Kebebasan dan Elaborasi Budaya

Oleh : Gunawan Adib Achmadi






Banyak agenda bangsa yang terbengkalai meski Indonesia sudah lebih setengah abad merdeka. Kita sudah bebas dari penjajahan kaum imperialisme. Tapi pada kenyataannya kini Indonesia masih belum bebas dari kemiskinan, rasa aman, kebodohan sebagaimana layaknya bangsa merdeka.

Kebebasan lain yang ternyata juga belum kita gunakan sebagai bangsa merdeka adalah, bebas menentukan pilihan-pilihan sendiri dalam menentukan corak pembangunan dan menentukan arah masa depan bangsa. Kebebasan yang dimaksud adalah menentukan masa depan bangsa sesuai dengan citra nilai, kesejarahan dan budaya yang kita miliki. Sejak Indonesia merdeka berbagai gagasan yang mengemuka tentang pembangunan bangsa dan negara hampir merujuk sepenuhnya dunia luar, yang umumnya kehidupan negara barat modern. Para pendiri bangsa kita (founding father) telah menyusun arsitektur Indonesia dengan sebutan negara bangsa (nation state). Dan rujukan paling jelas untuk nation state itu adalah Amerika. Sebutlah misalnya mukadimah, lambang negara dan motto negara Indonesia mirip dengan Amerika Serikat.


Meniru dunia luar untuk suatu pelajaran tentu bukan suatu kesalahan dan bisa dipahami. Ketika Indonesia merdeka dituntut kesegeraannya untuk menentukan model sebuah bangsa dan negara. Dalam kesegeraan waktu tersebut tidaklah mudah untuk melakukan rancangan yang komprehensif tentang bangsa dan negara yang merujuk pada tatanan nilai dan kesejarahan yang kita miliki sendiri. Yang paling mudah dipahami adalah bahwa seluruh proses bangunan bangsa dan negara dikala itu belumlah final. Kita mesti perlu melakukan elaborasi dan bila perlu melakukan rekonstruksi ulang untuk memperkuat fondasi dan tatanan kebangsaan kita di kemudian hari.


Dalam perjalanan sejarah, proses elaborasi dari dasar dan bentuk kebangsaan dan kenagaraan kita belum berlangsung secara mendalam. Kita lebih banyak menjalankan ritual kenegaraan sebagaimana negara-negara modern menjalankannya. Walhasil yang tampak dalam sejarah kebangsaan dan kenegaraan kita adalah wajah yang senantiasa compang-camping dan belum menemukan formatnya yang jelas dan mandiri layaknya sebuah bangsa yang memiliki kemerdekaan.


Sejak orde lama, orde baru dan yang mutahir adalah orde reformasi, bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita terasa belum mantap. Nation state sebagaimana yang digagas para pendiri bangsa seperti tidak memiliki akar yang kuat dihati rakyat. Meski sekarang konsep demokrasi dijaga dan dikawal oleh banyak cerdik pandai kita, yang untuk sebagiannya menyerap ilmu dari pusat negeri demokrasi, Amerika. Tetap saja kita mendapati tatanan kebangsaan kita masih terasa rapuh. Performa luar kita tampak aneh dilihat. Badan tampak gagah menggunakan jas dan berdasi, tetapi dengan pola pikir tradisional, digunakan untuk mencangkul disawah. Kecenderungan ‘salah tempat’ tersebut bukan sekedar dalam tataran tampilan fisik. Tampilan sosial dan budaya kita dalam berbagai lapangan kehidupan juga sering mengalami hal yang sama.


Di era reformasi misalnya setelah lebih seabad usia bangsa ini merdeka, kita masih menyaksikan parade kebulatan tekad mendukung calon presiden dengan cap jempol darah. Bahkan bukan sekedar orang rela berdarah-darah demi pemimpinnya, tetapi juga ada sebagian masyarakat yang rela menyerahkan jiwa dan raganya untuk membela pemimpinnya. Dalam konsep demokrasi modern fenomena seperti ini sulit dijelaskan. Bagaimana seorang berpartai atau berpolitik yang rasional seperti mereka memeluk agama, sehingga harus disikapi dengan hidup mati. Namun begitulah realitas yang kita hadapi saat ini dan mungkin masih akan berlangsung untuk waktu-waktu mendatang.


Tidak tuntasnya kita melakukan elaborasi nilai dan budaya mengakibatkan kita selalu menggunakan acuan konsep yang datangnya dari luar. Maka ketika konsep itu kita gunakan, dan terutama untuk melihat diri kita sendiri, tampaklah disitu wajah aneh, kusam dan ketinggalan zaman. Kita, karena menggunakan kaca mata orang lain, seringkali menghardik diri sendiri, dan memaksakan kehendak agar kita menjadi orang lain dan tidak bangga dengan diri sendiri. Suatu keinginan yang sampai kapanpun rasanya sulit dilakukan. Yang mungkin terjadi dengan pemaksaan tersebut adalah, kita semakin asing dengan mengikuti acuan orang lain. Dalam hidup keseharian kita sering merasakan keasingan-keasingan itu. Kita lihat perilaku anak-anak muda kita, film atau sinetron kita dan berbagai gaya hidup glamour yang ternyata makin hari makin memuakkan. Banyak orang tua dan tokoh masyarakat yang gelisah terhadap arah kehidupan masyarakat utamanya kaum muda sekarang ini. Mereka seperti tak punya pegangan dan kehilangan akar kesejarahanya.


Sesungguhnya masalah yang substansial dalam kebangsaan dan kenegaraan kita adalah belum selesainya elaborasi nilai dan sejarah budaya yang kita miliki untuk keperluan-keperluan situasi aktual. Penghadapan dengan modernitas dan arus globalisasi sesungguhnya adalah proses kreativitas yang sumber dan sukucadangnya dari nilai dan kesejarahan yang kita miliki sendiri. Dari sini kita akan tetap menjadi diri kita sendiri. Dari sinilah arti kebebasan sesungguhnya dapat kita miliki. (Adib Achmadi)


Adib Ahmadi adalah mentan ketua HMI Cabang Purwokerto dan sekarang peneliti Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI), Jakarta

1 komentar:

  1. Wah Mas Adib, walaupun dikkau dah ngk muda lagi tapi semangat untuk membangun moral dan pola pikir bangsa masih tetap menggelora

    ReplyDelete