Dugaan Penyelewengan Dana Bantuan Sosial dalam Pilkada Jabar 2013

Oleh : Arfianto Purbolaksono

Pilkada Jawa Barat telah usai, Pasangan Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar menang dengan perolehan 6.515.313 (32,29%) suara. Namun, dibalik kemenangan pasangan Aher-Demiz ini, ditengarai adanya kecurangan dengan penyelewengan Dana Bantuan Sosial (Bansos) Propinsi Jawa Barat pada kampanye pilkada lalu. Aher dituduh menggunakan jabatannya selaku Gubernur Jawa Barat dengan memanfaatkan dana bansos untuk pemenangannya dalam pilkada. Aher memberikan dana bansos ke 26 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat. 

Menurut ICW, terdapat 120 kasus dugaan penyelewengan dana bansos di Indonesia. Kasusnya saat ini sebagian telah dijatuhi vonis oleh majelis hakim di pengadilan. Ada juga yang sedang ditangani KPK. Modus dugaan penyelewengan dana bansos sangat beragam, seperti digunakan untuk biaya kampanye pilkada maupun dengan memberikan bantuan kepada Organisasi Masyarakat atau LSM fiktif untuk menghambur-hamburkan dana bansos dan hibah, yang kewenangan penggunaan sebenarnya ada di Pemda. 


Pilkada dan politik uang

Dugaan penyelewengan dana bantuan sosial pada Pilkada Jawa barat  menjadi sebuah penegasan, bahwa pelaksanaan pilkada sebagai wujud demokrasi lokal, tidak terlepas dari politik uang. Dalam demokrasi, dukungan politik yang diberikan kepada kandidat biasanya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Namun, melalui politik uang, dukungan politik diberikan lebih karena pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya.

Praktek politik uang hampir ditemukan di seluruh penyelenggaraan Pilkada. Dalam Pilkada Jabar, dugaan politik uang yang dilakukan oleh Aher sebagai incumbent adalah penggunaan fasilitas pemerintah untuk kepentingan calon incumbent. Hal ini karena calon incumbent memiliki akses besar terhadap anggaran, sekaligus kewenangan untuk mengalokasikan anggaran tersebut bagi kepentingan pemenangan pilkada secara terselubung melalui program-program populis yang mengalir ke pemilih. Kegiatan politik uang atau suap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Jika melihat dari sejarahnya, asal mula korupsi bersumber pada sistem pemerintahan monarki  absolut  tradisional  yang  berlandaskan  pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran dan bangsawan sebagai elite penguasa lokal, yang ditugasi untuk memungut pajak dan upeti dari rakyat (Onghokham, 1995). Onghokham (1995) juga mengatakan bahwa elite penguasa lokal, yang merasa diri sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa  rakyat  yang  ditaklukkan.  Hak  tersebut  biasanya  diterjemahkan  dalam tuntutan yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat. Seluruh upeti yang masuk, selain dipergunakan untuk kepentingan kerajaan, upeti itu juga digunakan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan penguasa lokal itu sendiri.

Parahnya,  kedudukan  dalam  pemerintahan  sebagai  penguasa lokal  ini  dapat diperjualbelikan (venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk  mencari  kompensasi  atas  uang  yang  telah  dikeluarkannya  dengan  memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat (Onghokham, 1995).

Dugaan korupsi dalam penyelewengan dana bansos untuk pemenangan pilkada sendiri disebabkan karena pertama, birokrasi patrimonial yang tidak  membedakan  antara  lingkup  pribadi  dengan  lingkup  resmi,  sehingga pelaksanaan  pemerintahan  dianggap  sebagai  urusan  pribadi  dan  kekuasaan  politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang dapat dieksploitasi.

Kedua, sistem administrasi birokrasi yang lemah dalam mencegah kebocoran dana bansos. Ketiga, kuatnya kolusi antara penguasa dengan pengusaha, birokrasi dan partai politik, walaupun hal ini sulit dibuktikan secara formal.

 
Rekomendasi

Berdasarkan permasalahan di atas, maka beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, percepatan reformasi birokrasi di pemerintah daerah dengan menghilangkan budaya patrimonial. Kedua, menghapus program dana bansos, dan menggantinya dengan mengalokasikan kepada program-program yang langsung dibutuhkan masyarakat, seperti peningkatan alokasi subsidi pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat.

Ketiga, kekuatan masyarakat sipil dan aparatur penegak hukum (khususnya KPK) harus dapat meningkatkan pengawasan terhadap institusi publik untuk mencegah penyelewengan anggaran.
Keempat, menata ulang pelaksanaan pemilu/pilkada agar tidak menimbulkan biaya tinggi bagi partai politik. Kelima, diperlukan sistem pendanaan partai politik yang akuntable dan transparan.


- Tentang Penulis (Arfianto Purbolaksono)-

Lahir di Jakarta, 15 Februari 1985, menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP), Universitas Jenderal Soedirman. Semasa kuliah, pria yang biasa disapa Anto ini, aktif di organisasi kemahasiswaan di Purwokerto. Sejak masa kuliah, Anto banyak aktif terlibat di berbagai lembaga riset. Beberapa riset-riset yang pernah diikuti adalah Survei Dinamika Internal Partai Politik Di Indonesia”; Evaluasi Pengelolaan Daerah Kepulauan Guna Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan”; “Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar”; “Jajak Pendapat Kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta”. Saat ini  Anto bergabung dengan The Indonesia Institute sebagai Peneliti Junior Bidang Politik. Anto memiliki minat pada isu-isu tentang ketahanan nasional, otonomi daerah, dan juga hubungan demokrasi dan agama. 

Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal Update Indonesia The Indonesian Institute Vol. VII, No.09 2003, ISSN 1979-1984 

2 komentar:

  1. Politik itu identik dengan uang, anda punya uang maka bisa bergabung di politik, anda tidak punya uang, maka cari uang dulu biar bisa masuk politik. Sebenarnya jika di dalam koridor demokrasi itu sah (#gaya bahasa SBY nih), asalkan uang yang anda cari itu sah dan tidak ada korupsi.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas kunjungannya gan...

    ReplyDelete