Media dan Cendekiawan……. (Rekaman Ngobrol-ngobrol di PAU dibawah Bimbingan Pak Gafar Karim)

Opini publik terbentuk salah satunya oleh media massa, dimana pengaruhnya sangat besar sekali. Misalnya konteks di Indonesia sedang ada perseteruan antara “cicak” dan “buaya” untuk menggambarkan perseteruan antara KPK dan Polri. Dalam kasus ini bagaimana peranan media sangat vital dalam pembuatan opini publik. Pertama, dalam kasus ini media menggiring opini publik dalam upaya mengangkat KPK dan mendeskriditkan Polri, sehinggga dibuatlah istilah ‘cicak-buaya’ untuk menggambarkan ketidakseimbangan konflik di dua institusi tersebut, dan opininya ‘cicak’ harus dibantu masyarakat, maka terbentuklah opini publik itu walaupun masih terus bergulir isunya. Kedua, dalam kasus ini media membentuk opini masyarakat pada realitas yang terkadang ‘tidak rasional’ dan tidak berdasar data kuat, karena penegakkan hukumnya masih abu-abu, mana yang bersalah mana yang tidak, belum lagi tarikan political interest yang menggunakan kasus ini sebagai ‘bola salju’. Selain kasus di atas juga kasus semisal Abu Bakar Baasyir yang luar biasa dicerca di publik Australia walaupun pengadilan Indonesia membebaskannya, selain itu juga publik Australia justru berkesimpulan tidak bersalah pada kasus Corby walaupun pengadilan Indonesia memutusnya bersalah sebagai pemakai narkoba. Keseluruhan ini membuktikan bahwa peran media massa dalam opini publik di sebuah negara begitu kuat. 

Menurut Rod Haque dan Martin Harrop[1] ada 5 aspek yang menjadi model terkenal dalam proses komunikasi, yaitu : sender (pemberi pesan), channel (saluran, media), message (pesan yang disampaikan), receiver (penerima pesan), dan impact (dampak dari pesan tersebut). Model ini merupakan model konvensional yang juga biasa digunakan dalam proses komunikasi politik. Misalnya yang menjadi sender adalah aparat negara, media massa dan lainnya, messagenya berupa isu-isu politik tertentu atau citra mereka, channelnya media, biasanya banyak sekali tergantung efektifitas dan kreativitas, receivernya masyarakat dan impact adalah opini atau tindakan politik tertentu. Dalam model ini kenyataannya peran tidak harus seperti di atas, satu peran bisa berganti, tergantung potensi dan arena politiknya. 

Terkait dengan cendekiawan, di Indonesia secara historis tidak ada gerakan intelektual yang tidak memakai media, baik ketika revolusi, pasca revolusi sampai pembredelan terhadap media-media yang dinilai kritis oleh rezim. Hal ini membuktikan cendekiawan menggunakan media sebagai alat gerakan mereka. Daniel Dhakidae[2] mengungkapkan bahwa sangat multi interpretatifnya konsep cendekiawan. Di sisi lain ada yang menekankan pada konsep intelektual yang membumi (Gramsci dengan organic-intelectuals, Syari’ati dengan rausyanfikr), tapi di sisi lain juga intelektual harus di wilayah yang bebas dari nafsu kedudukan sosial-politik yang memungkinkan intelektual terbawa arus seperti menurut Julien Benda tentang La Trahison des Clerck. Menurutnya inteketual merupakan ‘penjaga moral’ dan tidak boleh memasuki dunia riil yang membahayakan prinsip intelektualitas. Di sisi lain juga seorang yang mengaku neo-Hegelian Alvin Gouldner mengharuskan intelektual terjun dalam ranah riil untuk mengimplementasiakn ilmunya, yang nantinya lambat laun kaum-kaum ilmuwan ini akan menjadi kelas tersendiri dari basis keilmuan dan aplikasinya..



[1]Dalam Comparative Government and Politics ; Political Communications, hal 95-96
[2]Dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru : Cendekiawan sebagai Manusia Tapal Batas dalam Bingkai Modal, Kekuasaan dan Budaya Wacana Kritis, studi hal. 1-66

1 komentar: