Pelajaran Politik dari Fenomena Caleg Stres


Oleh : Subhan Agung[1]

Seorang teman mengungkapkan pada saya bahwa dia merasa beruntung tidak memberikan hak suaranya pada Pemilu legislative 9 April lalu alias Golput. Menurutnya paling tidak ada beberapa alasan mengapa ia merasa beruntung yakni : pertama, belum genap sebulan Pemilu berlalu media memberitakan lewat head-linenya fenomena “tumbangnya” beberapa Caleg di berbagai kota dari mulai yang diidentifikasi stress, putus asa sampai meninggal—karena kumat penyakitnya--, bahkan beberapa ada yang bunuh diri dengan berbagai modus operandinya. Fenomena ini memberikan pelajaran berharga bahwa para Caleg kita saat ini memiliki kekuatan mental yang lemah yang sangat tidak memungkinkan ketika nanti ketika terpilih akan menghadapi berbagai persoalan negara yang sangat berat, jauh lebih berat beban tanggung jawabnya dibanding persoalan pribadi. Kedua, penomena di atas juga membuktikan bahwa meraka hanya peduli pada kepentingan diri sendiri, padahal anggota legislatif yang nota bene merupakan “kerja pengabdian” hanyalah kedok semata untuk menumpuk kekayaan.
Apa yang diungkapkan teman saya di atas boleh jadi kekesalan atas realitas perpolitikan di negara kita. Fenomena lemahnya mental Caleg seperti yang diungkapkannya di atas bukan hanya an sich lemahnya mental dan kepribadian Caleg-Caleg tersebut, tetapi juga adanya kerusakan kultur, aturan main dalam proses politik walaupun hal itu tidak tertulis. Kultur atau aturan main tersebut terkadang tidak fair, cenderung menghalalkan segala cara yang pada gilirannya sulit untuk durubah dan merugikan diri sendiri serta banyak pihak (rakyat). Hal itu pasti selalu terjadi dalam proses-proses politik di Indonesia bak lingkaran setan (ghost circle) yang sulit dijawab solusinya.
Fenomena Caleg stress, selain menjelaskan mental dan kepribadian elit-elit politik kita juga mampu menjelaskan apa yang saya sebut “kultur politik” kita yang bobrok. Realitas objektif saat ini adalah siapapun yang menjadi calon anggota legislatif, jika ia ingin terpilih ia harus punya modal besar (uang, atau harta benda yang bisa dinilaikan). Modal tersebut digunakan untuk operasionalisasi partai dan juga untuk mendongkrak popularitas lewat kampanye yang tentu tidak sedikit jumlahnya. Tentu tidak semua Caleg mengeluarkan banyak biaya, namun jika peluang menangnya ingin besar tidak ada cara lain, selain modal yang besar.
Hal di atas kalau dikalkulasi jelas sangatlah rasional karena pembiayaan kampanye yang meliputi fungsionalisasi tim sukses, pemasifan program lewat berbagai macam media iklan membutuhkan biaya yang bukan lagi hitungan puluhan juta tapi bisa mencapai ratusan juta. Tentu saja Caleg-Caleg yang memiliki modal besarlah yang mampu membiayainya, sedangkan Caleg dari lapisan masyarakat menengah ke bawah hanya bisa pasrah, kecuali ada sponsor dari institusi pendukung atau pengusaha yang pro dengannya.
Kultur politik seperti di atas, secara simplikatif dapat dibuat asumsi—paling tidak, kondisi objektifnya saat ini-- bahwa jika ingin menjadi pemimpin atau wakil rakyat haruslah memiliki modal besar. Sehingga apa yang dalam Ilmu Politik disebutkan bahwa rakyat memberikan wewenangnya lewat proses pemilu kepada yang mampu memimpin dan mampu membawa aspirasi rakyat, jadi terbelok bahwa yang berhak memimpin bukan lagi orang yang dipercayai rakyat, tetapi yang bermodal besar. Kalau dipikirkan lebih lanjut kondisi ini tidak bedanya seperti “bisnis politik”.
Kultur di atas juga pada gilirannya bermetamorfose pada akibat lainnya yang lebih urgen dalam perpolitikan Indonesia yakni bagi anggota legislatif yang terpilih, mereka bukan lagi concern pada membawa amanat konstituennya, tetapi lebih bagaimana berfikir untuk secepatnya bisa mengganti “modal politiknya” selama kampanye. Inilah kultur yang biasa terjadi pada bisnis. Sedangkan bagi para Caleg yang kalah mereka tidak siap menerima kekalahannya itu, dikarenakan stress dan tertekan karena kekayaannya habis dengan sia-sia. Sehingga yang terjadi adalah seperti penomena yang disebutkan di atas.
Karena kultur yang terbentuk dalam proses politik kita adalah seberapa besar kuantitas (modal) Caleg maka out putnya pun cenderung pada personal interest, perilaku koruptif, bermental calculatif-centris yang cenderung merugikan banyak rakyat. Hal ini sebenarnya merupakan “pengkhianatan” terhadap demokrasi yang akar-akarnya di masa lampau diidealitakan oleh Plato, Aristoteles, ilmuwan kontrak sosial semisal John Locke, Rousseau dan Hobbes, bahkan dibeberkan konseptualisasi demokrasi modern semisal oleh Abraham Lincoln, Josep Schumpeter, Dahl dan lainnya.
Penghianatan itu jelas terlihat pada anggota legislatif hasil-hasil pemilu sebelumnya --dikhawatirkan juga saat ini--. Perilaku-perilaku mereka lebih mencerminkan kepentingan pribadi dan golongannya bukan keberpihakannya pada rakyat. Konsep demokrasi modern secara jelas menyatakan rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang paling banyak berkehendak, tanpa adanya dominasi mayoritas. Rakyat yang paling banyak dalam konteks Indonesia adalah lapisan menengah ke bawah, karena itulah mayoritasnya. Sehingga para anggota legislatif haruslah mampu mengangkat isu-isu populis mereka menjadi satu persoalan negara yang pada gilirannya menggolkan berbagai kebijakan yang populis.

[1] Staf pengajar Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

0 komentar:

Post a Comment