Saqifah dan Pemicu Friksi Politik dalam Islam

Oleh : Subhan Agung

Pasca meninggalnya Rasul, timbul satu persoalan mendasar dalam Islam saat itu yakni persoalan tentang khilafah atau Imamah kepemimpinan negara pasca Rasul. Pertemuan Saqifah sebagai media pencarian solusi terbaik saat itu, menjadi saksi sejarah atas akar perbedaan pendapat yang tidak bisa dimenej secara positif. Salah satu ulama dan ilmuwan Islam, Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa perbedaan pendapat yang tajam saat itu tentang persoalan Khilafah atau Imamah ini merupakan “pembuka keran” timbulnya sekte-sekte serta aliran ketauhidan dan politik dalam Islam.

Salah satu penyebab perbedaan pendapat di antara mereka adalah dalam masalah kepemimpinan dikarenakan semasa hidupnya Rasulullah tidak pernah menjelaskan hal ini dengan rinci. Nabi Muhammad hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum, semangat keber-Islaman, tuntutan akhlak mahmudah dan menjauhi akhlak madzmumah, adil, memberlakukan hukum tanpa pandang bulu, yang kesemuanya itu dijalankan oleh Nabi di Madinah, sesuai dengan Piagam Madinah (Al-Mitsaq Al-Madaniyah) dan ketentraman serta kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Madinah saat itu[1]. Namun, Nabi tidak pernah menjelaskan secara detail tentang siapa yang akan menggantikan beliau, cara pergantian jabatan, syarat-syarat kepemimpinan dan lainnya tentang kepemimpinan Islam.

Menurut DR. Dhihauddin Rais (2001:11-12) latar belakang tidak diperincinya persoalan-persoalan di atas, dikarenakan ciri khas syariat Islam yang tidak mengikat umat Islam dengan aturan-aturan baku yang kaku, yang kemudian tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi dan tidak sesuai dengan kondisi kekinian. Syariat Islam juga berkehendak agar undang-undang Islam terus bersifat lentur, sehingga kelenturannya itu memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berfikir serta umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam yang terus berubah-ubah.

Saat meninggalnya Rasul, salah satu dari dua kelompok utama masyarakat Islam, yaitu kalangan Anshar, segera mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah—yang merupakan nenek moyang Bani Khazraj--- untuk membicarakan hal di atas tadi. Kecepatan mereka untuk berinisiatif mengadakan pertemuan ini pada hari wafat dan sebelum Nabi dimakamkan mengisyaratkan pada para sejarawan, bahwa mereka telah memikirkan hal ini sebelum mengadakan pertemuan, walaupun mungkin beberapa hari sebelumnya. Menurut M. Dhiauddin Rais (Ibid:12) ambisi Sa’ad Bin Ubadah, seorang tokoh Khazraj yang mendorongnya untuk segera membentuk kelompok pendukung, sehingga nantinya dia dapat meraih dukungan yang lebih luas sebelum dia disaingi oleh tokoh lain.

Satu dari dua buah buku yang banyak mengulas tentang peristiwa Syaqifah ini ditulis oleh Ibnu Ishaq yang berjudul Sirrah Nabi, namun buku aslinya sampai sekarang tidak pernah diketemukan lagi dan satunya lagi adalah Sirrah Nabi karya Ibnu Hisyam. O. Hashem[2] (1989:107) mengutip perkataan Ibnu Ishaq yang menceritakan tentang peristiwa berkumpulnya kaum Anshor di Saqifah : ‘ Abdullah bin Abu Bakar menceritakan kepada saya (Ibn Ishaq), yang didengarnya dari Ibn Syihab Azzuhri, dari ‘Ubaidillah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari ‘Abdullah bin ‘Abbas yang berkata :
“ Saya (Ibn Abbas) mendapat kabar dari Abdurrahman bin ‘Auf, waktu itu saya berkata di tempat menginapnya di Mina. Abdurrahman bin Auf menyertai Umar dalam perjalanan haji Umar yang terakhir. Saya (biasa) mengajar ngaji kepadanya dan sedang menunggunya. Tatkala Abrurrahman bin Auf pulang, ia berkata pada saya : ‘ saya ingin kiranya anda melihat (ketika) seorang pria datang kepada Amirul Mukminin dan berkata : ‘ Wahai Amirul Mukminin !, bagaimana pendapat Anda tentang seorang yang berkata : ‘ Demi Allah, apabila Umar bin Khattab meninggal, saya akan membai’at si Anu (fulan). Bukankan Baiat yang diberikan kepada Abu Bakar adalah suatu kekeliruan, karena tergesa-gesa, namun dianggap telah selesai ?’

Dari perdebatan panjang Saqifah, dapat disimpulkan teori-teori pemikiran terpenting yang mengemuka dalam pertemuan itu yakni : teori membela kaum Anshar yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak memegang jabatan Kekhalifahan, dengan alas an merekalah yang membela Islam dengan segenap jiwa, raga dan harta mereka, memberikan tempat dan pertolongan pada saat-saat awal perjuangan Nabi dan merekalah penduduk asli Madinah.. Menurut Dhihauddin Rais (Ibid : 15) pemiiran ini dikatakannya sebagai teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran politik Islam.

Teori yang kedua, adalah bantahan (antitesis) atas teori pertama tadi, pembelaan atas hak kaum Muhajirin atas jabatan Kekhalifahan, dan membuktikan bahwa mereka lebih berhak atas jabatan Kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, mereka juga menganggap pihak yang menyembah Allah pertama kali di atas permukaan bumi, mereka adalah orang-orang kepercayaan dan shahabat terdekat dan utama Rasul dan menyertai Rasul, ketika mengalami penganiayaan dari kaum Kafir Quraisy.

Selain kedua teori di atas, muncul pemikiran tentang keutamaan suku Quraisy, di mana para pemimpin suku Quraisy berpandangan bahwa sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab yang menjadi penguasa dari sejak dahulu adalah suku Quraisy. Pemikiran lain juga muncul dari Habbab bin Munjir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpinan atau adanya beberapa kepala negara sekaligus, misalnya dengan mengangkat dua Khalifah sekaligus. Dan beberapa pemikiran lainnya yang mengemuka, namun tidak dominant.

Dalam peristiwa Saqifah ini, meskipun titik pandang masing-masing kelompok berbeda, tapi pertemuan itu berhasil menyepakati konsep yang amat penting yakni pemilihan Khalifah dilakukan dengan bai’at. Para peserta pertemuan itu akhirnya sepakat untuk memilih Abu Bakar, yang disusul oleh bai’at shahabat-shahabat Nabi, kecuali beberapa shahabat yang belum memberikan Bai’at seperti : Ali bin Abu Thalib, Abu Dzar Al-Ghifari, Amar bin Yassir, Salman Al-Farisi, Bilal bin Rabah, Abbas bin Abdl Muttalib, Zubair bin Awwam, Abu Ayyub Al-Ansari, dll.

Dalam beberapa riwayat tokoh-tokoh tersebut tersinggung dengan adanya pertemuan Saqifah, yang cenderung mendahulukan perbincangan pemimpin dengan melalaikan pengurusan zenazah Nabi saat itu yang belum dimandikan dan dishalatkan, Ali sebagai tokoh terkemuka dari golongan Bani Hasyim—atau ahl bayt Rasul—tidak mau membai’at Abu Bakar sampai 6 bulan pemerintahan Abu Bakar. Dalam banyak literature yang membahas tentang Saqifah bisa dilacak bagaimana pertentangan –mungkin pada sekala tertentu cenderung berlebihan—keras terjadi di antara para Shahabat dan keluarga Nabi yang utama. Abu Bakar yang didukung kuat Umar bin Khattab dan sebagian besar Shahabat Rasul dari Anshar, Muhajirin dan suku Quraisy berhadap-hadapan dengan Bani Hasyim atau Ahl Bayt Nabi yang juga menginginkan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Tapi sejalan perjalanan waktu persoalan ini mencair dengan bai’at Ali 6 bulan kemudian, walaupun tidak bisa menyelesaikan persoalan keretakan-keretakan yang sudah tertanam sebelumnya.

Sebenarnya kalau kita kaji berbagai pertentangan maupun perbedaan pendapat di kalangan para shahabat, ahl bayt dan lainnya merupakan sesuatu yang wajar dalam pemahaman politik. Bagaimanapun juga mereka para shahabat yang mulia, tetap manusia biasa yang punya nafsu berkuasa dan memerintah (pemahaman manusia sebagai mahluk politik—Aristoteles). Selain itu juga tradisi ashobiyah yang masih kental menimbulkan kecurigaan dan praduga politik yang berlebihan. Para shahabat Nabi dari berbagai Bani dan keturunan ketakutan jika Islam di masa depan hancur, karena dipimpin oleh yang bukan ahlinya. Namun, disisi posistif tersebut, harus diakui, seperti terangkai dalam sejarah, kejadian besar ini berpengaruh besar terhadap persoalan politik Islam selanjutnya, yang banyak diwarnai dengan perselisiahan dan perang saudara. Wallahu a’lam.

Referensi
Pemikiran Politik Islam, Surwandono tahun 2001
Ali Al-gharisah, Metodologi Politik Islam, tahun 1997
Abd Qadir Zailani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, 1994
Ahmad Mumtaz, Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1993


[1] Tentang keberhasilan Muhammad membangun “Negara” Madinah diakui hampir keseluruahn ilmuwan dan sejarawan dunia baik Muslim maupun Barat. Salah satu tuliasan Barat yang banyak memuji keberhasilan Muhammad di Madinah adalah Prof. Phillip K. Hitti dalam tulisannya History of Arabs. Atau Gibb dalam Mohammed at Madina.
[2] Salah satu penulis Indonesia dari kalangan Syi’ah yang cukup fanatik dan terkenal dalam bukunya Saqifah : Awal Perselisihan Umat, banyak menyerang hampir keseluruhan sahabat Nabi kecuali Ali dan ahl bayt-nya. Jadi bisa dikatakan tulisan O. Hashem ini salah satu tulisan yang banyak mengulas peristiwa Saqifah versi Syiah. Buku ini menarik dengan fakta-fakta sejarah yang ketengahkan yang relative baru dan data yang kuat.

0 komentar:

Post a Comment