Review Artikel Jurnal

Civil Society : Pembangun sekaligus Perusak Demokrasi karya Bob Sugeng Hadiwijaya,

Jurnal JISP UGM Vol.9, No.1, Juli 2005 (1-22) ISSN 1410-4946

Oleh : Subhan Agung

Dalam artikel ini, penulis berusaha menyampaikan bahwa sudah saatnya konsep civil society ini tidak dipahami sebagai sesuatu yang sakral dan satu-satunya tawaran rasional dalam demokratisasi di negara-negara dunia modern saat ini termasuk Indonesia. Pemahaman sakral terhadap civil society yang dianggap mampu mendiagnosis, sekaligus menyembuhkan berbagai penyakit demokrasi melalui kontrol masyarakat sipil terhadap negara, ternyata di sisi lain justru bisa merusak demokratisasi itu sendiri.
Para ilmuwan yang concern dengan wacana civil society dengan serta merta banyak yang tercengang, karena fakta sosial membuktikan banyak elemen civil society yang justru merusak tatanan demokrasi. Penulis memberikan gambaran yang terjadi di sebagian Afrika, Eropa Timur, Sebagian Asia (India, Thailand, Filipina dan Indonesia) di mana elemen yang disebut civil society-sebagaimana yang disebut Robert D. Putnam ternyata juga berperan sebagai kelompok ektrimis, milisi dan preman dalam proses politik, melakukan pemerasan terhadap penduduk, penguasaan areal pertambangan, keterlibatan kelompok ektrim keagamaan dalam berbagai aksi teror di empat negara yang disebut terakhir, sehingga memaksa pemerintahan demokratis membuat undang-undang yang membolehkan aparat keamanan melebihi proporsinya.
Di Indonesia sendiri fakta tidak terkontrolnya aktivitas civil society sudah mulai marak sejak masih berkuasanya Rezim Soeharto. Berbagai kerusuhan yang melibatkan isu SARA marak sekali terjadi, dari mulai kasus Sampit, Kerusuhan Poso, Situbondo, Tasikmalaya dan masih banyak lainnya. Selain itu juga pemaksaan ideologis yang banyak memancing kerusuhan dan anarkhisme sering terjadi semisal gerakan HTI, FPI, belum lagi bicara gerakan sosial-politik yang tidak jarang menimbulkan anarkhisme politik yang banyak memakan korban jiwa dan materi.
Dari cukup tersedianya fakta di atas, para ilmuwan Barat—khususnya penganut aliran Liberalisme, yang juga penggagas civil society—diawal-awal maraknya konsep civil society sudah membuat batasan konsep civil society, yang harus mengemban 4 macam nilai seperti yang penulis kutip dari P. Schmitter yakni otonomi, aksi kolektif, tidak berpretensi memperebutkan kekuasaan dan tunduk pada hukum. Batasan ini ditambahkan juga oleh ilmuwan lain Laurence Whitehead yang menyatakan bahwa berbagai bentuk kelompok religius fundamental ektrim tidak bisa disebut civil society. Batasan ini menurut penulis yang mengambil referensi dari Petr Copecky tidak konsisten. Sebagai contoh kelompok nasionalis Slovakia di tahun 1990-1992 dianggap sebagai kelompok uncivil, tapi di tahun 1989 kelompok ini bahkan disebut pahlawan civil society karena ikut meruntuhkan Komunisme.

Menimbang Isi Tulisan
Menurut saya tulisan Bob Sugeng ini menarik untuk dikaji dan cenderung analisis yang tajam terhadap realitas. Memang sepertinya kemungkinan lebih buruk ke depannya jika konsep civil society ini tidak dijadikan sebagai wacana yang netral, dikarenakan bisa memiliki dua wajah : baik dan buruk terhadap demokratisasi. Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini menarik untuk kaji dan dikembangkan lebih lanjut ; pertama, walaupun bukanlah wacana yang baru, tapi tulisan ini ingin membawa kita dan ilmuwan di Indonesia tidak terpaku pada pemahaman civil society yang dipahami umum di negara-negara Liberal, nota bene negara-negara maju yang demokratisasi dan sosio-politiknya sudah stabil. Di mana civil society memang lebih banyak memberikan kontribusi besar dalam menciptakan public- sphere yang kondusif, kontrol terhadap negara, kswadayaan, kesamaan di depan hukum dan mentaatinya. Untuk contoh ini bisa disebut negara semisal Inggris, Amerika dan Prancis. Namun fakta berbicara lain, civil society sepertinya banyak menemui kerancuan jika didudukan dalam konteks ke-Indonesiaan dan sekitarnya yang memilki sosio-kultural sama, kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai agen civil society cenderung banyak melakukan kegiatan/gerakan yang justru melemahkan demokrasi. Fakta yang diurai penulis cukup kuat untuk mengklaim hal ini.
Kedua, penulis berani keluar dari batasan konsepsi civil society yang banyak dianut di Barat yang lebih meletakkan civil society sebagai harga mati bagi terbentuknya tatanan saling menguntungkan antara negara dan masyarakatnya. Seperti ilmuwan Adam Ferguson, Tom Paine, Johann Forster di paruh Abad ke-18. Para pemikir ini dikenal sebagai pemikir yang mulai memisahkan konsep negara dengan civil society, yang sebelumnya saat Cicero menggunakan societies civilis dalam konsep politiknya sampai abad ke-18 para pemikir cenderung menyamakan konsep negara dan civil society sebagai padanan[1]. Dari konsepsi para pemikir tersebut civil society berkembang menjadi satu konsep dalam membentuk negara yang stabil, menjungjung tinggi hukum, kswasembadaan, aksi kolektif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Pemikiran penulis ini justru berbalikan dengan pemikir-pemikir di atas, karena berpendapat bahwa civil society kalau dipahami sebagai an sich entitas yang menjunjung tinggi hukum negara, akan cenderung tidak konsisten, dikarenakan rakyat yang terorganisir memiliki tujuan dan ambisi tersendiri yang mungkin saja tidak tercover oleh negara, sehingga pada suatu saat dimungkinkan melakukan gerakan yang cenderung melawan hukum menurut rezim yang berkuasa. Fakta politik yang dikedepankan semisal kasus di Slovakia seperti disebut di atas cukup membuktikan hal ini.
Ketiga, memberikan masukan berarti baik bagi negara, pemikir, dan kalangan lainnya yang concern dengan civil society, bahwa betapa masih lemahnya elemen civil society di Indonesia, baik yang terorganisir sistematis, maupun yang tidak, bahwa PR bangsa Indonesia masih banyak. Ketika bicara civil society, kita dihadapkan pada konsolidasi di tingkatan elemen civil society sendiri yang masih lemah. Berbicara tentang hal itu mudah tetapi dalam prakteknya sulit, sebab sosio-kultural Indonesia sangat kompleks dan akan membutuhkan waktu dan upaya yang serius dari seluruh elemen bangsa ini.
Selain kelebihan-kelebihan di atas, menurut saya ada beberapa kelemahan tulisan ini yakni : pertama, tidak secara sistematis mengurai gelombang civil society di dunia dari mulai Aristoteles, Cicero di masa klasik, kemudian Adam Ferguson, Johann Forster, Tom Hodgkins, Emanuel Sieyes, Tom Paine dan lainnya pasca Pencerahan, belum pemikir Hegel, Marx, Gramsci maupun Tocqueville, Vaclav Havel dan lainnya menyebabkan konsepsi civil society terputus (ahistoris). Menafsirkan civil society berdasarkan pemahaman dan fakta sosial politik konteksnya adalah wajar, namun kita harus memahami bahwa civil society adalah sebuah konsep yang kita ‘pinjam’ dari Barat. Jadi kalau penulis memulai analisisnya dengan mengurai civil society di konteksnya masing-masing akan lebih menarik dan tidak ambigu. Ketika membaca artikel ini kita akan disuguhi analisis sesuatu yang sudah terbentuk secara taken for granted yang sepertinya terputus dari centrum konsepsi civil society itu sendiri yakni Barat.
Kedua, ada persoalan yang juga besar yang kurang tereksplor dibalik elemen civil society selain yang dieksplor, semisal gerakan mahasiswa, LSM, pers, cendekiawan dan lainnya. Jangankan kelompok civil society yang berpotensi anarkhis dan premanisme, persoalan lemahnya kualitas gerakan mahasiswa juga perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut, belum juga independensi LSM sebagai NGO di Indonesia yang benar-benar bekerja atas dasar memperbaiki public sphere di bidangnya ataukah hanya mendapatkan uang un sich dari kerja sosial masih harus dijawab dengan riset-riset yang memadai, juga persoalan pers Indonesia yang masih harus dipertanyakan keberpihakannya pada rakyat yang tertindas dan mendukung kebijakan pemerintah yang populis atas dasar rakyat?. Itu semua PR kita sebagai ilmuwan yang harus menjawabnya dan semua itu berpotensi pada pengrusakan demokrasi di Indonesia jika tidak diperbaiki?.
Penulis Bob Sugeng sebenarnya bermaksud ingin menetralkan wacana dan konsepsi civil society yang selama ini cenderung terbelenggu konsepsi civil society pemikir liberal yang menjadikan civil society sebagai tawaran paling rasional dalam percepatan demokrasi di dunia. Namun tulisan ini justru berpotensi pada kecenderungan keterjebakan menganggap civil societylah yang menentukan negara. Analisis yang dikemukakan penulis dimaksudkan mengambangkan (floting) konsep civil society, tetapi argument dan fakta yan diungkapkan seolah-olah negara tidak bisa berbuat apa-apa dengan berbagai gejala yang ada, padahal Negara mempunya kekuasaan untuk menghentikannya tanpa kekerasan?.
Penafsiran saya seperti ini seperti yang sedikit diulas diawal, dikarenakan perkembangan gelombang civil society di dunia mengalami beberapa fase. Fase tersebut dari mulai fase munculnya civil society yang akar-akarnya dapat ditelusri sejak zaman Romawi ada yang disebut konsep civic virtue, kemudian Cicero menggunakan societas civilis untuk menyebut negara, bahkan ketika JJ. Rousseau menggunakan istilah societies civile, ia memahaminya sebagai negara yang menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan rakyatnya.
Gelombang selanjutnya civil society dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari negara, hal ini disebabkan mulai menguatnya negara dan banyaknya dominasi negara atas rakyat, sehingga cenderung berkembang pemahaman keduanya sering dipertentangkan (vis a vis), walaupun saat itu belum terlalu gencar. Hal ini dilacak dari salah satunya ilmuwan Adam Fergusson dalam bukunya An Essay on the history of civil society yang memahami civil society sebagai alternatif penting dalam menyeimbangkan dominasi negara. Gelombang penguatan negara atas civil society dipahami GWF. Hegel yang diperkuat Marx lewat civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol, civil society justru memerlukan seperangkat aturan serta pembatasan-pembatasan lewat kotrol hukum, administratif dan politik oleh negara supaya tidak menimbulkan anarkisme. Pemahaman seperti ini sekonyong-konyong menimbulkan reaksi keras dari pemikir kontemporer semisal Alexis De Tocqueville yang menempatkan unsur kemandirian dan pluralitas dan tanpa ada pembatasan dari Negara[2], karena pada hakikatnya negara merupakan organ yang asal muasalnya dari rakyat. Pemahaman yang semisal ini kemudian saat ini marak dan cenderung menempatkan civil society sebebas-bebasnya dan sebagai kajian netral tidak seperti dipahami Hegel yang terikat oleh sejumlah aturan. Kedua aliran ini pada kenyataannya terus berkembang sebagai kubu bahkan sampai zaman modern saat ini. Aliran Hegelian juga cenderung dilanjutkan lewat pemikirannya Philippe Scimitter (1995), Laurence Whitehead (2004) dan lainnya. Sedangkan Aliran Tocquevellian cenderung terepresentasi dalam Neera Chandoke (2003), Gurpreet Mahajan (2003) yang dikutip oleh penulis artikel ini. Jadi menurut saya analisis penulis ini juga lebih cenderung ke model Tocquevellian, yang menurut saya pemikiran model Tocquevellian ini juga ada banyak persoalan dan cenderung terlalu membesar-besarkan wilayah grace-root, tanpa melihat porsi dan peranan negara yang sesungguhnya.
Sebenarnya selain dua main-stream gelombang civil society juga ada model yang dikembangkan Gramsci, yang melihat civil society sebagai elemen yang terletak antara negara dan pasar, elemen yang bukan negara dan non profit sehingga civil society di negara-negara Dunia Ketiga cenderung direpresentasi oleh NGO semisal LSM di Indonesia, padahal kalau kita cermati elemen civil society juga bisa terbentuk juga oleh negara semisal ICMI dan Komnas HAM di Indonesia. Jelas pemahaman yang dikonsepkan Gramsci untuk konteks ke-Indonesiaan mengalami kemandulan konseptual[3].

Saran
Diluar tinjauan yang sudah saya tulis di atas, analisis Bob Sugeng ini baik sebagai bahan pemahaman alternatif di wilayah dunia ketiga tentang civil society, yang secara sosio-kultural berbeda jauh dengan Barat. Saran saya akan lebih baik jika di awal tulisan ini mengulas tuntas tentang gelombang dan dinamika dari wacana civil society di dunia, sehingga tidak terkesan mengambang pembahasan konsepsi civil societynya dan cenderung akan terlihat orisinalitas penafsiran civil society yang dihadapkan pada konteks negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Mengenai kecenderungan pemihakan Bob Sugeng pada konsepsi model Tocquevellian adalah sangat wajar, bahkan rasional untuk konteks ke-Indonesiaan yang demokratisasinya cenderung baru. Terima kasih.



[1] Lihat tulisannya AS Hikam (1996:1-2) dalam Demokrasi dan Civil Society
[2] Masih dalam AS Hikam (1996:1).
[3] Lihat opini Phillip Jusario Vermonte dalam Pikiran Rakyat (Edisi 26 Maret 2002) tentang Globalisasi dan Wacana Global Civil Society.

0 komentar:

Post a Comment