi birokrasi. Pengalaman buruk tersebut pernah terjadi selama Orde Baru berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan selama mungkin, sehingga partai pemerintah Golkar selalu menang mutlak.  Berbagai pengalaman buruk tersebut, pembenahan terhadap birokrasi di Indonesia harus ditujukan kepada dua hal sekaligus membebaskan birokrasi dari funsi kontrol politik terhadap masyarakat dan pada saat yang sama mengurangi kecenderungan sentralisme, elitisme, dan tehnokratisme dalam pengambilan keputusan, antara lain dengan mengembangkan desentralisasi yang lebih substantif dan pemberdayaan publik secara sunguh-sungguh.


Distribusi kekuasaan kedalam pusat-pusat kekuasaan yang banyak dan terjaminnya kebebasan individu dalam hal menggunakan hak-hak politiknya merupakan indikator terpenting dari demokrasi. Namun ada indikator penting yang lain sejauh ini belum disinggung, keperpihakan pemegang otoritas kepada kepentingan rakyat. Pengertian demokrasi lebih mengacu kepada prosedur, mekanisme politik yang demokratis,  dan kepada substansi mekanisme politik yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan publik. Konsep-konsep penting demokrasi yang perlu dijadikan acuan adalah kebebasan, keterbukaan, representativitas, kesamaan dalam kesempatan,  akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas. Pemerintah harus bertanggung jawab, artinya setiap tindakan yang dilakukan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang menjadi sumber kekuasaan, dan dalam hal ini adalah wakil rakyat duduk dalam lembaga legislatif. Untuk bisa demikian, setiap pemegang mandat publik harus memiliki rasa bertanggung jawab  kedalam seperti apa yang telah dilakukan. Moral atau etika pejabat publik harus mendasari setiap tindakannya, mereka tidak hanya patuh terhadap hukum-hukum formal, tetapi memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan rakyat, terutama kelompok miskin atau yang tidak diuntungkan., dan senantiasa tanggap terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Pelaksanaan demokrasi prosedural tidak secara otomatis menjamin terpenuhinya kepentingan publik, politisi dapat meraih kekuasaan politik secara demokratis tetapi penggunaan kekuasaan yang ia peroleh untuk memenuhi kepentingannya atau kelompoknya saja. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam birokrasi, birokrasi dapat secara konsisten menjaga netralitasnya dengan sepenuhnya loyal kepada kepemimpinan politik. Tetapi loyal kepada kepemimpinan politik tidak secara otomatis loyal kepada rakyat jika ternyata apa yang diinginkan oleh pemimpin politik bertentangan dengan tuntutan masyarakat. Birokrasi agar secara substantif menjadi demokratis perlu menjaga komitmennya kepada publik, birokrasi harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Politisi dan adminstrator publik juga membawa mandat publik untuk melayani kepentingan publik, dan karenanya haruslah berbuat sesuai dengan rasa kewajiban moralnya sebagai pelayanan publik (Harmon &Mayer; 1986). Tanpa kesadaran moral demikian birokrat dapat terperangkap kepada kecenderungan melayani dirinya, sesuatu yang secara mencolok menggejala dalam banyak birokrasi publik; adanya hukum-hukum formal dimungkinkan direkayasa untuk membela kepentingannya, dan melindungi diri dari kontrol sosial.


Teori Birokrasi yang ditulis oleh H.G. Frederickson (1980) bahwa keputusan pemerintah adalah hasil dari tawar menawar atau negosiasi diantara para aktor politik yang duduk dalam lembaga Legislatif yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kerangka kerja tawar menawar ini presiden memiliki kunci sentral, namun presiden juga memiliki kepentingan untuk mengakomodasikan berbagai macam kepentingan orang-orang yang duduk didalam lembaga eksekutif. Birokrasi dan para pejabat  eksekutif bukan sebagai semata-mata pelaksana yang netral, tetapi sebagai partisipan yang aktip yang memiliki kepentingan terselumbung yang harus dimanifestasikan dalam implementasi kebijakan. Bilamana lembaga Legislatif membuat keputusan politik yang memiliki kemauan yang sama dengan warga negara dan para birokrat juga memiliki pandangan yang sama dengan warga negara, maka keputusan yang dilaksanakan oleh birokrasi tentu sama dengan warga negara. Sehingga hasilnya bisa memuaskan semua pihak maka Birokrasi yang demikian disebut Birokrasi berdaya guna. 

Pemerintahan Orde Lama sampai era kekuasaan Orde Baru tahun 1966 sampai lengsernya regim Soeharto pada tahun  1998, Kekuasaan lebih terkonsentrasikan ditangan Presiden, namun Indonesia tetap bercirikan bureaucratic  polity yakni sebuah sistem politik dimana kekuasaan dan partisipasi dalam keputusan nasional ditangan para elit pegawai negeri, termasuk para spesialis tehnokrat. Meskipun dalam hal ini sejumlah birokrasi dan militer memberikan pengaruh yang sangat besar pada masa Orde Baru berkuasa, dalam implementasi kebijakan sampai pada tingkat daerah, namun kebijakan tersebut dibuat sekelompok kecil penguasa meskipun tidak secara eklusif jelas. Konsep bureaucratic polity/pemerintahan birokrasi berbeda dengan bentuk lainnya dari pemerintahan, dimana derajat pembuatan keputusan nasional dipisahkan dari kekuatan sosial dan politik diluar kekuasaan elit dari ibu kota. Pemerintahan birokrasi tidak menerima terhadap arus perubahan dalam masyarakat, malah lebih menanggapi arus tekanan datangnya dari luar negeri. Pemerintahan birokratis Orba memiliki corak spesifik, sebab dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab pada partai-partai politik, kelompok kepentingan komunal yang terorganisasikan. Semua kekuasaan dan kebijakan hanya terkonsentrasikan pada elit itu sendiri  kurang begitu memperlihatkan pada kepentingan partisipasi massa secara luas, kekuasaan muncul bukan dari artikulasi kepentingan dari lingkungan sosial dan kondisi geografis. Bureaucratic polity hanya merupakan bentuk partisipasi reguler yang lebih banyak melibatkan massa dalam hal implementasi kebijakan dari pada keputusan pembuatan kebijakan. Parisipasi massa lebih banyak diorganisir oleh kelompok vertikal daripada horisontal. Pemerintah birokrasi tidak sama dengan penguasa militer meskipun pejabat militer mungkin sebagai pemegang kekuasaan. Ide-ide  dari  para tehnokrat sipil lebih banyak dalam kebijakan Indonesia, dibandingkan negara dunia ketiga yang lain. Yang pada umumnya sangat memperhatikan tentang setting ekonomi yang bertumpu pada stabilisasi, keseimbangan budget yang mengandalkan hutang luar negeri, restorasi sistem pasar, pembangunan pertanian yang mengorbankan petani, dan keterbukaan pada investasi asing.

Meskipun kekuasaan terkonsentrasi pada kelompok disekitar presiden Suharto, birokrasi Indonesia lebih banyak didukung oleh militer. Penguasa militer mengandung arti rejim-rejim yang bercirikan mobilisasi dan partisipasi yang tinggi populisme militer. Pemerintahan birokratis yang ada hanya memaksimalkan rasionalitas ekonomi kental dengan nuansa kolusi korupsi dan nepotisme, terjadi disefisiensi organisasi dan terjadi perkembangan perekonomian meskipun  berdampak pada ketimpangan ekonomi sangat tajam dalam masyarakat. Pemerintahan Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan mengandalkan pada dukungan birokrasi baik sipil maupun militer, para pemimpin militer dan birokrasi yang loyal diberi reward (hadiah) oleh penguasa dalam bentuk jabatan-jabatan sipil yang basah mendatangkan uang. Seperti, Direktur Pertamina, Sekjend, Dirjend, Gubernur, Bupati, Menteri dan berbagai jabatan eselon lainnya. Sehingga menimbulkan arogansi kekuasaan dan angka korupsi dilingkungan birokrasi menjadi sangat tinggi. Disamping itu, birokrasi  seharusnya netral, tetapi dipergunakan sebagai pendukung partai penguasa, partai politik Golkar, dan penguasa mengetahui bahwa birokrasi sebagai sumber kupulan orang-orang potensial, kekuasaan dan sumber dana yang besar sehingga memiliki kedudukan yang sangat strategis(Karl D Jacson; 1981)


Perilaku aparat adminstrasi dalam menjalankan tugas harus mendasarkan pada otoritas legal serta ditandai dengan keyakinannya akan aturan-aturan dan tertib hukum. Didalam empiriknya birokrasi lama-kelamahan menjadi tidak efisien dan berubah fungsi, seperti diungkapkan oleh Crozier (1984), Penelitian telah menunjukan bahwa birokrasi yang ideal semakin jauh dari efisien . Birokrasi tidak lebih dari “ Bereau Pathologi” yang menggambarkan suatu keadaan yang rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibelitas terhadap peraturan, kelambanan mengambil keputusan, menolak usaha-usaha yang eksperimen, dan prosedur kerja yang berbelit-belit. Perkembangan yang demikian menjauhkan dari pelayanan publik yang baik, kemajuan  dan menjadikan tugas-tugas birokrasi semakin komplek.  Disatu pihak kompleksitas tugas birokrasi merefleksikan betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh birokrasi, peranan yang demikian penting itu sering menampilkan birokrasi sebagai wujud kehadiran pemerintah dalam masyarakat. Sebenarnya makna birokrasi bagi masyarakat tidak hanya tampak pada peranannya saja.  dapat juga dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan.  Dalam hubungan kekuasaan, birokrasi sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi masing-masing komponen, birokrasi biar bagaimananpun juga tidak akan terlepas dari percaturan kepentingan yang ada didalam masyarakat. Birokrasi itu merupakan alat kekuasaan pemerintah. karena peranannya yang demikian besar sehingga para aparat birokrasi, menampilkan diri  seolah-olah sebagai penguasa sesungguhnya. Politisi sebagai pemimpin birokrasi harus mampu menyuarakan, memperjuangkan kepentingan masyarakat posisinya sebagai konstituen yang dapat mencabut mandat dari rakyat. Pemerintah dituntut bersikap netral didalam mewujudkan kepentingan masyarakat kedalam bentuk kebijaksanaannya.  Para penguasa di sebuah negara pada dasarnya juga mewakili kepentingan-kepentingan tertentu, kondisi yang demikian, maka terbuka peluang bagi penguasa untuk memperalat birokrasi bagi kepentingannya sendiri atau bagi kelompok yang diwakilinya. Pada satu sisi birokrasi di Indonesia seolah-olah menampilkan sistem birokrasi modern tetapi kental nuansa administrasi tradisional tampak seperti ritualisme administratif yang tidak efisien paternalistik, arogansi kekuasaan, kesukuan dan lain-lain. Sejalan dengan tersebut, Ramashy Ray; (1983) mengemukakan apa yang disebutnya sebagai kultur birokrasi yang mendasari interaksi antar berbagai jenjang jabatan atau strata organisasi yang berbeda, dan kultur birokrasi tetap pola hubungan antara atasan dengan bawahan, hubungan antara jabatan-jabatan yang setara.   Kemandirian birokrasi dalam arti yang sesungguhnya tanpa campurtangan politik, atau tujuan – tujuan yang kurang baik  perlu diwujudkan, dan diharapkan birokrasi dapat berperilaku profesional dalam kerangka kepentingan masyarakat, secara keseluruhan. Untuk itu setidak-tidaknya ada empat nilai yang harus dimiliki birokrasi;

  1. Peranan birokrasi harus senantiasa bertujuan untuk melayani kepentingan umum. Oleh karena itu birokrasi harus mendahulukan kepentingan umum diatas segala kepentingan lainnya. Birokrasi sebagai pembuat kebijakan public dan sekaligus sebagi pelaksana kebijakan yang dibuat lembaga politik.   Birokrasi berdaya guna hanya dapat dicapai oleh birokrat-birokrat yang profesional dan mandiri.
  2. Untuk dapat melayani kepentingan umum dengan baik, profesionalisme aparatur harus didasarkan pada pendidikan dan spesialisasi yang rasional dan bukan yang bersifat patrimonial. Pendidikan yang profesional memungkinkan aparatur meningkat kemampuannya didalam penguasaan teknologi di kehidupan modern yang rasional.
  3. Prinsip the right man on the right place perlu dipegang teguh. Prinsip ini mesyaratkan dua hal. Pertama, rekruitmen dan penempatan birokrat haruslah melalui proses seleksi yang terbuka, dalam arti bahwa syarat serta prosedurnya diketahui secara umum. Yang tidak kalah pentingnya, kedua adalah bahwa sistem seleksi hanya mengutamakan keahlian dan ketrampilan, birokrasi bukanlah jabatan politis, atau pribadi dan kelompok, yang harus benar-benar melakukan proses seleksi obyektif.
  4. Para politisi yang telah dipilih langsung oleh rakyat duduk di lembaga legislative dan sebagai pemimpin Birokrasi, harus memperjuangkan seluruh kepentingan warga negara bukan memperjuangkan dirinya, partai atau golongan tertentu saja.

D A F T A R    P U S T A K A


Caiden, Gerald E;1982 Public Administration; Pasific Palisaes;C.A; Palisades Publishers.

Caiden, Gerald.E.;1986;The Challenge to the Administrative State; Dalam Frederick.S. Long; 1984; Current Issues in Publicc Administration; New York; Martin Press.

Carino, Lediva;1992; Bureaucracy for Democracy; The Dynamics of Executive and

Croizer;1984; The Politics Of Bereaucracy; Longman Press; New York.

Denhart Robert B and Janet Denhardt ;1984; Theories of Public Organization; Montery;C.A Brooks/Cole  Publishing Company.

Fredericson, H. George; 1980 New Public Administration  University of Albama Press;1980.

Goonow; FrankJ;1900; Politics and Administration; New York; Macmilland.

Harmon.T.Mayer;1986; Organization Theory For Public Administration; Boston; Little; Brown and Company.

Ramashy Ray 1983 . The Bureaucratic Experience; New York;St Martins Press.

Kuntowijoyo; Dr; 1994; Demokrasi Budaya Birokrasi; Yogyakarta; Pen.Yayasan Bentang Budaya.

Karl D Jacson; 1981 Political Power and Communications in Indonesia; Publishing Michigan University.

Long Norton E; 1986; Power Administration Dalam Francis E. Rourke; Bureaucratic; Power In National Policy Making; Boston Company.

Masdiana, Erlangga;1995; Praktek Nepotisme dalam Birokrasi; Republika 15 Juni 1995.

United Nations Development Programme (UNDP);1991 Human Development Report.

Waldo Dwight;1948; The Administrative State :A Study of The Political Theory Of American Public Administration; New York; The Ronald Press.

Wilson, Woodrow;1987; The Study of Administration; Political Science Quartely;Press.
 

Alamat Korespondensi :

DR. Hari Walujo Sedjati, M.Si Jln. Gunung Muria No 15 RT 01 /RW 08. Kelurahan Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas. Provinsi Jawa Tengah. Kode Pos : 53122. Hp. 081. 328. 627. 071. 085878533306.

Email: hariwaluyo@gmail.com

Dosen Kopertis Wilayah V.Dpk stisip Kartika Bangsa Yogyakarta. Makalah ini akan disampaikan dalam Studium General Labpol FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Kamis, 27 September 2012

Sumber Gambar Ilustrasi : Tri Hartanto’s Blog

0 komentar:

Post a Comment