Antara Dunia, Kekayaan dan Kefakiran

Oleh : Rino Sundawa Putra

Rasulululloh SAW bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir”. Sabda Rasululloh SAW ini menyiratkan akan sifat dunia dalam penilaian Alloh SWT. Dewasa ini, sebagian besar manusia, khususnya umat muslim telah disibukan dalam mencari karunia Alloh SWT, yaitu rezeki.
 
Semakin ketat kompetisi dalam mencari penghidupan di bumi Alloh yang maha luas ini. “ingin sukses, ingin sejahtera dan ingin kaya” telah menjadi kata kunci bagi setiap orang. Mencari karunia Alloh SWT berupa rezeki atau harta dunia tidaklah salah, namun yang menjadi salah adalah ketika muamalah tersebut telah menjadi orientasi dominan jalan hidup manusia, dan pikiran-pikirannya telah dipenuhi urusan-urusan dunia. Bila pikiran dan hati kita sudah didominasi oleh syahwat dunia, maka dunia seolah  sudah dianggap sebagai sesuatu yang abadi yang jauh dari kefanaan, maka terpaparlah kita dengan penyakit hubud dunya, cinta dunia dan isinya, lupa akan akhirat. Salah satu ciri penyakit hubud dunya adalah dengan memisahkan status antara kefakiran dan kekayaan. Ketika menganggap kefakiran, kemiskinan dan kesempitan harta adalah ujian dan aib yang nista dan kekayaan adalah semata-mata rahmat dan keagungan. Padahal baik itu kefakiran dan kekayaan kedua-duanya adalah bentuk ujian Alloh kepada setiap manusia.

Agar kita tidak  terpapar oleh penyakit hubud dunya, maka perlulah kita mengevaluasi orientasi kehidupan kita, menelaah kembali hakekat keberadaan manusia dimuka bumi, hakekat penciptaan manusia, dan hakekat penciptaan langit dan bumi beserta isinya (harta) oleh Alloh SWT. Bagaimana kita memandang dunia dan seluruh isinya (harta) adalah langkah awal dalam memahami kehidupan guna mencapai derajat taqwa, mencapai tingkatan yang disebut dengan zuhud, kona’ah dan tawakal, sehingga terjadi dis-orientasi tujuan hidup, dari pandangan dunia menjadi pandangan akhirat. Ketika hati dan pikiran kita telah tersentuh oleh sifat zuhud. kona’ah dan tawakal, maka sekalipun kefakiran menjadi kehendak Alloh SWT dalam menguji seorang manusia, maka kefakiran itu tidak menjadikan dirinya berkeluh kesah, resah, khawatir, perasaan sempit, bahkan marah dan gusar terhadap takdir Alloh SAW, tetapi kefakiran akan senantiasa menjadi sarana dan media dalam mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya.

Sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya yang diberi nama Ad-Da’wah at-Tammah Wa at-Tadzkirah ‘Ammah, Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, ulama Tasawuf terkemuka abad ke-12 H, membagi manusia dalam menerima kefakiran menjadi 3 golongan, pertama, mereka yang lari dari dunia, walaupun disodorkan dengan cara yang halal dan bersih. Kedua, golongan manusia yang tidak lari dari dunia ketika dunia menyodorkan diri dan mendatangi mereka, namun mereka mengambil dan membagikannya kepada orang yang membutuhkannya, dan ketiga, adalah golongan manusia yang mencari dan berusaha mendapatkan dunia tetapi hal itu tidak bernilai bagi mereka.

Ketiga golongan manusia tersebut adalah golongan yang menyadari betul betapa rendahnya kedudukan dunia dalam pandangan Alloh SWT, walaupun dengan segala isinya. Sifat-sifat tersebut telah menjadi teladan agung yang diprakatekan oleh Rasulluloh SAW, para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’in tabi’ut dan para ulama generasi sesudahnya. Sabda Rasululloh SAW, “barangsiapa rela atas rezeki yang sedikit dari Alloh, maka Alloh akan merelakan darinya amal yang sedikit”.

wallahualam bishawab
Ditulis oleh : Rino Sundawa Putra

Sumber Gambar : Antara Dunia Akhirat

1 komentar: