Pembedaan Ras & Etnisitas dan Teori Sosiologi

Oleh : Cahyo Pamungkas



Bertolak dari paparan Fanon “Concerning Violence” dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut. Pendekatan yang digunakan Fanon adalah mengungkapkan pengalaman subjektif manusia pada masa kolonisasi dan dekolonisasi yang antara lain mencakup: (1) Bagaimana kolonialisasi dan dekolonisasi dapat disebut sebagai fenomena kekerasan (2) bagaimana kaum penjajah mengkonstruksi identitas kaum pribumi dan dirinya sendiri, dan bagaimana kaum pribumi mengkonstruksi identitas sang penjajah dan dirinya sendiri, (3) bagaimana relasi sosial antara kaum penjajah dan pribumi; dan relasi antara intelektual pribumi/borjuasi nasional dengan pemerintah/borjuasi kolonial; (4) bagaimana kekerasan ditransformasikan dari kaum penjajah terhadap kaum yang dijajah dan dari ke level masyarakat ke individu.

Fanon menyebutkan bahwa istilah-istilah yang melekat pada dekolonisasi seperti pembebasan nasional, kebangkitan nasional, nasionalisme, dan commonwealth merupakan fenomena kekerasan. Dekolonisasi dikatakan sebagai penggantian jenis spesies manusia yang satu dengan spesies manusia lainnya tanpa disertai dengan transformasi sifat dari kolonialisasi yang eksploitatif. Misalnya Istilah-istilah tersebut dianggap mengandung unsur kekerasan karena dikonstruksi oleh elit borjuasi kolonial yang memiliki kepentingannya sendiri daripada kepentingan untuk membebaskan masyarakat pribumi yang terjajah. Dekolonisasi merupakan kelanjutan dari kolonialisasi tanpa disertai oleh transisi. Kolonialisasi dan dekolonialisasi adalah pertemuan antara dua kekuatan dalam sejarah yang ditandai dengan kekerasan, dominasi, dan eksploitasi seperti ditunjukkan dalam kalimat: “The last shall be first and the first last.”

Dalam dunia kolonial, kaum penjajah selalu memegang monopoli kebenaran atas pengetahuan dan masyarakat pribumi. Bahkan, kaum penjajah menentukan definisi, identitas, dan keberadaan kaum pribumi sehingga orang-orang pribumi dapat berfungsi menjaga kelangsungan proses kolonialisasi itu sendiri. Dunia kolonial merupakan dunia yang dapat dibagi menjadi dua, garis-garis yang membatasinya ditunjukkan oleh tentara dan Polisi. Mereka adalah pelaksana dan juru bicara masyarakat pendatang dan kekuasaannya yang menindas dan berbicara dengan masyarakat pribumi dengan bahasa kekerasan.

Makna dan simbol masyarakat pribumi yang dikonstruksi oleh sang penjajah juga mengandung unsur kekerasan. Misalnya, tempat tinggal kaum pribumi selalu digambarkan buruk dan pusat orang-orang jahat. Sedangkan kota-kota yang ditempati kaum penjajah digambarkan sebagai sesuatu yang sangat baik dimana orang-orang terjajah akan merasa iri melihatnya. Tantangan orang-orang pribumi adalah bukan konfrontasi pandangan secara rasional karena dunia kolonial adalah sebuah “Manichean world.” Para pendatang tidak hanya membuat batas fisik yang dijaga oleh Polisi, namun mengkonstruksi makna dan simbol-simbol bahwa orang-orang pribumi adalah: personifikasi dari kejahatan, kekurangan nilai, tidak memiliki etika. Fanon berpendapat bahwa untuk menghancurkan dunia kolonial tidak berarti dilakukan dengan menghapus batas-batas tersebut dan membuat garis-garis komunikasi baru antara dua daerah tersebut, namun dengan penghapusan salah satu zona tersebut.

Sementara itu, intelektual pribumi yang mengikuti kaum penjajah akan memperjuangkan agar kaum penjajah dapat hidup berdampingan secara damai dengan kaum pribumi dalam sebuah dunia baru. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari dunia kolonial dan sang penjajah tidak memiliki keinginan untuk hidup saling berdampingan. Kaum penjajah mengetahui bahwa tidak ada bahasa yang dapat menggantikan realitas sehingga orang-orang pribumi dapat menemukan identitasnya. Namun pada akhirnya, dekolonisasi menyadarkan warna kulit pendatang adalah bukan nilai lebih dari warna kulit pribumi. Dekolonisasi menyatukan orang-orang untuk mengubur heterogenitas dan menyatukannya berdasarkan atas basis kebangsaan atau ras. Masyarakat pribumi berpandangan bahwa kedatangan dekolonisasi dilihat dari tuntutan minimalnya apakah yang terakhir menjadi yang pertama. Pada negara-negara kolonial dimana perjuangan kemerdekaan dilaksanakan melalui kekerasan, suprastruktur yang dibangun kolonial dihapuskan oleh intelektual pribumi. Selama perjuangan kemerdekaan tersebut, intelektual pribumi bersentuhan dengan masyarakat sehingga konstruksi identitas dan nilai-nilai kolonial menjadi tidak bermakna.

Untuk berperan dalam budaya kaum penjajah, masyarakat pribumi harus mengorbankan kepemilikan-kepemilikan intelektualnya. Upaya-upaya ini termasuk pengadopsian pikiran-pikiran borjuis seperti digambarkan dalam pemikiran bersisi dua dari intekelektual pribumi. Bahaya yang muncul adalah dia dapat menjadi the mouthpiece of the massess atau menjadi sejenis yes man. Masyarakat pribumi yang menderita tidak meletakkan klaim kepada kebenaran, mereka tidak mengatakan bahwa mereka mewakili kebenaran karena mereka adalah kebenaran itu sendiri. Penemuan kebenaran yang mendorong jatuhnya rejim kolonial, akan memunculkan sebuah bangsa dan melindungi seluruh kaum pribumi. Pada konteks kolonialis, tidak ada perilaku yang benar bagi kaum pribumi, yang baik bagi mereka adalah jahat bagi mereka menurut pandangan sang penjajah. Kaum pendatang membuat sejarah hidupnya seperti dalam epos Odysee: “this land was created by us, if we leave, all is lost, and the country will go back into the Middle Ages.” Karena merujuk pada sejarah negara induknya, sang penjajah menunjukkan dirinya sebagai kepanjangan dari negara induknya, dan sejarah yang ditulisnya bukan sejarah negeri baru tersebut namun sejarah bangsanya. Perdamaian yang dikehendaki kaum pribumi dapat diwujudkan ketika kaum pribumi mengakiri sejarah kolonialisasi.

Orang-orang terjajah pertama kali akan mewujudkan keagresifannya yang telah disimpannya melawan kaumnya sendiri. Ketika kaum pribumi dihadapkan pada aturan kolonial, mereka akan berada dalam situasi ketegangan yang bersifat permanen dimana dunia pendatang adalah sebuah dunia permusuhan yang menolak kaum pribumi namun pada saat yang sama adalah sebuah dimana mereka (pribumi) cemburu. Kaum pribumi tidak pernah berhenti bermimpi untuk menggantikan posisi pendatang. Dihadapkan pada dunia yang diatur pendatang, pribumi selalu dianggap bersalah dan diperlakukan sebagai inferior. Hubungan antara pendatang dan pribumi adalah “a mass relationship, the settlers pits brute force againts the weight of numbers.” Pendatang menghidupkan kaum pribumi sebuah kemarahan yang berasal dari kolonialisasi dan kaum pribumi terjebak dalam ikatan yang kuat dari rantai kolonialisasi.

Elit partai politik nasional yang merupakan representasi borjuasi nasional bersama intelektual pribumi merupakan kekuatan-kekuatan baru pada masa kolonial yang menggerakan proses dekolonisasi dan berpotensi menciptakan tujuan-tujuan kekerasan dari masyarakat terjajah. Seluruh tindakan dari partai politik nasional ini memusatkan perhatian pada the right of self-determination and human dignity dan tidak pernah mendasarkan perjuangannya pada kekerasan fisik. Pada momen yang menentukan, borjuasi kolonial mengenalkan gagasan non-kekerasan untuk meyakinkan elit intelektual pribumi dan partai politik nasional bahwa borjuasi kolonial memiliki kepentingan yang sama dengan mereka. Gagasan tentang kompromi adalah penting dalam fenomena dekolonisasi. Kompromi antara borjuasi nasional/intelektual pribumi dengan penguasa kolonial mendorong borjuasi nasional menutupi potensi gerakan massa sehingga mereka cenderung menjaga jarak dengan kekerasan.

Dewasa ini, kapitalisme merubah konsepsinya menjadi bahwa daerah jajahan adalah pasar dimana penduduk daerah jajahan adalah konsumen yang siap membeli produk. Kelompok monopolistik dalam borjuasi kolonial tidak mendukung kebijakan pemerintah yang menggunakan kekerasan dan mengharapkan pemerintah kolonial tidak menghancurkan penduduk pribumi namun menjaganya untuk kepentingan ekonomi. Terjadi pemisahan partisipasi antara kapitalisme dengan violent forces di daerah jajahan, namun semuanya merupakan kompetisi yang tidak berperikemanusiaan antarkelompok finansial.

Batas-batas antara sang penjajah dan yang dijajah tetap terbuka pada gagasan-gagasan baru dari dunia luar. Ketika kaum pribumi menemukan atmosfir kekerasan, mereka akan berusaha menghancurkan dunia kolonial seperti terjadi ketika Tentara Viet Cong merebut Dhien Bien Phu pada Juli 1954. Namun pertanyaan yang sulit dijawab adalah apa yang harus dilakukan di atas puing-puing kekerasan, penekanan mereka adalah bagaimanakah menggunakan kekuatan untuk menciptakan kekerasan. Pengalaman subjektif tentang kekerasan juga dialami oleh sang penjajah dan mendorong mereka untuk mengarahkan gerakan pembebasan pada tujuan yang benar yaitu melucuti senjata mereka melalui dekolonisasi. Misalnya Perancis mendekolonisasi Congo sebelum berubah menjadi Algeria yang lain. Merespon strategi kekerasan kaum terjajah, sang penjajah memunculkan strategy of encirclement berdasarkan atas penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara.

Transformasi kekerasan dari sang penjajah kepada kaum yang dijajah berawal dari represi yang menciptakan kesadaran nasional baru bahwa persoalan antara sang penjajah dengan yang dijajah dapat diselesaikan melalui kekerasan. Namun, seringkali tindakan kekerasan dari kaum terjajah ini disebabkan karena pemerintah Kolonial menahan pemimpin-pemimpin mereka. Sebagai implikasinya, kolonialisme menyambut baik elit-elit borjuasi nasional yang bersedia menjadi juru bicara kolonial, bahkan memberikan mereka kemerdekaan melalui dekolonisasi. Menurut massa yang terjajah, pembebasan hanya dapat dicapai melalui kekerasan. Hal ini disebabkan oleh karena kekerasan dapat menjadi slogan dari partai politik dan ras-ras yang terjajah memahami bahwa tindakan kekerasan dapat membebaskan mereka dari penindasan kolonial. Namun pada tahapan selanjutnya, massa menyadari setelah beberapa tahun merdeka bahwa perjuangan mereka tidak dapat menciptakan perubahan.

Kekerasan yang digunakan pada masa perjuangan kemerdekaan tidak hilang pada masa kemerdekaan karena rekonstruksi bangsa dilakukan dalam kerangka perang dingin antara kapitalisme dan sosialisme. Partai-partai oposisi segera meninggalkan jalan parlemen membentuk persekutuan politik baru dan meneruskan tradisi kekerasan untuk melakukan dominasi nasional. Diperkuat oleh dukungan dari negara-negara Sosialis, kaum terjajah melawan benteng kolonialisme. Kapitalisme menyadari bahwa strategi militer telah membuat pecahnya perang pembebasan nasional sehingga dalam kerangka hidup berdampingan secara damai, semua daerah jajahan ditentukan untuk didekolonisasikan.

Perjuangan bersenjata bangsa terjajah menunjukkan bahwa masyarakat ditentukan untuk hanya mempercayai penggunaan metode kekerasan. Mereka yang tidak pernah berhenti menggunakan bahasa kekerasan memutuskan untuk memberikan pendapat dengan kekuatan. Hal ini dicontoh dari perilaku sang penjajah yang juga menggunakan kekuatan dalam relasi kolonialisme. Bagi masyarakat yang terjajah, kekerasan menggambarkan garis tindakan yang absolut dan mereka yang melakukan kekerasan adalah orang-orang yang bekerja untuk sesuatu. Orang-orang terjajah mendapatkan kemerdekaannya dengan dan melalui kekerasaan. The Rule of conduct enlights the agent because it indicates to him the means and the end. Kekerasan yang dilakukan oleh rejim kolonial dan kontra-kekerasan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terjajah terjadi dalam homogenitas hubungan timbal-balik yang luar biasa. Perkembangan kekerasan oleh kaum terjajah akan proporsional dengan penggunaan kekerasan oleh rejim kolonial.

Mobilisasi masa yang muncul dalam perang pembebasan memperkenalkan masing-masing individu ide-ide: a national cause, a national destiny, and a collective history. Pada massa kolonial, massa dipanggil untuk berjuang melawan penindasan. Namun sesudah kemerdekaan, massa dipanggil untuk perang melawan kemiskinan, ketertinggalan, dan kebodohan. Pembentukan bangsa diikat oleh perasaan emosional dan perlawanan terhadap dunia kolonial. Perjuangan sedang dan akan terus berlanjut dimana masyarakat pribumi memaknai bahwa kehidupan adalah pertunjukan yang tidak ada akhirnya. Pada level individual masyarakat yang dijajah, kekerasan adalah kekuatan pembersih dari inferioritasnya yang kompleks dan keputusasaannya, membuat mereka berani dan memiliki harga diri. Dengan demikian, diterangi oleh metoda kekerasan, masyarakat pribumi melawan bentuk-bentuk pasifikasi.


Tinjauan Teoritik

Frantz Fanon dalam Wretched of the Earth (1963) menjelaskan tentang pengalaman subjektif dan dampak dari kolonialisme dan dekolonisasi. Kritik Fanon terhadap kolonialisme juga mencakup kritik terhadap kolonialisasi pada masa lalu sampai kolonialisasi modern yang semuanya ditandai oleh relasi dominasi, eksploitasi, dan kekerasan. Dalam paparan tersebut, Fanon secara implisit menerangkan bahwa pendefinisian ras dan etnisitas selalu merupakan hasil dari proses sejarah dan konstruksi politik di samping permasalahan kebudayaan. Melalui sejarah kolonialisasi, sang penjajah melakukan konstruksi secara subjektif terhadap identitas kaum pribumi yang dijajah dan dirinya sendiri. Pada sisi lain, melalui proses sejarah pula, kaum pribumi yang dijajah berusaha untuk memahami dan mengikuti simbol-simbol dan identitas yang dikonstruksi sang penjajah. Bahkan pada tingkatan tertentu, mereka juga memiliki keinginan untuk menirukan dan mengganti kedudukan sang penjajah.

Pendapat Fanon ini merupakan kritik terhadap pendekatan kultural-biologis dalam teori-teori ras dan etnisitas yang menyebutkan bahwa perbedaan warna kulit dan etnik adalah bersifat alamiah dan terkait dengan faktor-faktor yang askriptif. Perspektif yang dibangun Fanon mengenai ras dan etnisitas juga bertentangan dengan definisi Weber mengenai etnisitas. Horowitz (2003) mengatakan bahwa ras dan etnisitas menurut Weber terkait dengan kesadaran subjektif tentang persamaan nenek moyang yang dilandasi oleh persamaan ciri-ciri fisik dan tradisi dan memori pada masa kolonial atau migrasi, yang tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan darah. Dengan perspektif Weber tersebut, Horrowitz (2003) mendefinisikan bahwa konflik ras terjadi pada struktur hubungan antaretnik dimana segregasi etnik berhimpitan dengan segregasi kelas.

Perbedaan warna kulit dan etnik tidak lah menjadi persoalan ketika tidak ada konteks sosial yang menjadi latar belakang dari perbedaan itu. Sejarah kolonialisasi telah menjadikan konteks bahwa perbedaan antara ras dan kategori etnisitas lainnya menjadi penting bukan sebagai identitas fisik dan kebudayaan namun untuk menjelaskan identitas siapa yang paling berkuasa dan siapa yang dikuasai. Dengan demikian, identitas etnik dan ras adalah tidak berdiri sendiri dan tidak netral tetapi terkait dengan kepentingan dominasi dan hegemoni dari kelompok yang berkuasa terhadap kelompok yang dikuasai.

Merujuk pada kritik Gender terhadap Teori-Teori Sosiologi, Kontribusi Hall dalam Teori Sosiologi secara tidak langsung dapat dipahami dalam perspektif Kritik terhadap Teori-Teori Sosiologi. Ontologi dari pendekatan Fanon adalah bertumpu pada pendekatan pengalaman subjektif kelompok-kelompok ras dan etnik yang tertindas sebagai landasan dari kritik terhadap kolonialisme modern. Pendekatan dalam Teori-teori Sosiologi yang cenderung positivistik tentu kurang sesuai dengan kerangka ontologi dan epistemologi yang dibangun Fanon. Selain itu, Fanon ingin membuktikan bahwa asumsi manusia adalah agen yang rasional dalam Teori-Teori Sosiologi adalah tidak benar dalam tingkatan tertentu. Dengan kata lain, Fanon berusaha untuk melakukan dekonstruksi tentang peranan individu sebagai aktor yang rasional. Pada paparannya, dapat diketahui bahwa individu adalah selalu terkait dengan struktur dan peran agency yang dalam tingkatan tertentu tidak dapat dikatakan sebagai rasional. Tentu saja, kerangka kritik yang dibangun Fanon ini bertentangan dengan Teori-Teori Pertukaran Rasional dan Interaksionisme Simbolik yang selalu menekankan bahwa manusia adalah subjek yang selalu rasional.

Pendapat Fanon ini lebih dekat dengan pendekatan Neo-Marxist dalam Sosiologi Etnisitas seperti Oliver Cox, Edna Bonacich, Michael Hecter, Robert Mile, Antonio Gramsci, dan Stuart Hall. Oliver Cox mengatakan bahwa pertentangan antar kelompok etnik dan ras adalah tidak universal namun terjadi dalam konteks sejarah tertentu, dan tarkait dengan asal-usul dan kebutuhan ekonomi politik kapitalis (Milosevic 2004: 32). Menurut perspektif Cox, ekspansi kapitalisme memerlukan upah buruh yang murah, hal ini dicapai melalui kolonialisme dan pengiriman budak-budak ke dunia baru. Implikasinya bahwa kepentingan di belakang pertentangan ras adalah kepentingan eksploitasi. Sedangkan Edna Bonacich berpendapat bahwa pertentangan ras dalam dunia modern adalah konstruksi kelas sosial yang berkuasa untuk mempertahankan status quo melalui pemisahan kelas pekerja (Milosevic 2004: 32).

Sementara itu, Michael Hechter menyebutkan bahwa perbedaan budaya akan penting secara politik ketika dihasilkan oleh pembangunan dan industrialisasi yang tidak merata (Milosevic 2004: 34). Menurutnya, ketika ketidakmerataan ekonomi bersinggungan dengan segregasi kebudayaan, maka kondisi tersebut akan mengarah pada homogenisasi etnik dan polarisasi kelompok atau disebut sebagai “a cultural division of labour.” Sedangkan Robert Mile menerangkan bahwa etnisitas dan ras tidak menjelaskan hubungan-hubungan antar kelompok karena produk ideologis dari masyarakat yang eksploitatif (Milosevic 2004: 35). Menurut Mile, kapitalisme mengkonstruksi pembedaan ras dan etnisitas untuk menyembunyikan hubungan-hubungan ekonomi yang nyata. Berbeda dengan kalangan Neo-Marxist lainnya, Gramsci dan Hall mengatakan bahwa pembedaan ras dan etnisitas relatif otonom dalam hubungan-hubungan sosial (Milosevic 2004: 37).

Stuart Hall (1991) menjelaskan bahwa istilah black atau white bukanlah masalah pigmentasi melainkan suatu kategori sejarah, suatu kategori politik, dan suatu kategori kebudayaan. Sebagaimana dengan onsepsi gender bahwa pembedaan antara laki-laki dan perempuan adalah bukan masalah fisik atau biologis namun socially constructed yang merupakan hasil pertarungan ideologis antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Demikian juga dengan pembedaan ras dan etnisitas. Istilah “black” diciptakan sebagai sebuah kategori politis pada momen sejarah tertentu pada masa kolonial dan diciptakan sebagai suatu konsekuensi dari pertarungan simbolis dan ideologis tertentu. Hall juga menjelaskan bahwa revolusi kebudayaan yang mendasar adalah ketika orang-orang berkulit hitam di Jamaika mengakui diri mereka sendiri sebagai black. Bagi Hall, bukan politik yang memberikan legitimasi terhadap kebudayaan namun kebudayaanlah yang memberikan legitimasi pada politik. Dengan merujuk pada pandangan Gramsci, Hall menekankan dimulainya perang posisi dalam bentuk anti-rasisme, anti-seksisme, dan anti-klasisikisme. Hegemoni menurut Hall adalah bukan hancurnya perbedaan melainkan konstruksi dari keinginan kolektif yang dilakukan melalui perbedaan.

Namun demikian, pendapat Fanon bukannya tanpa kelemahan. Beberapa hal yang belum dijelaskan oleh Fanon adalah sebagai berikut: (1) Fanon hanya mengasumsikan bahwa dunia kolonial terdiri dari dua daerah yaitu daerah penjajah (pendatang) dengan daerah yang dijajah (pribumi), tentunya hal ini tampak menyederhanakan kompleksitas unsur-unsur yang membentuk dunia kolonial. Bagaimana dengan peranan elit-elit aristokrasi pribumi yang menjalankan fungsi penjajahan terhadap massa kaum pribumi. (2) Fanon tidak membuat kategori bangsa-bangsa penjajah dan kategorisasi bangsa-bangsa yang terjajah. Misalnya model-model penjajahan Inggris berbeda dengan Belanda, Perancis, Spanyol sehingga implikasi relasi antata penjajah dan yang dijajah akan berbeda-beda antara daerah jajahan yang satu dengan daerah jajahan yang lain. Fanon tidak menjelaskan mengapa perlawanan revolusioner dengan kekerasan tidak terjadi pada jajahan-jajahan Inggris. (3) Kolonialisasi dan dekolonisasi selalu mengandung merupakan fenomena kekerasan. Jika ditelusuri lebih jauh, bukanlah dekolonisasi itu sendiri secara langsung yang menciptakan kekerasan, melainkan cara pandang elit intelektual pribumi yang meneruskan cara pandang kolonial mendorong dekolonisasi menjadi fenomena kekerasan. (4) Fanon secara implisit menjelaskan bahwa pendefinsian ras dan etnisitas terkait langsung dengan sejarah kolonialisasi dan pertarungan simbolik antara sang penjajah dengan yang dijajah. Namun, Fanon tidak secara tegas menjelaskan kapan dan dalam konteks apa identitas kaum pribumi sepenuhnya berhasil atau tidak berhasil dikonstruksi oleh sang penjajah. Misalnya munculnya nasionalisme dalam masyarakat yang dijajah tidak bisa dipandang dan disebut bahwa hal tersebut merupakan konstruksi kolonial. Namun hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu konsekuensi logis dari politik kolonial yang tercipta melalui lembaga-lembaga pendidikan yang diciptakan pada masa kolonial.


Cahyo Pamungkas

Penulis adalah peneliti pada LIPI, Jakarta.


Daftar Pustaka:
  • Fanon, Frantz. 1963. The Wretched of The Earth. New York. Grove Press Ink.
  • Horowitz, Donald. 2003. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press.
  • Ju Lan, Tung, Dedi S. Adhuri, Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Klaim, Kontestasi, dan Konflik Identitas. Jakarta: LIPI Press.
  • Milosevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publication
  • Fanon mengatakan bahwa dekolonisasi mempengaruhi individu-individu, memodifikasi mereka secara mendasar, membawa ritme natural ke dalam keberadaannya yang dikenalkan oleh orang baru dengan bahasa dan kemanusiaan yang baru. Dekolonisasi merupakan pembentukan nyata manusia baru, namun tidak memiliki legitimasi terhadap kekuatan supra-natural: sesuatu yang dijajah menjadi manusia dalam proses yang sama pada waktu mereka membebaskan diri mereka sendiri.
  • Kebenaran dari kolonialisasi mengingatkan kita pada pertumpahan darah yang diamanatkannya. Karena jika yang terakhir akan menjadi yang pertama, akan terjadi setelah melewati pembunuhan dan perjuangan yang menentukan antara dua kelompok manusia yaitu kaum pendatang (penjajah) dan pribumi (yang dijajah).
  • Menurut Fanon Peran mediasi kolonial tidak menghilangkan penindasan dan tidak untuk menyembunyikan dominasi, bahkan menunjukkan kepada orang-orang terjajah dan memasukkan kesadaran untuk membangun perdamaian meskipun mengandung kekerasan meskipun kaum penjajah ini adalah pembawa kekerasan ke dalam tempat dan hati orang-orang yang dijajah.
  • Manicheasm tersebut sampai pada kesimpulan yang tidak logis dan merendahkan orang-orang pribumi. Pada kenyataannya, terminologi pendatang ketika menyebutkan orang pribumi adalah identik dengan terminologi kebun binatang. Misalnya: the yellow man’s reptilian motions, the stink of the native quarter.
  • Borjuis kolonialis ini didukung oleh universitas menanamkan jiwa kaum intelektual pribumi bahwa kualitas mendasar bangsa Barat tetap abadi.
  • Individualisme pertama kali hilang karena intelektual pribumi belajar dari tuannya bahwa individualisme dapat menyatakan dirinya sendiri sepenuhnya. Borjuasi kolonial menanamkan ke dalam pikiran intelektual pribumi gagasan tentang masyarakat individu dimana masing-masing orang menutup dirinya dalam subjektivitas dan hanya memikirkan kesejahteraan. Intelektual pribumi melakukan penghancuran terhadap semua icon: egoism, recrimination yang tumbuh dari kebanggaan dan childish stupidity.
  • Self-criticism bagi intelektual pribumi merupakan sesuatu yang penting, semakin banyak intelektual menghirup atmosfer orang-orang kebanyakan, semakin banyak mereka meninggalkan cara berfikir kolonial. Namun seringkali terjadi bahwa dekolonisasi di daerah-daerah yang tidak cukup adanya perjuangan pembebasan. Beberapa intelektual yang berasosiasi dengan borjuasi dan pemerintahan kolonial menggunakan ketegangan nasional (national distress) sebagai alat untuk mendapatkan perampokan secara legal melalui ekspor-impor, limited liability companies, judi pada pasar saham, dll. Tahap ini disebut sebagai periode ketegangan, keberhasilan dampak negatifnya adalah mendorong kekerasan dan kemarahan masyarakat. Karena ini masyarakat yan didorong oleh kemiskinan sampai pada kesadaran sosial untuk merdeka.
  • Namun ketika individu-indivudu memerhatikan hubungan ini, penolakan terhadap ikatan kolonial menjadi terbukti. Ketika seorang polisi kolonial menahan dan menghina seorang pribumi, maka orang pribumi lainnya akan membela dengan kekerasan. Perselisihan dalam kesukuan hanya menghidupkan perasaan kebencian yang terkubur dalam memori. Dengan melemparkan diri sendiri dengan semua kekuatan untuk balas dendam, kaum pribumi membujuk dirinya sendiri bahwa kolonialisme tidak eksis, segala sesuatu berjalan sebagaimana sebelumnya dan sejarah berlanjut.
  • Baca selengkapnya Sinisa Milosevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publication. Hal. 31-44.
  • Baca selanjutnya Tung Ju Lan dkk. 2006. Klaim, Kontestasi, dan Konflik Identitas. Jakarta: LIPI Press. Hal 1-13.

1 komentar:

  1. Terima kasih ya Mas Fanton. Memudahkan saya dalam memahami pemikirian Fanton.

    Salam,
    Meita

    ReplyDelete