Masyarakat Adat yang Masih Terpinggirkan
Oleh : Subhan Agung
Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara masyarakat
adat selalu dianggap sebagai kelompok yang lemah, bodoh dan
terpinggirkan. Tidak heran jika pemerintah dan sebagian besar
masyarakat Indonesia pun sering memberinya
sebutan misalnya sebagai “masyarakat pribumi pedalaman”, “masyarakat
suku terasing”, “masyarakat yang diupayakan berkembang”, “masyarakat
dengan peri kehidupan yang khas” dan penyebutan-penyebutan lainnya yang
cenderung memberikan kesan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat yang
terbelakang, aneh atau berbeda dengan masyarakat modern dan seterusnya.
Di masa Rezim Orde Baru masyarakat adat merupakan masyarakat yang tersub-ordinasi, baik secara politik, kultural maupun ekonomi. Dengan berbagai kebijakan dan sikap pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan hak politik masyarakat adat. Di Era Reformasi pun, nasib masyarakat adat masih mengalami diskriminasi, baik dari pemerintah ataupun dari kelompok masyarakat lainnya. Di bidang sosial-budaya, masyarakat adat disadari ataupun tidak, masih dipandang sebelah mata, sebagai suku-suku yang memiliki kebudayaan “hutan” yang keras dan tidak jarang juga melekat sebutan sebagai barbarian dari masyarakat di luar komunitasnya.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang tidak
mungntungkan eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Eksistensi mereka
seolah-olah hanya “menumpang”, bahkan lambat-laun terusir dan terpaksa
digerus supaya sama atau mengikuti kebiasaan hidup khalayak masyarakat
lainnya. Sebagai contoh bagaimana sulitnya masyarakat suku Samin dalam
membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena mereka tidak bersedia
mencantumkan Islam sebagai agama mereka.
Selain itu juga masih dapat kita jumpai kebijakan pemerintah yang
ahistoris dengan keadaan mereka di negeri ini. Akibat kebijakan yang
ahistoris tersebut timbullah resistensi masyarakat adat terhadap
pemerintah. Sebagai contoh Kampung Naga di Jawa Barat pernah “menutup
diri” dengan pihak manapun selama 6 bulan dan menyatakan konfrontasi
dengan pemerintah dikarenakan pemerintah memutus akses Kampung Naga
terhadap kebutuhan minyak tanah, ketika ada kebijakan konversi minyak ke
gas di pertengahan tahun 2009. Bagi masyarakat Kampung Naga minyak
tanah sudah terbiasa dijadikan kebutuhan hidup mereka. Selain itu juga
resistensi Orang Rimba di yang wilayah adatnya akan dijadikan kawasan
onbjek wisata, salah satu kasus yang mencuat dari kebijakan yang
diskriminatif.
Resistensi lainnya semisal perlawanan masyarakat hukum adat di
Bulukumba tentang sengketa perkebunan antara warga dengan PT Perusahaan
Perkebunan London Sumatera Indonesia justru dibalas dengan penembakan
oleh pemerintah. Sementara di Sumatera Selatan marga-marga yang ada
dihapus sebagai akibat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa.
Selain itu terdapat kasus di Wamena tentang pemberian konsesi
pengelolaan hutan perusahaan tanpa perhatikan masyarakat adat, serta
kasus seorang kepala suku di Riau tidak bisa mengunjungi makam
leluhurnya karena pemakaman tersebut telah dikelola dengan HPH (hak
pengelolaan hutan) oleh pihak swasta (Abdoeh, 2008).
Namun dalam suasan serba problematik tersebut, mulai muncul angin
segar terutama terkait dengan munculnya pihak-pihak yang respek dalam
perjuangan menempatkan posisi, akses dan kedudukan masyarakat adat di
Indonesia. Masyarakat adat yang selama ini terbelanggu sudah mulai
terorganisir dalam lembaga-lembaga tertentu yang sekaligus menjadi
kekuatan dalam menyuarakan aspirasi. Salah satu lembaga yang selama ini
getol menyuarakan aspirasi dan menghimpun aspirasi masyarakat adat
tersebut adalah Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan dibantu
Lembaga Swadaya Masyarakat, kalangan akademisi yang concern dengan
bidang ini. Selain itu juga gerakan yang dilakukan oleh perkumpulan
adat Rumpun Melayu di Sumatera dan Sekretariat Nasional Perlindungan
Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat menambah semangat upaya
menemukembali eksistensi masyarakat adat di Indonesia, termasuk menjadi
proses jawaban atas problematika di atas.
Keterikatan berbagai kalangan, termasuk akademisi kampus sangat
dibutuhkan dalam mengangkat kearifan lokal, teruatam melalui kajian
ilmiah yang mendalam. Masyarakat adat memang tidak dapat berharap banyak
kepada pemerintah dengan dikeluarkannya regulasi, karena buktinya
sampai saat ini masyarakat adat yang diakui secara khusus dalam
Peraturan Daerah (Perda) jumlahnya sangat minim dari masyarakat adat
yang terdata saat ini. Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN, 2011) walaupun kurang lebih ada 16 perundang-undangan
internasional dari mulai declaration of universal HAM tahun 1948 sampai World Conference Against Racism tahun
2001, ada 4 Peraturan Pemerintah (PP), 17 Undang-undang (UU) dan 1
Permen yang didalamnya mengatur atau menyangkut hak-hak masyarakat adat,
namun tetap saja masyarakat adat masih dalam posisi yang
tersubordinasi. Hal ini disebabkan UU yang dibuat pemerintah tersebut
masih bersifat umum dan tidak secara tegas memberikan kekuatan kepada
masyarakat adat untuk menentukkan nasibnya sendiri. Misalnya semakin
terpinggirkannya hak masyarakat adat atas tanah ulayat dengan adanya UU
Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, pengelolaan sumber daya alam dan
hutan yang menjadi bagian dari tanah ulayat, masyarakat hukum adat
tidak diperhatikan dan cenderung dianggap tidak ada atau bahkan terusir
semisal kasusnya Orang Rimba yang melakukan resistensi terhadap
pemerintah. Hal ini terjadi karena pemerintah sampai saat ini
setengah-setengah dalam memperikan perlindungan hukum dengan adanya
undang-undang yang khusus mengatur masyarakat adat tertentu di
Indonesia. Sampai saat ini tercatat baru ada 3 komunitas masyarakat adat
yang yang sudah secara khusus mempunya kekuatan hukum lewat perda,
yakni Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat
masyarakat Badui di wilayah Banten, Perda Bali Nomor 3 Tahun 2003
tentang Desa Pakraman sebagai desa adat dan Perda kabupaten Kampar Riau
tentang perlindungan hak tanah ulayat. Sedangkan ribuan masyarakat adat
lainnya nasibnya masih belum jelas dan sewaktu-waktu dapat terusir dari
tanah leluhurnya.
Dari problematika di atas, perlu ada upaya menemu kembali
kearifan-kearifan lokal yang sebenarnya kehebatan yang tersimpan.
Eksistensi masyarakat adat sangat penting untuk diakui dan dikembangkan
di kehidupan kita. Karena masyarakat adat dengan kekhasannya menyimpan
ketrampilan yang umum dikenal sebagai kearifan tradisional. Jika
dikembangkan akan menyumbang bagi usaha pelestarian lingkungan yang
modelnya sampai sekarang masih terus dicari bahkan bila dikaji secara
ilmiah dapat melahirkan model tersendiri yang tidak mustahil dapat
diimplementasikan di zaman sekarang. Semoga.
Referensi
Berdayakan Masyarakat Hukum Adat untuk Perlindungan Lingkungan, tersedia di http://abdoeh84.blog.friendster.com/2008/08/berdayakan-masyarakat-hukum-adat untuk-perlindungan-lingkungan/, diakses 17 Juni 2011
Masyarakat Adat Indonesia, tersedia di http://aman.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=96,dilihat 11 Oktober 2010
http://traktorlubis.blogspot.com/2011/07/untuk-anggota-bf-bahu-membahu.html
ReplyDeleteBos, side bar ke Blog Anda sudah nongol di sidebar kanan blog saya.
Thanks
Jangan Klik Judul Di Bawah Ini! Danger
ReplyDeleteMaster SEO Hanya Merusak Di Mesin Pencari Google Klik Di Sini
Saya Tantang Para Master SEO Untuk Berkunjung Di Blog Coretan Rizal Silahkan Klik Di Sini
Konsultasi seputar blog, blogging,blogger klik Di Sini
Yang Belum Follow Silahkan Follow
@Traktor, terima kasih sudah berkunjung kawan,.. Kapan2 berkunjung balik
ReplyDelete@Coretan Rizal, thank atas kunjungannnya..
ReplyDeletebermanfaat bnget,, gan follback yah :)
ReplyDelete@Hendrick, terima kasih kunjungan dan komen nya gan.. Sudah saya follow balik..
ReplyDeleteNice Post sob ..
ReplyDeletepemerintah harus ikut serta utk membuat masyarakat adat menjadi lebih maju
ReplyDelete@sichandra, betul mas pemerintah harus memberikan kebebasan kepada masyarakat adat tertentu dengan dibentuk perda. Ini penting mengingat keberadaan mereka saat ini sudah mulai terdesak oleh peradaban modern yang justru menghancurkan kearifan lokal. Terima kasih sudah berkunjung..Lanjut diskusinya..
ReplyDeletesiip..good post
ReplyDeleteya gtu deh gan. hehe..
ReplyDelete@semuanya..Terima kasih agan2 telah berkunjung..Silahkan lanjut diskusinya..
ReplyDeleteSubhanallah, ternyata masih banyak masyarakat yang terpinggirkan. Semoga saja pemerintah sadar dan sesegera mungkin membenahi sistem pemerintahan yang amburadul ini. Shg tidak ada hal semacam ini lagi. Thanks
ReplyDelete@Musik-Id, terima kasih komentarnya. Semoga saja mas..Mereka juga warga negara jadi harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya. Kedepan mereka tidak mengalami kesulitan dalam akses yang berhak didapatkan sebagai warga negara.
ReplyDeleteAyo lanjut diskusinya...!
ReplyDeleteKasihan ya,Seharus nya penjabat-penjabat teh suruh baca artikel ini
ReplyDeleteBetul boy, mereka itulah yang perlu di bela oleh masyarakat lainnya dalam menegakkan eksistensi mereka yang selama ini selalu terpinggirkan. Paling tidak artikel ini membukakan mata kita semua akan hak-hak mereka yang sama dengan kita, namun mereka tidak mendapatkannya. Terima kasih kunjungannya kawan. Lanjut diskusinya..
ReplyDeletekren jg rumah x ya klo di buat d tngah kota,hohohoho..
ReplyDeletemampir donk bro k blog gw,Kumpulan Tutorial, Trik, Dan Tips: http://brankas-tutorial.blogspot.com/
heheheh..betul juga gan..hhe terima kasih kunjungannya..
ReplyDeleteYa kalo menurut saya, namanya masyarakat adat pasti kehidupannya masih pada pemikiran nenek moyang. Tidak mengenal modernisasi dan kehidupan jaman sekarang.
ReplyDeletewalau begitu kebudayaan atau adatnya pasti masih dilestarikan..
lanjut terus teman-teman diskusinya..
ReplyDeleteBerkunjung,
ReplyDeleteartikel mantap...
kasian ya yg bertempat tinggal dsitu
ReplyDeletewah..ada rumah unik seperti itu ya..dmn itu gan..?? mantabs..
ReplyDeleteacra follow2an gan..biar tambah rame..sukses n0.193.. follow bck y biar punyaku jug rame..hehee
mantabs gan..
ReplyDeletebagus infonya gan....... nambah pengetahuan nih
ReplyDelete@ All, terima kasih kawan-kawan telah berkunjung.. @Ubae, itu bukan rumah adat, tapi tempat penyimpanan beras (lumbung) di Kampung Adat Kuta, Ciamis, Jawa Barat. Rumah adatnya beda lagi. Jika ingin tau rumah adatnya silahkan anda kunjungi http://mega.subhanagung.net/?p=50 itu ada gambar ilustrasi rumah adatnya. Terima kasih.
ReplyDeletenice post gan
ReplyDeletehttp://dode-xpblog.blogspot.com/2011/07/usb-safely-remove-462-crack.html -> promo
wahh.. nice info gan.. jangan lupa koment balik ya
ReplyDeletePemerintah memng menganggap lemah orang pedalaman ....
ReplyDeleteinfo menarik untuk semua bangsa indonesia
ReplyDeleteArtikel seperti ini mudah-mudahan tidak hanya dibaca oleh orang-orang pinggiran saja. semoga para pejabat, menteri,dll juga memberikan komentar terkait artikel ini.
ReplyDeleteBagus ceritanya Bro teruskan dengan kontent yang lebih specific lagi saya tertarik untuk membacanya
ReplyDelete@ Fokus Global, insya Allah nanti akan dilanjutkan artikel lewat hasil-hasil pengamatan para ahli tentang subordinasi masyarakat adat di Indonesia selama ini.
ReplyDeleteentahlah aku bingung dengan negara ini...
ReplyDeletekeren
ReplyDeleteDownload Best Movie