Perempuan dan Representasi Politik





Review Buku Keterwakilan Perempuan dalam Politik, 
karya Astrid Anugerah, Penerbit Pancuran Alam, Cet II, Jakarta
Oleh :

Subhan Agung



I. Pendahuluan

Berbicara representasi politik dalam kajian ilmu politik sangatlah menarik, dikarenakan terkait erat dengan keinginan untuk merepresentasikan kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat. Representasi politik biasanya berkonotasi dengan lembaga politik semisal parlemen, tempat berbagai wakil rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun perlu diketahui, bahwa sebenarnya ada dua model perwakilan dalam kajian Ilmu politik yang sudah lazim yakni : pertama, perwakilan dan mekanisme formal. Model ini sangat biasa dalam pemerintahan negara-negara di dunia saat ini lewat parlemen atau sejenis DPR di Indonesia. Mekanismenya pun di setiap negara sudah sangat rigid dibuat dalam bentuk perundang-undangan dan setiap negara memiliki variasi tertentu dalam model mekanisme perwakilan formalnya. Kedua, perwakilan tidak formal dan tidak ada mekanisme yang secara jelas tertulis. Model kedua ini biasanya mendasarkan pada konsensus tertentu dan dalam pelaksanaannya sangat dinamis, tergantung kondisi sosial-politik, budaya (social-contruction) sebuah negara.
 Berdasarkna pemahaman di atas, persoalan representasi bukanlah persoalan yang sederhana, karena tentu banyak pertanyaan kemudian yang terkait dengan kepentingan apa yang direpresentasikan, siapa yang merepsentasikan dan siapa yang direpresentasikan. Dalam konteks politik negara-bangsa (nation-state), akan menjadi tidak sederhana, bahkan mungkin problematik membicarakan 3 unsur dalam representasi tadi, karena akan terkait dengan kontestasi kepentingan, pergulatan politik antara yang diwakili dengan yang mewakili dan seterusnya. Kajian ini akan banyak membahas tentang problematika perwakilan dalam struktur formal yakni Partai Politik dan parlemen.
Tulisan dari Astrid Anugerah tentang Keterwakilan Perempuan dalam Politik ini konteksnya adalah membahas keterwakilan politik perempuan dalam institusi-institusi politik formal semisal Parpol, DPR dan lainnya pasca Reformasi terutama detik-detik menjelang Pemilihan Umum Langsung tahun 2009. Kejengkelan penulis tentang kontestasi dalam arena politik praktis dari zaman Orba sampai awal-awal gelombang Reformasi yang selalu saja dominasi kultur patriarki yang kentara, sedangkan “seolah-olah” perempuan tabu memasuki arena tersebut. Kejengkelan tersebut dalam pandangan penulis mulai ada angin segar ketika munculnya perangkat hukum yang mulai respek dengan kondisi tersebut.
Banyak hal yang dibahas dalam buku ini seputar keterwakilan perempuan dalam politik, termasuk kentalnya analisis yuridis dalam menganalisis prospek keterwakilan perempuan dalam politik, namun fokus review ini lebih melihat konsep dan problematika keterwakilan perempuan dalam arena politik itu sendiri. Walaupun perspektif penulis lebih pada kajian perangkat hukum yang dianggap menjadi salah satu solusi dalam menggenjot perwakilan perempuan dalam institusi politik formal, namun menarik dikaji dan sangat penting terutama isu gender merupakan isu yang sensitif dan debatable. Sehingga menurut saya, persoalan ini bukan sekedar persoalan, namun problematika yang sangat berarti dalam memperkaya dan mengembangkan pengetahuan, terutama tentang isu representasi perempuan, politik representasi dan kajian gender dan politik.

II. Konstruksi Pemikiran
Dari awal tadi sudah disampaikan bahwa penulis mempercayai perwakilan politik perempuan akan bisa terlaksana jika ada upaya khusus semisal affirmative action untuk kaum perempuan dalam masuk ke arena politik praktis lewat institusi politik formal, maka konsepsi kajiannya pun berawal dari problematika hukum, bukan hanya di Indonesia, namun di dunia. Secara singkat akan diurai di bawah ini :

a. Perangkat Aturan yang Patriarki
Penulis buku ini mengurai tentang problematika hukum yang disadari ataupun tidak, hukum dirancang sesuai dengan karakteristik laki-laki. Dengan mengutip Feminis Prancis, Simone De Beaviour penulis beranggapan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan sudah dilakukan beribu-ribu tahun lampau, semisal masa Yunani Kuno di mana Plato memandang bahwa tubuh perempuan sebagai “barang” yang rendahan, diperangkap oleh alam, mengundang berahi dan menjatuhan pada dosa.
Hukum adalah manifestasi dari kepentingan kaum pria, hukum yang ada adalah hukum yang pas dengan sifat dan perilaku kaum pria, contoh semisal Amerika dan Britania Raya di Abad 19 sampai sebelum awal abad 20, di mana kaum perempuan berada dalam posisi lemah dan dilemahkan dalam banyak hal. Kaum perempuan tidak diizinkan dalam Pemilu karena aturan yang melarang, dalam hukum perkawinan wanita tidak berhak atas harta gono-gini. Dari kondisi tersebut timbul gelombang pemberontakan kaum wanita, terhadap kesewenang-wenangan dan perangkat hukum yang patriarki lewat gerakan feminism yang mulai masif di awal tahun 1977 di London dan menyebar ke seluruh dunia. Berbagai upaya dilakukan untuk perjuangan posisi wanita yang sepadan dengan laki-laki terutama diakui dalam aturan hukum di sebuah negara.

b. Perempuan dan Keterwakilan Politik
Ada banyak faktor mengapa kaum perempuan tertinggal sekali dalam kepengurusan Parpol di Indonesia : pertama, dalam kancah perpolitikan dalam partai, kaum pria memang jauh lebih banyak memiliki pilihan untuk menjadi SDM yang bermutu, ketimbang kaum perempuan. Kultur sosial kita yang memang masih patriarki. Kedua, kaum perempuan dengan perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, dianggap tidak selalu “siap pakai” dalam mengurusi orgnanisasi. Adanya orientasi pemikiran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, perempuan pola pikirnya lebih internal-eksklusif, sedangkan laki-laki eksternal-inklusif[1]. Ketiga, sifat nature dari perempuan dianggap kurang mendukung dalam urusan politik dan pemerintahan seperti hamil, menyusui, mengurus anak, menstruasi sehingga harus pikir-pikir dahulu bagi perempuan masuk dalam institusi politik yang “serba keras”. Keempat, direduksinya isu nurture sebagai isu nature, artinya masih adanya pandangan bahwa perempuan berpolitik praktis sebagai sesuatu yang janggal dan diluar kebiasaan, sehingga tidak jarang menimbulkan minder dan menurunkan semangat kaum perempuan. Kelima, superioritas laki-laki yang dalam dataran tertentu akan merasa tidak nyaman jika istrinya berperan di luar rumah tangga, atau dalam hal tertentu merasa tersaingi.
Keprihatinan feminis dengan faktor-faktor di atas, menjadi bahan refleksi bermakna bagi out-put legislasi dalam pemajuan kehidupan kaum perempuan di segala bidang dan aktivitas. Isu gender menjadi sorotan penting dalam berbagai pembahasan undang-undang di DPR, terutama tentang kontroversi perlunya penanganan khusus untuk perempuan atau tidak perlu, karena senyatanya jika melakukan penanganan khusus, hal itu dianggap sudah melanggar nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Menurut aliran yang tidak diperlukan upaya affirmative action, persoalan gender merupakan persoalan cara pandang yang salah, sehingga perlu ditangani dengan merubah cara pandang, bukan dengan pengistimewaan. Cara pandang tersebut bisa dirubah dengan pendidikan politik, kampanye-kampanye kesetaraan gender dan lainnya.
Menurut penulis hak perempuan adalah hak asasi manusia, karena itu perempuan memiliki hak dan akses yang tidak boleh diperkecil dan dipinggirkan dari segala hak yang telah ada, terutama dalam berperan di masyarakat. Affirmatif action jangan dipahami sebagai merendahkan perempuan, atau menganggap kaum perempuan harus “diberi sesuatu” baru bisa maju. Pemberian perlakuan khusus tersebut adalah sebagai bentuk upaya keadilan dan pemberian proporsi pembagian peran, demi kebersamaan dan kebahagiaan manusia. Perempuan dan laki-laki memang memiliki perbedaan fisik, di mana laki-laki memiliki fisik yang cenderung lebih kuat, dan wanita cenderung lebih lemah, namun semua itu diciptakan untuk saling melengkapi dan membahagiakan keduanya. Namun kemudian kelemahan fisik wanita tidak bisa direduksi lewat pengekangan di bidang sosial-kemasyarakatan.
Ada kesan keterwakilan perempuan dalam politik adalah pemberian. Menurut penulis, istilah “pemberian kesempatan” dan kedudukan yang sama seperti pada penjelasan Pasal 46 UU No. 39 tahun 1999 tidak pantas dalam koridor hak asasi manusia. Istilah pemberian berkonotasi tidak natural dan hakiki terhadap pengertian utuh dari hak asasi manusia. Hak perempuan bukanlah pemberian atau hadiah dari kaum laki-laki. Hak perempuan bersumber dari Tuhan. Hak perempuan ada dan tumbuh ketika ia dilahirkan ke dunia sama dengan laki-laki.
Munculnya seperangkat aturan seperti UU No.2 tahun 2008 yang mulai cukup memberikan peluang perempuan dalam politik praktis, memang memunculkan problematika baru seperti misalnya dalam konteks daerah kabupaten, yang secara relatif tingkat pendidikan dan kecerdasan perempuan terutama dalam kemampuan mengelola organisasi sangat minim, sehingga kurang memungkinkan untuk pemenuhan kuota yang digariskan dalam aturan di atas. Dalam konteks problematika tersebut paling tidak ada 2 hal yang menjadi pemikiran bersama yakni : pertama, aturan tersebut merupakan tantangan bagi Parpol untuk memajukan kaum perempuan. Dengan “paksaan” aturan yang ketat, maka mau tidak mau Parpol, jika mau lulus perifikasi harus mampu melakukan pendidikan politik, mencerdaskan dan memajukan kaum perempuan, terutama konstituennya. Jika kader-kader partai dari kalangan perempuan masih relatif lebih terbelakang dengan kaum pria, sementara perempuan adalah asset dalam organik partai, maka tugas partai politik adalah menjadikan perempuan sebagai sumber daya elit partai. Perempuan harus diproses supaya siap dalam lingkaran elit, memiliki pribadi yang mandiri, percaya diri, memiliki jati diri, di samping keterampilannya dalam bidang politik dan mampu membagi perannya secara bijak sebagai elit partai dan sebagai pengurus rumah tangga.
Kedua, aturan tersebut merupakan upaya pemberian kesempatan luas bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam pentas perpolitikan, baik lokal maupun nasional. Kesempatan yang “diwajibkan” bagi setiap partai untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk aktif dalam institusi politik. Namun, yang kemudian harus menjadi catatan adalah kaum perempuan jangan merasa puas dengan pemberian kesempatan tersebut atau menjadi anggota legislatif tanpa mau belajar memperbaiki kualitas sumber daya manusianya. Kaum perempuan hendaknya menyadari bahwa sistem quota juga harus dipahami sebagai media pencerdasan sense of social kaum perempuan lewat kran institusi politik praktis.
Dalam realitas politik, kehidupan kepartaian dan politik praktis bukanlah sesuatu yang sederhana, membutuhkan kecerdasan dan ketajaman pemikiran, juga kemahiran berorganisasi yang dipadu dengan kebijakan dalam menyikapi segala dinamika yang terjadi dalam partai dan parlemen. Konstruksi sosial memang diasosiasikan perempuan terlalu beresiko jika berkiprah dalam institusi politik yang sarat dengan kontestasi dan benturan yang terkadang keras. Namun, inilah kesempatan sekaligus tantangan untuk mampu membijaki tantangan yang ada tersebut. Satu hal penting yang secepatnya harus dilakukan perempuan Indonesia saat ini adalah “bersekolah”. “Bersekolah” sambil berkarya, berperan menjadi aktor politik dalam partai dan parlemen. “Bersekolah” dengan pelajaran memasuki persaingan (competitive prosess) yang ekstra.
Peratuan baru tersebut juga bisa dikatakan sebagai upaya “feminisasi politik”, maksudnya proses bagaimana perempuan mendapat peluang yang luas dalam berperan dalam institusi elit politik dan tentunya mewakili aspirasi kaum perempuan khususnya dan umumnya ketidakadilan yang terjadi. Esensi peraturan tersebut memiliki tiga hal penting sebagai keterwakilan perempuan dalam politik yakni : aspek pendirian dan pembentukan partai, kepenguruan partai politik dan pendidikan politik perempuan. Terlihat eksplisit dari tiga aspek tersebut memaknakan terbukanya peluang luas bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam proses politik. Keterlibatan tidak hanya berupa inisiatif dari perempuan, tetapi juga tindakan bijak yang proaktif bagi setiap partai politik mencari kader perempuan untuk duduk dalam struktur parpol, mulai dari sejak pendirian, kepengurusan, hingga proses penentuan calon legislatif.
Demokrasi Indonesia selama ini hanya mengedepankan aspek sangat prosedural dan bersifat keterwakilan umum masyarakat, tidak berupaya bagaimana keterwakilan kepentingan dan golongan-golongan minoritas terakomodasi[2]. Inilah yang menyebabkan demokrasi di Indonesia belum berhasil, karena tidak mampu mewakili individu maupun kelompok yang memiliki perbedaan karakter sosial. Undang-undang baru tersebut menjadi babak baru mulai diakomodasinya entitas individu maupun kelompok dalam masyarakat, terutama perempuan. 

c. Affirmative Action
Menurut penulis, diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan yang termanifest dalam banyak undang-undang di berbagai penjuru dunia sudah sangat memperihatinkan, walaupun gelombang perlawanan atas ketidakadilan tersebut terus bergulir, terutama digawangi oleh aktivis-aktivis feminisme dunia, tetapi pada kenyataannya masih saja berlangsung ketidakadilan gender di mana-mana. Ketimpangan-ketimpangan tersebut sudah saatnya mulai diminimalisir dengan berbagai upaya yang produktif.
Beberapa upaya untuk menerobos masalah tersebut di atas adalah dengan merancang paradigma seperti : pertama, pendekatan Gender and Development (GAD), yakni dengan menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan, atau sebaliknya. Dalam dataran operasional adanya komitmen peningkatan status dan peran perempuan dalam hukum dan pembangunan, mulai tahap perumusan, pelaksanaan kebijakan sampai hasil-hasil pembangunan. Kedua, affirmative action, semacam progam khusus untuk lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyarakat sesuai kemampuannya. Dengan demikian, terdapat peluang atau kesempatan bagi kaum perempuan dan memberikan motivasi pada kaum perempuan untuk meraih posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.
Menurut penulis affirmative action sudah saatnya diberlakukan di Indonesia, yang konstruksi sosialnya patriarki. Jika tidak dengan upaya khusus tersebut sepertinya sangat kecil kemungkinan perempuan bisa banyak berperan dalam urusan politik, bahkan lebih jauh lagi bisa merepresentasikan kepentingan-kepentingan perempuan dalam politik. Affirmative action yang dimaksud adalah lewat seperangkat peraturan yang memadai dan merangkum aspirasi perempuan dalam keterwakilannya dalam politik.
Upaya tersebut di Indonesia mendapat “angin segar” di tahun 2002 dengan mulai ditampungnya aspirasi perempuan dalam politik lewat pengupayaan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai dan calon wakil ke parlemen lewat UU No.31 Tahun 2002. Namun diakui UU tersebut masih banyak kelemahan karena tidak adanya ketegasan keharusan partai menyertakan 30 % wakilnya ke palemen dan dalam kepengurusan Parpol, belum juga tidak ada sanksi yang mengikat sehingga hasilnya pun kurang memuaskan. Tercatat dalam Pemilu 2004 hanya ada 11, 27 % keterwakilan perempuan dalam DPR. Munculnya UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.10 tahun 2008 menunjukan ada perbaikan sistem aturan yang dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada perempuan untuk aktif dalam institusi politik. Dalam undang-undang partai harus menyertakan keterwailan 30% perempuan dalam kepengurusan di daerah sampai ke pusat. Begitu pula harus menyertakan minimal 30% wakilnya dalam DPR, DPRD I dan DPRD II.
Selain kelebihan tersebut juga undang-undang ini mengharuskan langkah affirmative action dengan mengharuskan partai menggunakan zipper system atau zigzag dalam penempatan caleg-caleg wanita, yakni menempatkan satu calon wanita diantara 3 Caleg laki-laki, hal ini dinilai bisa membantu kemungkinan besar terpilihnya perempuan sebagai anggota legislatif jika menggunakan Sistem Terbuka Sebagian. Ternyata dalam perjalanannya sistem ini dinilai kurang efisien karena Mahkamah Konstitusi menggagalkan Sistem Terbuka Sebagian dengan Sistem Terbuka Murni, di mana setiap Caleg yang akan terpilih adalah Caleg dengan suara terbanyak, dengan alas an lebih adil dan menghindari oligarki elit partai.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang menuai banyak kritik, karena sistem zigzag yang dari awal diharapkan menjadi andalan bagaimana perempuan menjadi aktor penting dalam institusi politik akan terganjal, karena jika menggunakan sistem terbuka murni kemungkinan besar peluang perempuan menjadi pemenang akan sangat kecil, karena konstruksi patriarki di Indonesia masih sangat kuat.
Affirmative action memang inconsistency, sepintas terdapat ketidaktaatan asas, terutama dengan asas demokrasi, karena berdasarkan sistem keterwakilan perempuan dengan minimal 30% tersebut sudah melanggar asas demokrasi. Namun di sinilah ciri dari UU No.10 tahun 2008, bahwa UU ini memerlukan terobosan mengatasi masalah ketertinggalan perempuan dalam rangka pemberdayaan politik bagi semua kalangan masyarakat. Jadi affirmative action ini merupakan kekecualian dari pola demokrasi, karena sifatnya sebagai kekecualian, maka tindakan khusus ini terkadang pula disebut diskriminasi-positif, karena demi memperhatikan pemberdayaan perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam proses politik tersebut seolah tidak tampak atau kabur, namun kebijakan khusus tersebut dianggap positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender.
Karena sistem zigzag menjadi kurang efektif karena terganjal putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan Sistem Terbuka Murni (suara terbanyak murni), maka KPU harus melakukan langkah-langkah seperti membuat seperangkat aturan turunan yang tidak bertentangan dengan UU supaya sistem zigzag yang sudah ditetapkan hanya sebagai penghias peraturan saja, kalau itu tidak terjadi maka perlu political will dari parpol untuk memberikan dorongan dan kesempatan yang luas. Kaum perempuan juga jangan manja dengan hanya mengandalkan pihak-pihak lain, namun juga berjuang supaya kesetaraan gender di Indonesia mengalami perbaikan.

III. Menimbang Esensi Tulisan
Tulisan dari Astrid Anugerah tentang Keterwakilan Perempuan dalam Politik sebenarnya ingin mengungkapkan realitas perpolitikan di Indonesia yang “pincang” dalam perspektif kesetaraan gender. Berbagai nuansa sosio-politik, kultural membungkus kaum perempuan dalam konstruksi gender yang sangat patriarkis. Tulisan ini juga berusaha memberikan penyadaran bahwa konstruksi sosial yang salah tersebut harus segera diakhiri.
Dalam konteks kesetaraan gender dalam bidang politik, maka perempuan sudah waktunya banyak terlibat dalam lingkungan politik praktis lewat perannya dalam institusi politik formal seperti partai politik dan elit dalam pemerintahan semisal DPR dan turunannya ke bawah. Semua itu akan bisa terwujud dalam konteks masih kuatnya nuansa patriarki jika ada upaya khusus lewat apa yang disebut affirmative action, supaya mampu menggenjot keterwakilan politik perempuan dalam partai dan DPR. Perangkat aturan yang dimaksud dinilai sudah mampu mengakomodir, tinggal pemberlakuan dan sanksi tegas jika tidak melaksanakannya.
Tulisan ini akan berusaha menimbang kelebihan dan kekurangan tulisan buku ini terutama yang terkait dengan realitas kontekstual saat ini, konsep-konsep dasar yang dibangun dan perbandingan dengan kajian lainnya yang memiliki keterkaitan kajian.

a. Sarat Kegairahan dan Semangat
Tulisan ini memang sangat sarat dengan kegairahan dan harapan dari penulis akan bangkitnya perempuan Indonesia dalam representasi politik, terutama masuk dalam institusi politik formal, kegairahan tersebut dapat dilihat dalam analisis di bawah ini :
Pertama, berangkat dari konteks pengkerdilan perempuan lewat perangkat-perangkat hukum dan institusi-institusi bergengsi dalam kehidupan social politik[3] yang berlaku di dunia, termasuk Indonesia beribu-ribu tahun lamanya, penulis membuat analisis betapa pentingnya seperangkat aturan yang tidak bias gender[4] dan memihak pada peran perempuan dalam politik. Tawaran yang sangat jelas dan teknis, yakni hukum di Indonesia sudah saatnya tidak bersifat patriarki semata.
Sikap yang jelas dan berani dari penulis boleh jadi bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam gelombang gerakan-gerakan feminisme di dunia yang berupaya mensejajarkan status perempuan dengan laki-laki. Mereka bergerak hampir di setiap sisi kehidupan yang merasa tersubordinasi dan terdiskriminasi, mulai bidang ekonomi, sosial-politik, hukum dan lainnya. Perjuangan meruntuhkan tembok-tembok patriarki yang didorong oleh kalangan feminis sudah dari sejak tahun 1980-an meledak di dunia dan mendapatkan gaungnya di tahun 1990 momentum yang sekaligus pembuka kran patriarki. Momentum tersebut lebih dikenal sebagai Efek Anita Hill.
Efek Anita Hill terjadi di Amerika Serikat di bulan Oktober 1991, di mana terjadinya dugaan kasus pelecehan seksual oleh seorang pejabat tinggi Amereika yang juga calon Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Clarence Thomas terhadap Anita Hill. Walaupun pada awalnya Hill bungkam seribu bahasa, namun atas desakan teman dan para pegiat feminisme dan media, berhasil bersuara dan tanpa diduga mampu “menjungkalkan” pejabat ini sehingga dianggap tidak layak memangku jabatan prestisius tersebut dan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara terhadapnya[5]. Dua tahun kemudian Amerika dan dunia diguncang oleh isu-isu gender yang belum ada rujukannya dalam sejarah, sidang kasus perkosaan yang menyeret William Kennedy Smith (kerabat keluarga Kennedy yang tersohor dan terkenal kebal hukum), sidang perkosaan oleh petinju kelas berat Mike Tyson, dan Skandal Konvensi Tailhook, di mana para anggota Korp Angkatan Laut Amerika Serikat, rampung menonton video porno, menyerang rekan-rekan sejawatnya yang perempuan.
Tulisan-tulisan Naomi Wolf, seorang penulis dan pegiat feminisme Amerika banyak menggambarkan bagaimana kemarahan-kemarahan wanita-wanita Amerika karena sejarah mencatat banyak sekali skandal, kasus yang merendahkan citra perempuan. Kemarahan-kemarahan tersebut kemudian mengemuka lewat representasi perempuan dalam panggung politik di Amerika. Bagi mereka, kaum laki-laki sebagian besar telah terbukti lewat sejarah tidak mampu membawa kepentingan perempuan dalam ranah sosial, politik, ekonomi, hukum, kemananan dan lainnya. Maka perempuan lah yang harus menjadi aktor representasi perempuan dalam politik. Dari situlah kemudian bermunculan calon-calon senator perempuan yang mulai berani mencalonkan diri semisal Lynn Yeakel dari negara bagian Pensylvania. Kemenangan Clinton dalam pemilihan presiden Amerika pun tidak terlepas dari kampanye-kampanye politik pengacara perempuan nomor wahid Amerika yang juga istrinya, Hillary Rodham Clinton[6].
Keberanian-keberanian yang dipertontonkan oleh kaum feminis di negara maju menyebar ke negara-negara berkembang menjadi gelombang kesadaran baru akan pentingnya perjuangan perempuan dan yang memahami dan prihatin atas kondisi tersebut. Dalam kontekstualisasi seperti di ataslah tulisan ini menjadi berarti bahwa memang sudah saatnya perempuan masuk dalam ranah politik, tanpa keraguan, bahwa politik merupakan lahan yang tabu bagi perempuan. Konteks di Indonesia, cara yang dianggap terbaik menurut penulis adalah dengan adanya perangkat hukum yang menunjang keterwakilan politik perempuan. Dan UU terbaru tentang itu dianggap cukup bisa memberikan kiprah yang besar pada perempuan, jika ada kemauan belajar yang besar dari kaum perempuan itu sendiri. Karena tentunya seperti yang diungkap dalam perjalanan sejarah politik Amerika, kekuasaan laki-laki lebih banyak mensubordinasi kaum perempuan, logika sederhananya adalah hanya perempuan itu sendidri yang paling paham kepentingan, aspirasi, kebutuhan dan eksistensinya dalam sosial-politik, maka tidak ada cara lain perempuan harus mau dan mampu mewakili kaumnya dalam institusi politik formal semisal lembaga kepartaian dan DPR.
Kedua, penulis membangun argumen keterwakilan perempuan dalam politik, lewat model resemblance. Memang kalau bicara teori yang dikemukakan dalam buku ini kurang terlihat, bahkan lebih banyak asumsi dan penafsiran pribadi penulis untuk menguatkan ide bahwa sudah saatnya perempuan memanfaatkan perangkat aturan hukum yang dinilainya sudah cukup representatif untuk perempuan masuk dalam lingkaran politik praktis dan memperjuangkan aspirasi, kepentingan perempuan. Kultur internal-ekslusif yang biasa menjadi frame berfikir perempuan sudah seharusnya dirubah dengan model berfikir yang eksternal-eksklusif seperti kaum laki-laki.
Walaupun konsepsi tersebut kabur dan kurang memiliki dasar teoritis yang kuat, tetapi ada maksud yang lebih besar dari konsepsi keterwakilan perempuan yang dikehendaki penulis yakni memanfaatkan peluang yang ada sebanyak mungkin dan berkiprahnya perempuan dalam institusi-institusi politik formal. Kengototan penulis terkesan dalam tulisannya untuk secepatnya mewujudkan hal itu. Dan hal itu merupakan kekuatan buku ini dalam membakar semangat kaum perempuan yang dianggap masih termarginal dalam peran-peran sosial-politik di Indonesia.
Yang paling penting dari semua itu adalah yang paling mengerti kepentingan, kultur, kebahagiaan, aspirasi dari perempuan menurutnya adalah perempuan itu sendiri. Bagaimanpun juga kaum laki-laki bersimpati pada kondisi objektif kaum perempuan, tetap saja ada yang hampa, karena laki-laki tidak merasakan langsung kondisi objektif yang dirasakan perempuan, jadi perempuan itu sendirilah yang pasti akan mampu menjadi representasi kaumnya.
Dalam konsep representasi, ada empat model representasi yang paling sering dipraktekan dalam politik yakni : pertama trusteeship, maksudnya model representasi yang lebih menekankan pada pemahaman masalah kelompok tertentu. Jadi siapapun dia, jika dianggap memahami persoalan A bisa dikategorikan merepresentasikan si A. Kedua, delegation, model representasi yang formal dan sudah ada panduan-panduan rinci dalam melakukan perwakilannya, contohnya Duta Besar. Ketiga mandate model, yakni model representasi yang lebih pada political will yang dianggap mampu merepresentasikan kelompok tertentu, misalnya Parpol yang dipilih konstituennya karena programnya yang mengena kelompok tertentu. Keempat, resemblance model, yakni model perwakilan yang hanya bisa dilakukan hanya oleh satu kepentingan yang sama, kelompok yang sama, agama yang sama, budaya yang sama atau lainnya, misalnya hanya buruh yang bisa mewakili buruh, hanya perempuan yang bisa mewakili perempuan[7].
Kalau melihat apa yang ditulis Heywood di atas, maka apa yang diinginkan penulis dalam konteks termarginalkannya perempuan di Indonesia adalah dengan menggunakan model resemblance model. Dalam kasus, desakan keterwakilan perempuan dalam politik ini, anugerah melihat bahwa hanya perempuanlah yang akan mampu secara absolut mewakili kepentingan dan aspirasi yang sebenar-benarnya dari kaumnya, karena perempuan yang merasakan kegetiran, tahu secara psikologi, kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama ini. Jadi tentunya jika semakin banyak perempuan dalam institusi politik, dan masuk dalam lingkaran elite politik pembuat kebijakan, jelas nanti ke depannya akan banyak melahirkan kebijakan yang mengangkat kesetaraan, mengikis marginalisasi perempuan dalam ranah publik dan sebagainya.
Ketiga, untuk mampu menggunakan kesempatan yang sudah terbuka luas dan meggenjot kualifikasi personal perempuan, maka negara atau pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan, harus mengupayakan apa yang disebut affirmative action, yakni upaya pengkhususan dalam menggenjot bagaimana kaum perempuan mampu memanfaatkan peluang yang sudah ada lewat seperangkat peraturan. Termasuk bagaimana melakukan rekayasa politik yang fair dalam rangka upaya pelibatan perwakilan perempuan dalam politik.
Diakui penulis hal tersebut memang secara sekilas bertolak-belakang dengan prinsip dari demokrasi. Namun, dalam ketidakseimbangan, sesuatu yang diskriminatif menjadi sah dan baik. Oleh karena itu, model affirmative action ini biasa disebut diskriminasi-positif.
Kalau kita meninjau tentang hal ini, maka sebenarnya cukup rasional dalam koridor proses merubah ketimpangan. Kajian teoritis Marx di Jerman, Eropa dan sekitarnya misalnya tentang pertentangan kelas Borjuis dan Proletar, menggambarkan image bahwa Borjuis adalah lapisan masyarakat pemilik modal kuat, hidup bermewah-mewahan, hedonism, penjilat, rakus dan jahat. Sebaliknya proletar adalah kelas yang serba kekurangan, upah kecil, kerja paruh waktu, baik hati dan sebagainya. Padahal dalam benak Marx sebenarnya pun tahu tidak semua orang pemilik modal (Borjuis) jahat semua dan tidak semua orang proletar baik semua. Namun, dalam konteks saat itu sangat diperlukan keberpihakan kalangan ilmuwan sepertinya untuk memberikan perlakuan khusus pada proletar, karena kondisi strukstur sosial yang tidak seimbang sehingga butuh bantuan khusus (advokasi).
Begitu pula yang dilakukan Wertheim dalam melihat hubungan elit dan massa di Indonesia, di mana Wertheim memberikan titik tekan pada perhatian yang serius (keberpihakannya) pada massa, di wilayah-wilayah pedalaman, dan rakyat-rakyat jelata yang biasanya dilanggengkan kaum elit kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan. Maka dalam konteks itulah kemudianWertheim memberikan perhatian khusus dan keberpihakan pada massa dalam konteks ketidakseimbangan struktur sosial. Inilah kemudian dalam keseluruhan teori tentang kesepadanan apapun, dalam konteks tertentu ada pengecualiannya[8].

b. Miskin Argumentasi Teoritik dan Keambiguan Konseptual
Selain keunggulan-keunggulan yang telah dieksplor di atas, tulisan buku ini juga saya anggap ada kelemahan. Sesuatu yang biasa dalam karya manapun, pasti ada yang terlupakan atau luput dalam kajian. Selain dalam dataran argumentasi teoritik, karya ini secara teknis penulisan argumentasi masih jauh dari sempurna karena banyak argumemtasi dan data-data yang sebelumnya sudah disebutkan, diulang kembali tanpa ada pengembangan argumentasi yang berarti, sehingga terkesan terjadi keambiguan konseptual, hal tersebut misalnya tentang ide sistem zigzag yang diawal tulisan sudah dibahas, di tengah maupun diakhir tulisan diulangi lagi tanpa ada pengembangan argumentasi. Hal yang sama juga tentang penjelasan affirmative action, sehingga terkesan kehabisan ide dan kajian.
Secara teoritik tulisan ini sangat miskin argumentasi. Yang kaya dalam tulisan ini adalah data-data, dan itupun data-data dan analisis hukum dari para tokoh yang didapat lewat media dan lainnya. Sedangkan landasan keilmuan yang sifatnya teoritik yang bisa menjadi legitimasi akademik, sebagai mana layaknya sebuah buku ilmiah dalam perspektif saya sangat minim. Namun di luar kelemahan-kelemahan di atas, ada hal-hal yang lebih penting terkait keterbatasan analisis buku ini yang sebenarnya menarik dalam konteks kajian problematika gender dan politik, maupun politik representasi perempuan, yakni :
Pertama, argumentasi penulis tentang konstruksi patriarki di Indonesia dan gender, ditemui memiliki “kecacatan konseptual” yang urgen. Di sisi lain penulis memahami konstruksi sosial di Indonesia sangat bias gender, yakni disengaja ataupun tidak, perempuan masih tersubordinasi dalam banyak hal, namun di sisi lain argumentasi dan pemahaman yang diungkapkan juga menjadi bias gender, karena lebih cenderung meninjau perbaikan nasib perempuan terus-menerus, tidak kemudian mengkaji secara filosofis dan gelombang-gelombang aliran feminisme yang juga banyak variannya di dunia. Bagaimanapun juga ‘kecacatan konseptual” ini akhirnya berdampak tidak terjawabnya persoalan problematika gender di Indonesia, persoalan di seragamkan pada lemahnya perempuan, sehingga harus bangkit, tidak kemudian melihat potensi konflik antara laki-laki dan perempuan ke depannya. Kultur masyarakat adat, yang memerlukan kebijakan dan pemahaman yang holistic atas kondisi problematika gender di Indonesia.
Untuk memahami persoalan tersebut misalnya bisa dengan melihat tarik-ulur kekuasaan, semisal analisis dialektika-materialismenya Marx. [9]Dalam pemahaman Marx misalnya sebenarnya relasi antara laki-laki dan perempuan ini mengalami pergumulan yang saling menguasai, pada masa berburu dan meramu, status perempuan lebih elitis di banding laki-laki yang hanya berburu di hutan-hutan dan jarang bersosialisasi, jadi sosisalisasi lebih banyak dilakukan kaum perempuan. Fase selanjutnya adalah mulai menyadarinya kaum laki-laki untuk bisa menguasai lahan sosialnya dengan upaya domistikasi ternak, sehingga ternak-ternak yang dihutan di bawa ke tempat tinggalnya sehingga tidak sellalu di hutan dalam fase ini laki-laki mulai berkuasa lewat penguasaan sumber-sumber material. Fase selanjutnya adalah upaya merebut kekuasaan laki-laki oleh perempuan lewat power of palusentrik[10] dari perempuan, bahwa dengan segala kelebihannya perempuan bisa mempedayai laki-laki. Hal ini terus berlanjut sumber-sumber kekuasaan pun tidak hanya material, tetapi mulai ada pergeseran semisal struktur, simbol/bahasa dan pengetahuan[11].
Pemahaman tersebut penting supaya tidak memaksakan suatu sistem, tanpa melihat substansi problematika yang sebenarnya. Tulisan dalam buku ini kaya akan semangat yang miskin pemahaman holistic problematika gender, sehingga terkesannya adalah bukan kemudian berupaya menyeimbangkan peran laki-laki dan perempuan, namun lebih mengedepankan egoisme keperempuanan. Persis seperti keterjebakan Marx ketika mengagung-agungkan revolusi kaum proletar, padahal dalam kaum Proletarpun kedengkian, kejelekan itu ada. Sehingga wajarlah jika Masyarakat Komunis yang diidam-idamkan Marx itu sampai saat ini hanya utopia belaka.
Memang problematiknya keinginan-keinginan dari aliran-aliran feminisme di dunia ini, hampir keseluruhan, kecuali sebagian kecil –seperti feminisme radikal—adalah menggunakan strategi mesogini, yakni perempuan menggunakan standar-standar dan ukuran laki-laki dalam melakukan persaingan, artinya dalam sejarah gerakan penyetaraan gender di dunia, perempuan susah keluar dari bayang-bayang laki-laki, tetap ukuran kesuksesan berkarya dan berkarir perempuan adalah laki-laki. Dalam kehidupan sosial politik pun selalu ada ketakutan dari perempuan yang mungkin trauma historis akan banyak hal dalam kehidupannya[12]. Tulisan dari Astrid anugerah pun kurang lebih memang masuk dalam lingkup keterjebakan pembahasan ini. Memang hal ini sangat problematik, sehingga menurut saya tulisan ini kekurangan ide yang genuine dalam konteks melawan arus tadi.
Kedua, tulisan Astrid Anugerah berbicara tentang representasi perempuan dalam politik, namun tulisan ini hanya melihat secara praktis bagaimana perempuan diberikan hak khusus (affirmative action) dalam memuluskan keterwakilan minimal 30% perempuan dalam lembaga-lembaga formal politik. Bagaimana juga affirmative action merambah pada upaya partai pada pendorongan pendidikan politik perempuan supaya ke depannya mampu memiliki kualifikasi seperti laki-laki. Pandangan ini jelas cacat konseptual dan menyederhanakan persoalan. Karena : (1) konsepsi 30% keterwakilan saja sudah cacat konseptual, karena megandung unsur diskriminasi dan justru bias gender. Hal ini secara bangunan filosofis tidak terjelaskan argumentasinya, (2), penulis hanya mendorong keterwakilan perempuan secara kulitnya saja, tidak membangun dan berusaha menjawab problematika perempuan di Indonesia yang sampai saat ini sulit terbahas, sehingga konsekuensinya yang penting perempuan maju dulu dan jadi, tidak mengkaji kemungkinan ke depannya tentang pemaksaan perempuan karena lemahnya kualitas, sehingga yang terjadi adalah apa yang Pitkin[13] sebut representasi simbolik saja, belum menyangkut substansi kaum perempuan dan kepentingannya yang sebenarnya. (3). Model affirmative action juga, bukan tanpa problematika, karena tidak gampang merubah secara cepat kultur perempuan yang sebagian besar apriori dengan politik praktis. Model ini bisa disamakan dengan penggenjotan ketaatan model santri yang harus bangun jam 3 pagi, untuk solat malam, padahal di sana banyak yang asalnya preman yang butuh penyesuaian secara pelan-pelan, tidak dengan drastis, sehingga tidak jarang banyak kebiasaan tersebut yang tidak mengakar, bahkan ketika santri itu pulang ke rumah tidur sepulasnya, tanpa melakukan kebiasaan di pesantren tadi. (4) Dalam konteks tersebut, penulis melimpahkan upaya besar pada partai untuk melakukan pendidikan politik perempuan, dalam konteks inilah yang tidak tereksplor bagaimana elit-elit politik partai saat ini yang sangat gila akan kekuasaan, dan jabatan, juga politik patronage yang begitu kuat dalam tradisi kehidupan kepartaian maka harapan tersebut perlu ditinjau ulang. Dalam konteks saat ini akan sangat sulit perempuan yang mampu menggeser laki-laki dalam konteks patronage elit, di mana kita tahu dalam birokrasi patrimonial sangat mengandalkan sumber daya material dan peluang politik dari kelompok elit kepada anggota atau elemen terpenting dari kelompok elit untuk mempertahankan posisi. Problematika ini tidak terkaji kuat dalam buku ini, sehingga betul yang oleh penulis katakan partai hanya formalitas saja mengajukan 30% keterwakilan, karena syarat sebagai badan hukum.
Penyadaran yang paling efektif adalah lewat sekat-sekat terkecil dalam masyarakat seperti keluarga dan kelompok-kelompok tertentu dalam melakukan pendidikan politik, bagaimana kedua kaum ini memiliki perspektif yang sama dalam konsep penyetaraan gender di seluruh lini kehidupan dan dalam konteks kajian ini adalah dalam bidang politik.

IV. Penutup
Sebagai karya ilmiah buku ini memiliki banyak manfaat yakni memberikan gambaran dan semangat akan perlunya keterlibatan perempuan dalam politik. Perempuan merupakan aktor utama yang akan menggawangi berbagai kepentingan dan kultur politik perempuan dalam ranah politik praktis. Semangat tersebut diwujudkan dengan pemikiran dan desakan argumentatif terhadap pihak yang terkait untuk mampu menyadari dan memperhatikan peluang emas dalam persoalan di atas.
Secara teoritis kajian ini memang masih perlu dikembangkan pada kajian problematika perwakilan perempuan dalam politik yang lebih mengakar pada problem yang sebenarnya, sejarah, kultur patriarki, kultur adat daerah, kultur patronase elit-patriarki, dan semua problematika yang mewarnainya. Sehingga kalau persoalan akar tersebut terkaji, bisa ada pengembangan keilmuan yang menjadi rujukan solusi dalam persoalan ini di Indonesia nantinya, tidak hanya sekedar taktis strategis yang formalistik belaka, namun juga menelusuri jejak-jejak vitalnya.

*) Tulisan ini awalnya merupakan tugas paper review buku mata kuliah Teori Politik, sengaja saya terbitkan supaya bermafaat di baca banyak orang.. 2 Juli 2010


[1] Internal ekslusif maksudnya orientasi perempuan setelah menikah lebih cenderung bercita-bcita jadi istri yang baik, mengurusi rumah tangga, anak, tanpa ada orientasi lebih seperti berkiprah dalam social-kemasyarakatan. Sedangakan eksternal-inklusif, maksudnya orientasi laki-laki yang biasanya lebih punya keinginan memiliki peran dan berguna di masyarakat.
[2] Sebenarnya terkait asal usul perwakilan seperti disebut di atas, ada yang disebut Demokrasi Mayoritarian dan Demokrasi Konsosiasional. Model mayoritarian diberlakukan di hampir keseluruhan negara dunia. Model ini berasumsi masyarakat plural dan beragam, sehingga harus mampu terepresentasi, maka dibentuklah partai, yang menang dalam persaingan mengelola kebijakan dengan mutlak (the winner take all). Model ini pada banyak kasus melahirkan Tirani Mayoritas. Model Konsosiasional merupakan respon terhadap model mayoritarian yang cenderung tidak ‘merangkul’ golongan-golongan lainnya. Diaplikasikan di negara seperti Australia dan Swedia. Menurutnya ada jumlah-jumlah dan perwakilan-perwakilan dalam anggota parlemen sesuai dengan sosio-kultural negara tersebut (representasi berdasarkan proporsi), Pemilu adalah cara menetapkan representasi proporsi. Kalah atau tidaknya partai tertentu tetap akan terepresentasi, walau proporsinya beda dengan yang menang, Kritik terhadap model ini melahirkan Tirani Minoritas, hal ini terjadi keterwakilan ternyata tidak menyangkut keseluruhan dari semua konteks sosial-politik yang ada.
[3]Hampir semua institusi bergengsi di AS, Inggris, dan Australia dikuasai laki-laki dan kurang memperhatikan perempuan. Di Inggris jumlah laki-laki 10 kali lebih banyak di House of Common, di Australia juga sama. Dalam Parlemen Eropa lima kali lebih banyak, di Amerika hamper 98 persen senat dikuasai laki-laki. Sedangkan di bidang bisnis besar, karir dan hukum kesempatan laki-laki 97% dan kesempatan diliput pers 76% berbanding 24% (Naomi Wolf;22).
[4] Tidak melihat salah satu dari laki-laki atau perempuan yang memiliki peran dan hak lebih besar dalam peran-peran social kemasyarakatan. Tetapi keduanya sesuatu yang saling melengkapi dan membutuhkan, tidak ada pendiskriminasian terhadap salah satunya.
[5] Lihat kisah dan analisisnya Naomi Wolf tentang Pusat Gempa Politik dalam Bukunya Fire With Fire : The New Female Power and How to Use It, Oxford University, 1993, hal.3-10
[6] Lihat dalam Ibid, hal 8-9.
[7] Lihat dalam Andrew Heywood, Politics : Second Edition, Palgrave, hal. 224-229
[8] Lihat dalam WF. Wertheim, Elite dan Massa, Resist Book, Yogyakarta, 2009, hal.61-65. Wertheim adalah ilmuwan Belanda yang pernah di penjara masa penjajahan Jepang, yang lekat dengan kehidupan pedalaman dan rakyat miskin di Indonesia, tidaklah aneh banyak tulisannya tentang Indonesia yang memberikan perhatian khusus ada kalangan massa tersebut lewat Sosiologi Ketidaktahuan.
[9] Penjelasan ini diadopsi dari penjelasan DR. Aris Arif Mundayat dalam Perkuliahan Kajian Kekuasaan, Konflik dan Demokrasi, Pascasarjana Ilmu Politik UGM.
[10] Power of palusentrik maksudnya adalah kekuatan yang dimiliki perempuan adalah seluruh tubuhnya semua memiliki potensi kekuatan yang mampu melumphkan laki-laki.
[11] Siklus ini terus-menerus terjadi semisal dalam kisah Odipus Crisis, dari mulai si anak yang kagum pada ibu, karena kehebatannya mengurusi dia dan segala macam kebutuhan rumah tangga namun setelah mengetahui ada sang ayah yang jauh lebih hebat, karena bisa berperan banyak tidak sekedar di rumah, tetapi juga di lingkungan sosialnya, maka ia beralih bahwa yang hebat adalah ayah.
[12] Lihat Fatima Mernisi, tentang kesia-siaan, keserba-salahan dan ketakutan kaum perempuan dalam nuansa patriarki, Islam and Democracy : Fear of Modern World, Washington, 1992.
[13] Lihat Hannah Pitkin, Politics of Representation, Bab I, di mana Pitkin membagi representasi dalam representasi simbolik, deskriptif dan substantif. Lihat juga dalam Anne Phillips, Politics of Presence, Bab I, yang kurang lebih melihat banyaknya perwakilan yang dilakukan belum menyangkut substansi kepentingan, tetapi pada formalism saja. Karena banyaknya para wakil yang tidak mengerti apa-apa. Hal ini mungkin semisal trustee Model kalau dalam teorinya Heywood seperti yang dijelaskan di atas.

0 komentar:

Post a Comment