Mao Tse Tung : Tokoh Revolusioner China
Oleh : Wiwi Widiasuti., S.IP[1
Mao Tse Tung lahir di Shao Shan, Provinsi Hunan pada tanggal 23 Desember 1893. Ia merupakan anak laki-laki dari keluarga petani
yang sangat sederhana. Masa kanak-kanak dan remajanya dihabiskan di
Shao Shan San baru pada usia 17 tahun ia melanjutkan sekolah di Chang
Sha, ibu kota Provinsi Hunan, dimana pada tahun 1911 di Cina Tengah
terjadi revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh Sun Yat Sen untuk
meruntuhkan Kekaisaran.
Mao Banyak mengenal tentang Darwin, John
Stuart Mill dan Rousseau dari buku-buku yang dibacanya di perpustakaan,
terlebih ia membiayai hidupnya dengan bekerja pada Hunan Provincial Library.
Selanjutnya pada tahun 1918 Mao pergi ke Peking (sekarang Beijing), ibu
kota Cina untuk bekerja di sebuah perpustakan Universitas dengan gaji
rendah. Lingkungan inilah yang mempertemukan Mao dengan orang-orang
beraliran Marxis Radikal seperti Li Ta Chao seorang ketua perpustakaan
dan Profesor Chen Tu Tsui. Profesor Chen Tu Tsui inilah yang nantinya
dikenal sebagai pendiri Partai Komunis Cina.
Mao kembali ke Chang Sha untuk terlibat
dalam dunia pendidikan dan menjadi seorang kepala sekolah dasar.
Disamping itu Mao juga banyak membantu mendirikan Partai Komunis di
Chang Sha. Pada tahun 1921 Mao terpilih menjadi Sekretaris Umum Partai
Komunis Cina di Hunan dalam kongres yang diselenggarakan di Shanghai.
Sesuai dengan ideologinya yang berkiblat ke Sovyet, pada tahun
1931-1934 Mao ikut mendirikan Partai Sovyet Sosialis Republik (CSSR) di
Cina bagian tenggara dan Mao terpilih menjadi pemimpinnya.
Hal yang sangat heroik dilakukan oleh
Mao adalah Long March pada tahun 1934 dari Cina bagian tenggara sampai
ke Cina Barat laut. Hal ini mendapatkan simpati yang besar dari
masyarakat petani di pedesaan. Padahal saat itu Cina masih dikuasai oleh
kekuatan Nasionalis (Kuomintang) pimpinan Chiang Kai Sek. Tetapi ketika
terjadi perang Cina – Jepang pada tahun 1937, kekuatan komunis dan
nasionalis menjadi bersatu melawan Jepang. Pasca perang Cina - Jepang
ini terjadi perebutan kekuasan antara kaum Komunis dan Kaum Nasionalis
yang berakibat kaum Nasionalis nenyingkir ke kepulauan Taiwan. Partai
Komunis Cina sebagai partai yang berkuasa pada tahun 1949 mendirikan
Republik Rakyat Cina dan menjadikan Mao Tse Tung sebagai presidennya.
Sepanjang hidupnya Mao memiliki tiga
istri yaitu Yang Kaihui sebagai istre pertama, Ho Zuchen sebagai istri
kedua dan Lang Ping yang lebih dikenal sebagai Jiang Qing sebagai istri
ketiga.
Pemikiran Politik
Pemikiran politik Mao Tse Tung sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan Lenin. Sebagai penganut
ideologi komunis, Mao tetap mendasarkan pemikirannya pada perjuangan
kelas. Pada masyarakat Cina yang baru saja lepas dari pemerintahan
imperialis selama berabad-abad sangat sulit mewujudkan cita-cita
komunisme karena meskipun sudah banyak kaum terdidik yang modern tetapi
budaya imperialis masih banyak melekat sehingga kaum modern ini justru
menciptakan kelas tersendiri di Cina. Dalam istilah Mao, keadaan ini
disebut sebagai kontradiksi. Kontradiksi inilah yang akan banyak mempengaruhi pelaksanaan pembangunan dan perwujudan kehidupan tanpa kelas di Cina.
Istilah kontradiksi sendiri diadopsi Mao
dan Lenin yang mengatakan bahwa dialektika adalah studi tentang
kontradiksi dalam hakekat itu sendiri. Ditambahkan oleh Mao bahwa
kontradiksi adalah hukum kesatuan dari hal-hal yang berlawanan dan
merupakan hukum terpokok dari dialektika materialis. Dalam konteks
budaya Cina yang lekat dengan feodalisme yang berakar sejak masa
kekaisaran menurutnya sangat perlu dilakukan perubahan untuk masyarakat
komunis.
Pemikiran Mao yang lain dikenal dengan dialektika.
Dialektika materialis ini mengajarkan kita untuk melihat realitas
internal, karena segala hal yang berkembang berasal dari realitas
internal itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat Cina harus
pandai-pandai mempersatukan realitas internal untuk kepentingan
pembangunan.
Terwujudnya masyarakat modern tanpa
kelas menurut Mao adalah bagaimana masyarakat memandang realitas
internal yang ada serta bagaimana pandangan masyarakat tentang realitas
itu dapat dipersatukan. Demikian pula dengan peran negara untuk
mengatasi adanya kontradiksi dalam masyarakat.
Negara ideal dalam pemikiran Mao adalah
negara diktator demokrasi rakyat yang dipimpin oleh kelas buruh atas
persekutuan buruh dengan tani. Sedangkan fungsi negara menurut Mao
adalah sebagai penindas kelas dan kaum reaksioner serta kelas penghisap
yang melawan revolusi sosialis, memecahkan kontradiksi dalam negeri,
memelihara ketertiban dan melindungi kepentingan rakyat serta membela
negara dari agresi luar negeri terutama kapitalis. Untuk itulah Mao
menggunakan istilah Sentralisme Demokrat sebagai sarana untuk mengatasi realitas internalnya.
Sentralisme Demokrat bermakna bagi
rakyat untuk tetap memiliki hak dan kebebasannya sebagai warga negara
termasuk bidang politik secara demokratis. Namun demokrasi yang dimaksud
disini adalah demokrasi yang terpusat, hal ini mengandung tujuan agar
rakyat tidak menggunakan kebebasannya secara sewenang-wenang yang akan
berakibat merugikan kebebasan orang lain dan lebih jauh lagi berakibat
pada pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, demokrasi
yang terpusat diyakini Mao sebagai jalan yang terbaik bagi pembangunan
di Cina.
Implementasi
Banyak yang menilai kebijakan-kebijakan
pembangunan Mao merupakan kebijakan yang sangat utopis yang ditandai
dengan adanya komune rakyat. Impian ini menjadi obsesi bagi Mao dimana
komune menjadi satuan dasar baru dari suatu masyarakat komunis yang
merupakan prasarana kelembangaan yang mampu menjembatani kesenjangan
yang ada baik itu kesenjangan antara desa dengan kota, buruh, petani
dengan kaum intelekual.
Menyadari realitas internal dan
pengalaman pahit masa lalu tentang gagalnya perjuangan kaum buruh dan
kehebatan pemberontakan kaum petani pada bulan mei 1925 membuat Mao
berpikir bahwa kaum petani merupakan kekuatan paling besar dan
revolusioner yang dapat digunakan untuk mewujudkan revolusi sosialis di
Cina, sehingga dalam perjuangannya komunis di Cina memiliki perbedaan
karakteristik dari komunis di negara asalnya, meski tetap berpegang
teguh pada Marxisme dan Leninisme. Dalam kepemimpinannya Mao melakukan
strategi rekonstruksi tehadap pemikiran dasar gerakan
komunis Cina yang berbasis pada petani yaitu mengutamakan petani sebagai
kekuatan pokok revolusi, mementingkan pembentukan tentara komunis
secara tersendiri untuk melindungi keutuhan hidup partai, menjadikan
daerah pedesaan dimana sebagian besar petani tinggal sebagai basis
perjuangan. Disamping rekonstruksi, Mao juga melakukan konsolidasi
untuk dapat menghilangkan hubungan produksi yang eksploitatif. Salah
satunya dengan melakukan sistem pembaharuan kepemilikan tanah
(landreform) yang dinilai perlu untuk membangun hubungan produksi yang
egaliter bagi pembentukan pola pertanian kolektif. Kampanye landreform
ini sekaligus untuk menghapus kelas tuan tanah.
Dalam hal pembangunan, Mao menetapkan
sistem pembangunan lima tahun (Pelita) sebagai strategi untuk melihat
perkembangan masyarakat dan perkembangan yang terjadi di dalam
partainya. Pada Pelita I banyak diadopsi model-model pembangunan Soviet
yang dikenal sebagai Stalinist Strategy yang
bertujuan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan penekanan
pada sektor industri dengan produksi yang padat modal. Hal ini tidak
bisa dipisahkan dari peranan Deng Xiaoping dan Liu Shaoqi sebagai
perumus kebijakan pada masa pemerintahan Mao. Pada tahun 1957 mao
mencetuskan kebijakan Lompatan Jauh Ke Muka (Da Yuejin) dengan
pertimbangan bahwa pembanguna model Sovyet hanya akan membawa masyarakat
pada revisi ideologi. Sedangkan Mao lebih berambisi untuk menyongsong
momentum milenium. Untuk itu Lompatan Jauh Ke Muka (Da Yuejin)
memiliki target yang sangat tinggi diantaranya mengejar produksi
industri berat Inggris dalam waktu 15 tahun, mendahului kemajuan Sovyet
dalam pembangunan sosialis berencana dengan mengandalkan semangat
Maoisme dan faktor tenaga kerja yang besar, menyamai produksi besi baja
Amerika dalam waktu 8 tahun. Untuk melaksanakannya Mao merasa perlu
mementuk Komune Rakyat yang merupakan kesatuan usaha mandiri yang dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi, produksi dan investasi masyarakat.
Pelaksanaan Da Yuejin ditandai oleh pengerahan tenaga kerja
secara besar-besaran dan pengawasan partai yang ketat, pengurangan
insentif material, penghentian bentuk-bentuk usaha swasta, pengarahan
politik dan usaha pencapaian target yang irasional dari produksi sektor
pertanian maupun industri.
Pelaksanaan kebijakan Da Yuejin
ini tidaklah berjalan dengan lancar, bahkan hasilnya bertolak belakang
dengan yang diinginkan. Para petani merasa dipaksa bergabung dengan
komune-komune yang membuat kehidupan keluarganya menjadi miskin. Dengan
jam kerja yang padat dan upah yang kecil, pelayanan kesejahteraan yang
tidak memadai serta tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas rumah tanah,
kebun maupun ternak. Dengan kesejahteraan yang tidak memadai sangat
tidak mungkin bagi rakyat untuk menghasilkan produktifitas yang tinggi.
Kebijakan ini membawa dampak buruk bagi perekonomian Cina yang
sebelumnya sudah membaik dalam Pelita I dengan pertumbuhan yang dinamis
dari sektor pertanian maupun industri.
Kebijakan Mao yang lain adalah Revolusi Kebudayaan
(1966 – 1969). Revolusi kebudaaan adalah konsep pembangunan yang
mendasarkan diri pada mobilisasi politik, bukan pada prinsip
teknokratisme. Mobilisasi politik inipun masih mendasarkan pada
dialektika materialis yang mengutamakan transformasi individu sebagai
alat dan tujuan pembangunan sosialis. Menurutnya pembangunan ekonomi
akan mencapai sasaran apabila dilakukan secara merata dan seimbang
sehingga seluruh anggota masyarakat dapat mengambil keuntungan bersama.
Revolusi Kebudayaan meliputi dua bidang
utama yaitu pembaharuan manajemen industri dan sistem pendidikan. Dalam
bidang manajemen industri dilakukan upaya partisipasi buruh dalam bidang
administrasi serta partisipasi kader dalam kerja buruh (liang san), partisipasi masa secara positif dalam produksi (yi gai)
dan aliansi segitiga antara kader, pekerja, dan teknisi dalam mendukung
administrasi publik. Dalam bidang pendidikan Revolusi Kebudayaan
diarahkan untuk mengkombinasikan dan menserasikan perkembangan ekonomi
dengan revolusi sosial. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kondisi
masyarakat agar tidak tergantung pada teknokrat yang mengabdi bagi
kepentingan sendiri. Strategi yang dilakukan adalah dengan
mengintensifkan pendidikan ideologi agar tercipta kesadaran politik.
Buku merah yang berisi pemikiran politik Mao menjadi bacaan wajib bagi
masyarakat. Sementara itu integrasi antara teori dan praktek dimaksudkan
agar sistem pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan langsung
produksi di daerah pedesaan. Revolusi ini mengalami berbagai kendala, liang san
sangat sulit terealisasi karena bidang keahlian buruh dan kader sangat
jauh berbeda. Sedangkan gerakan pembaharuan pendidikan Mao lebih banyak
dinilai sebagai sarana melanggengkan karismanya. Revolusi Kebudayaan
sangat mempengaruhi kondisi ekonomi Cina. Kemerosotan ekonomi dan mutu
pendidikan menjadi masalah utama pasca gerakan ini. Namun dari segi
pemerataan (egalitarianisme strategy) kebijakan pembangunan Mao
membuat Cina mengalami kemajuan yang mengagumkan dibandingkan dengan
negara berkembang lain pada masa itu
Referensi :
Raharjo, Dawam. Esai-Esai Ekonomi Politik. LP3ES. Jakarta.1983
Tjeng, Lie Tek. RRC Sebagai Kekuatan Asia. LRKN-LIPI. 1982
Wang, James CF. Contemporary Chinese Politics An Introduction. Prentice Hall Inc. New Jersey. 1980
Tse Tung, Mao. Empat Karya Filsafat. FuspAd. Yogyakarta. 2001
Nainggolan, Poltak Partogi. Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping. Pustaka Sinar Harapan. 1995
0 komentar:
Post a Comment