Belajar dari Kearifan Kampung Naga

Oleh : Subhan Agung


Kampung Naga adalah salah satu kampung adat di Indonesia yang secara geografis terletak di desa Neglasari, kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Kampung kecil yang dihuni 314 jiwa dan 119 rumah tinggal ini dipimpin oleh 2 sistem kepemimpinan, yakni kepemimpinan adat dan kepemimpinan administratif (formal). Kepemimpinan adat dipimpin oleh kuncen yang memiliki kewenangan mengatur sistem laku lampah (perilaku) keadatan masyarakat Naga. Sistem yang satunya lagi adalah sistem kepemimpinan formal yakni punduh dan lebe. Punduh yang sebenarnya dalam sistem formal kenegaraan merupakan jabatan formal yang masuk dalam perangkat desa, di kampung Naga dianggap sebagai salah satu tokoh adat dalam menciptakan suasana yang kondusif dan berakselerasi dengan kuncen dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sedangkan lebe memiliki kewenangan dalam mengatur ritual atau upacara pernikahan masyarakat Naga.

Penduduk kampung Naga seluruhnya memeluk agama Islam. Dalam setahun kampung Naga rutin melaksanakan 6 kali upacara adat yang diadakan pada bulan Muharram yaitu memperingati tahun baru Islam, diadakan pada akhir bulan Muharam, Bulan Rabiul Awal, Jumadil Akhir (pertengahan tahun), Nisfu Sya’ban (Ruah), Syawal (setelah lebaran), Dzul Hijjah- Iedul Adha. Tentang sejarah kampung ini memiliki banyak versi terutama yang telah dilakukan penelitian oleh beberapa ahli sejarah, salah satunya seperti versi sejarah bahwa kampung ini dahulunya berasal dari para prajurit Sultan Agung Mataram yang kalah perang, dan ketika mereka mundur untuk kembali ke Mataram mereka beristirahat di tempat yang sekarang disebut kampung Naga, setelah sampai di tempat ini mereka memutuskan menetap. Mereka inilah yang dianggap leluhur masyarakat Naga. 

Versi kedua dikatakan bahwa masyarakat Naga berasal dari Cirebon, atau pasukan Sunan Gunung Jati, di mana dalam satu perjanalan mereka menemukan sebuah lembah yang dikelilingi bukit. Kemudian mereka menetap di tempat ini dan kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Naga. Dari versi-versi tersebut diakui oleh kuncen kampung Naga[1], bahwa wallohu a’lam benar atau tidak, yang jelas beliau tidak mengiyakan ataupun menyanggahnya. Alasannya adalah jangankan orang luar, mereka sendiri kehilangan jejak leluhur mereka yang sebenarnya sejak tahun 1956, ketika gerombolan DII/TII pimpinan Kartosuwiryo membakar kampung ini, sehingga dokumen-dokumen sejarah hangus terbakar.

Kekuatan Sistem Tabu dan Terciptanya Harmoni Hanya dengan satu kata mereka membentuk sistem tabu dalam kehidupan masyarakat mereka yakni hanya cukup dengan ucapan pamali. Ucapan pamali ini memiliki tuah yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Naga. Tidak seperti hukum postif bangsa ini yang sangat rumit memahaminya, tetapi dalam kenyataan aplikasinya dapat ditawar-tawar dengan uang atau barang berharga lainnya. Pamali bagi masyarakat Naga dipegang mutlak tanpa bisa ditawar-tawar lagi, tidak bisa ditukar dengan apapun, jika para pemangku adat mengatakan perbuatan tertentu  jangan dilakukan, dikarenakan pamali, masyarakat pasti menurutinya, tanpa banyak tanya mereka percaya pada pemimpin mereka.

Keistimewaan ini ternyata berpengaruh pada kehidupan sosial mereka, kehidupan mereka aman, tentram, tidak ada yang mengganggu, tidak ada pencurian, tidak ada pembunuhan, tidak ada penipuan, tidak ada penghinaan dan perbuatan lainnya yang merugikan pihak lain. Coba anda buktikan sendiri datang ke kampung Naga, ketika mereka bekerja di sawah, rumah dibiarkan kosong tidak terkunci, mereka tidak khawatir akan ada pencurian, karena di tempat mereka tidak ada pencuri dan tidak pernah terjadi pencurian, coba juga lihat kolam ikan umum masyarakat[2] yang didalamnya terdapat ribuan ikan beraneka jenis dengan ukuran yang besar-besar, tidak pernah ada yang berani masyarakat mencuri atau memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri, coba lihat hutan-hutan yang ada di sekeliling kampung Naga, walaupun tidak ada yang menjaga, apalagi pakai seragam dan bersenjata, hutan disana tetap utuh lestari. Walaupun keseharian mereka memasak memakai kayu bakar (suluh), yang nota bene didapat dari hutan, saya membuktikan sendiri tidak ada hutan yang rusak.

Coba kita bandingkan dengan hukum positif negara kita yang sangat kompleks, bahkan untuk mempelajarinya saja anda butuh kurang lebih lima tahun hingga menjadi sarjana hukum. Hukum ada dan rigid, namun pelanggaran hampir setiap hari terjadi di negara ini. Pembunuhan, perkosaan, penipuan, perdagangan manusia, peredaran Narkoba, terorisme terus terjadi di negara ini. Bahkan beberapa tindak kriminalitas terjadi setiap hari di negara kita. Coba anda simak sendiri beritanya di media, pasti setiap hari ada saja kekacauan yang merugikan bahkan mencelakakan orang lain. Selain itu coba kita renungkan hutan-hutan Indonesia adakah yang tidak dijaga oleh petugas negara?. Jawabnya hampir setiap hutan dijaga oleh petugas berseragam, apalagi bersenjata. Namun adakah hutan-hutan yang dijaga tersebut yang utuh tidak tersentuh oleh tangan-tangan jahil manusia?. Saya yakin jawabannya tidak ada!, kalau tidak pembalakan liar, hutan-hutan kita habis dicuri oleh kelompok tertentu dan tidak jarang melibatkan si penjaga itu sendiri.

Dari perenungan tersebut kita perlu banyak belajar dari kearifan lokal yang sudah teruji ribuan tahun silam, jauh sebelum Indonesia lahir. Satu kata penting bagi kita adalah kita harus menggali kearifan-kearifan lokal tersebut dan sedikit demi sedikit dipraktekkan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan kita. Kita jangan hanya terpaku pada peradaban Barat, yang belum tentu cocok dengan kondisi sosial, budaya kemasyarakatan kita. Masyarakat adat yang saya deskripsikan dalam uraian di atas bisa hidup harmoni dikarenakan mereka melakukannya bukan karena paksaan, tetapi kesadaran akan pentingnya alam sebagai teman hidup mereka. Bagi mereka alam akan baik, jika mereka juga baik terhadap alam. Bagi mereka, hidup akan tentran jika mereka memagang teguh aturan (tetekon) yang mengatur kehidupan sosial mereka. Berbeda dengan kehidupan kenegaraan kita, dalam banyak kasus, bagi kita hukum ada untuk dilanggar, negara ada untuk memaksa warganya, kebijakan yang dibuat tidak peduli dengan kehendak rakyat, yang dipedulikan adalah kepentingan segelintir orang kaya, pemilik modal dan lebih gila lagi jika ada campur tangan kepentingan negara lain. Tentang bukti bahwa kearifan lokal dapat memaksa negara untuk melayani kepentingannya akan saya uraikan dalam postingan selanjutnya nanti tentang “ Kekuatan Adat yang Mencengangkan Dunia”.


Subhan Agung, 23 April 2011

Sumber Gambar Ilustrasi  dan Keterangan:
Dokumen Pribadi Subhan Agung : Berpose bersama kuncen kampung Naga dan ketua jurusan Ilmu Politik Universitas Siliwangi, sesaat setelah wawancara (dari kiri ke kanan saya, kuncen dan Akhmad Satori (Kajur Ilmu Politik Unsil).


[1] Wawancara langsung dengan kuncen kampung Naga, bapak Ade Suherlin, hari Jum’at, 22 April 2011 di kampung Naga.
[2] Ikan-ikan ini biasanya dipanen sebagian jika ada upacara-upacara adat, sehingga tidak harus susah-susah membeli atau mengumpulkan sumbangan dari masyarakat.

13 komentar:

  1. kampung naag , nampak best je :) HUHU

    ReplyDelete
  2. Terima kasih komment nya. Untuk lebih mengenali kampung Naga silakan anda datang langsung ke sana..

    ReplyDelete
  3. Di tasiknya
    Alhamdulillah abi pernah kaditu..
    nepangkeun abi orang Banjar

    ReplyDelete
  4. numpang berceloteh

    Sebenarnya hukum adat istiadat sudah sangat lama memaiankan perannya dalam mengatur prilaku penduduk di suatu desa baik dalam kehidupan bermasyarakat ataupun hubungan masyarakat dengan alam sebagai ajaran peninggalan para leluhur hukum adat istiadat selalu berpegang teguh pada hati nurani yang bermuara pada kejujuran dan telah terbukti menciptakan suasana harmonisasi di suatu desa

    Di tunggu kunjungan baliknya teman...jangan lupa kasih komentar

    ReplyDelete
  5. @Rizki hatur nuhun kunjunganana..Sumuhun mangga buktoskeun wae ameng ka kampung Naga.. Mungkin beberapa kata saya ada yang berlebihan atau tidak terbukti di sana.. Namun yang jelas anda akan berkelana sendiri di suatu kampung yang unik dan perlu pemikiran mendalam untuk sampai memahami filosofi kehidupan di sana..

    @ Lili..Terima Kasih kunjungannya kawan..Betul sekali saya setuju dengan pendapat anda.. Iya akan saya sempatkan berkunjung ke blog anda.. Terima Kasih..

    ReplyDelete
  6. like this..bagus banget artikelnya..
    hmm kalau kita main kesana apa seperti kampung badui yang melarang tamu untuk bermalam?? pengen kesana sih..
    salam kenal ya

    ReplyDelete
  7. @oncomdotcom, terima kasih kunjungan n comment nya teman..Di Kampung Naga tamu boleh bermalam, berapa malam pun..Ketika saya berkunjung ke sana pun banyak rombongan yang sengaja menyewa beberapa rumah adat untuk bermalam di sana, kalau ngk salah salah satunya ada keluarga dari Belanda saat itu.. Terima Kasih..Pasir Gadog..

    ReplyDelete
  8. salam kenal juragan :)

    ReplyDelete
  9. 2 Zeta, salam juga gan..terima kasih dah berkunjung...

    ReplyDelete
  10. Tiga tahun kebelakang saya lalu-lalang Singaparna-Garut.Terlintas ingin singgah di kampung Naga.Tapi tidak kesampaian karena kesibukanku.Tahu lebih dalam tentang kampung Naga disini,nice post Gan,hatur nuhun infona salam baktos ti Papua!

    ReplyDelete
  11. Tulisan ini bagus dan menyentuh banget mas...

    ReplyDelete