Neoliberalisme: Ideologi yang Menghancurkan Kehidupan

Oleh : Eko Prasetyo


Dengan dalih mengikuti harga pasar minyak dunia yang terus melambung, rejim SBY-JK akhirnya menaikkan lagi harga BBM. Sontak, para ekonom penetek kekuasan dan penyembah pasar bebas kembali menggaungkan tema pembodohan yang usang: “kenaikan harga BBM dilakukan untuk menyelamatkan APBN” serta “subsidi hanya menguntungkan kaum kaya”, atau “BLT akan mengurangi kemiskinan akibat kenaikan BBM”. Jurus penangkal protes yang usang pun kembali digelar, dari memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) hingga beasiswa untuk mahasiswa miskin. Pola ini, tak lain, adalah upaya untuk meredam radikalisme kaum miskin dan mahasiswa yang semakin menderita akibat kenaikan tersebut. Akibat dari kebijakan tersebut, bebrapa pengamat memprediksi bahwa jumlah orang miskin dan pengangguran akan semakin meningkat tajam.

Tema tentang politik ekonomi subsidi, kemiskinan, serta ancaman rejim pasar bebas sejak lama telah menjadi fokus utama dalam karya-karya Eko Prasetyo, termasuk dalam salah satu karyanya yang masih relevan untuk didiskusikan hingga kini, yaitu Orang Miskin Tanpa Subsidi. Seperti kebanyakan karyanya, buku ini bertumpu pada telaah politik ekonomi yang melandasi munculnya kenaikan harga BBM, pencabutan subsidi layanan publik, dan meningkatnya jumlah kaum miskin, serta semakin berlipat-gandanya akumulasi kaum kapitalis di jaman ini. Namun, kelebihan yang paling menonjol dalam buku ini adalah kemahiran penulis dalam memaparkan kontradiksi-kontradiksi yang tajam antara berbagai hal: antara subsidi berlimpah yang diberikan negara pada kaum kaya dengan dicabutnya subsidi yang menyangga kehidupan kaum miskin; antara menggelembungnya kekayaan segelintir elit kapitalis yang menangguk untung di jaman pasar bebas dengan semakin menderitanya sebagian besar rakyat miskin akibat didera oleh kemiskinan kronis, pengangguran dan kelaparan; antara korupsi dan penggelapan miliaran uang negara oleh para politisi busuk dan pengusaha bajingan dengan keengganan negara untuk memberikan subsidi untuk kemakmuran rakyatnya. Lebih lagi, buku ini sesungguhnya mengajak kita untuk menyingkap sebuah ideologi yang menjadi dalang dari semua anarkhi ini, ideologi terkini dari kaum kapitalis: neoliberalisme.

Pencabutan subsidi BBM dan layanan publik lainnya seperti pendidikan dan kesehatan sungguh tak bisa dilepaskan dari suatu perspektif tentang bagaimana neoliberalisme menjadi ideologi yang yang dominan. Sebagai ideologi yang menopang rejim pasar bebas, neoliberalisme memiliki tiga kredo: privatisasi-liberalisasi-deregulasi. Tiga kredo itu dijeratkan pada negara-negara Dunia Ketiga yang terlilit hutang najis melalui skema penyesuaian struktural— SAP (structural adjustment program)—agar negara-negara tersebut menganut sistem pasar bebas. Upaya ini dilakukan agar kapitalisme bisa keluar dari krisisnya, yaitu dengan perluasan pasar dan perebutan sumberdaya produktif baru. Juga bertujuan untuk meningkatkan akumulasi dan kekuasan elit kapitalis. Pokok yang terakhir ini adalah yang paling penting. Neoliberalisme bisa dipahami sebagai suatu modus ekonomi yang berkehendak untuk melakukan akumulasi kapital dengan cara merebut dan menjarah sumberdaya produktif, serta melakukan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu (commodification of everything), termasuk layanan publik dan sosial yang di masa lalu menjadi tanggung jawab negara pada rakyatnya.

Jadi, hasil akhir dari neoliberalisme ini di satu sisi adalah munculnya kembali kelas penguasa ekonomi yang mengalami kemandekan di masa kapitalisme negara, dan di sisi lain adalah hancurnya kehidupan kaum miskin. Neoliberalisme secara sistematis mencabut ‘selang infus’ yang menyangga kehidupan kaum miskin melalui dua jalur utama: pertama, mencabut berbagai subsidi layanan publik yang selama ini menjadi tanggung jawab negara—suatu modus yang mengakibatkan orang miskin harus menguras lebih dalam isi dompetnya untuk belanja biaya pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya; kedua, menguasai akses-akses sumberdaya yang berguna, baik dalam tenaga produksi maupun rantai distribusi, lalu melemparkannya pada mekanisme pasar bebas yang monopolistik. Alih-alih mendatangkan kemakmuran dan keberlimpahan sebagaimana yang dijanjikan, neoliberalisme justru mendatangkan petaka kesenjangan dan kemiskinan global yang tiada duanya sepanjang sejarah manusia.

Dengan analisa semacam itulah kita mestinya membaca kenaikan BBM. Asumsi para pendukung neoliberal bahwa harga minyak harus naik seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, dan karenanya perlu demi menyelamatkan APBN, pada dasarnya adalah argumen yang ilusif dan menyesatkan. Mengapa? Pertama, argumen itu menyembunyikan fakta bahwa liberalisasi migas telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah sejak penandatangan LOI 1999 yang merubah struktur permigasan di Indonesia. Liberalisasi migas ini ditopang oleh perubahan UU di sektor energi yang didukung oleh World Bank dengan tujuan membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke berbagai tahap dalam proses migas di tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir (Baswir: 2008). Kedua, istilah subsidi sendiri juga cenderung menyesatkan, sebab pemerintah sebenarnya masih menangguk untung dari selisih produksi minyak dengan harga internasional yang sedemikian tinggi. Karenanya, tak ada yang disebut sebagai subsidi dan jebol APBN! Sebab kenaikan itu justru membuat pemerintah memiliki kelebihan uang yang sangat banyak (Gie: 2008). 

Jadi, akar kekacauan dan ketertindasan rakyat di negeri ini bersumber dari dua hal, pertama cengkeraman gurita neoliberalisme di sekujur tubuh negeri ini; dan kedua, akibat dari perilaku korup, salah urus, dan menyeleweng dari rejim penguasa yang tidak membaktikan kekuasaannya untuk kemakmuran rakyat melainkan kemakmuran segelintir elit penguasa ekonomi dan politik. Paduan dari dua hal ini adalah anarki yang tak terperikan: air, hutan, migas, energi, pangan, dan seluruh sumber kehidupan kita berada dalam ancaman penguasaan rejim pasar yang hanya mempunyai logika akumulasi tanpa henti. Proyek penghancuran kehidupan ini terus melaju hingga saat ini. Tak ada cara lain selain berlawan dan mengajukan jalan alternatif baru.

0 komentar:

Post a Comment