Review Perkuliahan Etika Birokrasi

Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si

A. Konsep Etika dan Permasalahan Birokrasi
Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga etika dapat dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat. 

Oleh karenanya, keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam tatanan lingkungan sosial. Bertens (dalam Ismail, 2009:5) menjelaskan etika  sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka etika bermuara pada nilai atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang. 

Adapun Keraf (Ismail, 2009:5) kaitannya etika dalam birokrasi mendefenisikan etika sebagai buah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menentukan, dan lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintah.

Pengaturan Perilaku Pemegang Jabatan Birokrasi. Kegiatan pemerintah diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggungjawab para pemegang jabatan, di berbagai posisi dan hubungan diantara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan tersebut.

Impersonalitas Hubungan. Pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindari pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan atasan maupun bawahannya. Maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.

Kemampuan Teknis. pada prinsipnya jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam jabatan itu. Biasanya, kualifikasi atas para calon dilakukan dengan ujian atau berdasarkan sertifikat yang menunjukkan kemampuan mereka.

Penjenjangan Karier. Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karir. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukkan, bukan melalui pemilihan seperti legislatif atau eksekuti. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan dari pada kepada rakyat (voter/pemilih). Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Bukan atas dasar like and dislike, memang hal inipun tidak bisa dihindari realitasnya di dalam tubuh birokrasi saat ini.

Pengertian kedua sebagaimana yang dikemukakan oleh Parkinsons, pandangan ini lebih cenderung bersifat negatif, karena birokratisasi tidak hanya diartikan sebagai pembengkakan volume birokrasi (peningkatan pegawai), tetapi juga penguatan hirarki. Pembengkakan birokrasi terjadi karena adanya kecenderungan kuat bagi setiap pegawai untuk memiliki bawahan, karena semakin banyak bawahan semakin tinggi otoritas dan prestisenya. Penguatan hierarki terjadi karena berlakunya hukum besi oligarkhi pada setiap organisasi yang semakin membengkak. Organisasi yang semakin membengkak memerlukan rentang kendali yang semakin panjang, sementara rentang kendali yang semakin panjang menempatkan sejumlah kecil orang pada posisi puncak hirarki.

Di Indonesia kasus jumlah pegawai (PNS) dinilai terlalu banyak, sehingga sedikit saja kenaikan gaji akan berdampak langsung pada anggaran negara, bahkan perekenomian nasional. Di samping terlalu banyak, birokrasi juga dianggap tidak merata baik menurut instansi maupun wilayah. Tidak meratanya secara fungsional karena terdapat sejumlah instansi yang sangat sibuk dari pagi sampai sore, tetapi tidak jarang juga ada instansi yang tidak terlalu padat kegiatannya. Di samping itu banyaknya meja, baik secara horizontal maupun vertikal, yang harus dilalui untuk mengurus sesuatu, sehingga memerlukan waktum dan dana yang semakin banyak, penguatan hirarki juga tampak pada kelangkaan keberanian mengambil prakarsa, karena keputusan sangat tergantung pada atasan dan pada pembagian kerja, yakni yang berupa beban diserahkan ke bawahan tetapi yang menimbulkan keuntungan ditangani sendiri.

Birokrasi yang ketiga mengandung arti perluasan kontrol birokrasi terhadap semua kehidupan masyarakat. Ekspansi kontrol birokrasi terhadap masyarakat dilakukan tidak hanya dengan mengambi alih semua urusan masyarakat yang sesungguhnya ranah swasta, tetapi juga dengan membuat regulasi (peraturan) terhadap berbagai urusan masyarakat (termasuk menyerap sumber ekonomi dari masyarakat). Begitu besar kontrol birokrasi terhadap hampir semua kehidupan masyarakat mulai dari soal perkawinan sampai pada  pada saat dikuburkan. Sehingga birokrasi digambarkan Orwell ini dilukiskan secara sarkastik sebagai “bernafas saja diatur oleh birokrasi”. Birokrasi yang ketiga ini merupakan penyakit (patologi) yang harus diberantas, kerena ternyata berhasil melumpuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat.

Terkait dengan etika birokrasi, secara ideal dalam kehidupan berbangsa Indonesia sudah ada ketetapan MPR No.VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dapat memberikan dasar pada pengejawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. TAP MPR ini memuat hal-hal berikut :

Etika dalam kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka melancarkan penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara, dimana dengan adanya etika yang dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan mengarah pada satu tatanan kenegaraan yang stabil, karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh masing-masing individu sebagai warga negara dapat teramalkan dengan baik”

Ketetapan MPR No VI/2001 merupakan tata aturan yang cukup etis dan mengandung pelbagai norma etika yang harus diterapkan dalam alur kebangsaan Indonesia guna mewujudkan bangsa yang merdeka dan berdaulat, menjunjung tinggi moralitas bangsa, serta dapat mendorong secara emosional warga bangsa ini sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas praksis kehidupan bangsa Indonesia, ternyata norma-norma etis tersebut seringkali hanya digunakan sebatas hiasan. Dalam pemberitaan di media baik cetak maupaun elektronik, hampir setiap hari dapat disaksikan sederat tayangan buruknya moralitas bangsa ini, mulai dari pejabat negara sampai perilaku warga negaranya.

Hampir seluruh pelosok negeri bahkan pelosok dunia tahu, bagaimana korupnya bangsa yang dulunya dikatakan paling etis dengan adat ketimurannya itu. Hukum sudah menjadi permainan politik kelompok berduit dan berkuasa, hampir semua kasus korupsi yang terjadi di negeri ini tidak ada penyelesaian yang menunjukkan tegaknya hukum di atas kepentingan politik. Kalau memang ada penyelesaiannya pun, maka tidak ubahnya seperti sandiwara politik para penguasa negeri. Gontokan anta relit parpol menjadi tontotan yang menarik di media massa, hal tersebut juga diikuti dengan ‘perang’ antar warga partai yang merasa pemimpinnya dan golongannya paling layak hidup di wilayah Indonesia.

Birokrasi pemerintah di satu sisi ternyata merupakan lahan ‘basah’ dari segenap perilaku yang menafikan nilai-nilai etika kebangsaan. KKN yang di masa reformasi ini menjadi target utama untuk diberantas ternyata banyak bersarang dalam struktur birokrasi pemerintahan. Para aparat birokrasi yang memiliki mentalitas korup, dengan mekanisme birokrasi yang tidak jelas dan berbelit-belit, kemudian mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan. Dari sinilah kemudian maka perlu adanya penguatan kembali pelaksanaan etika birokrasi dalam kinerja penyelenggaraan negara Indonesia ke depan. Berikut ini akan dideskripsikan lebih lanjut problem yang ada dalam kinerja birokrasi di Indonesia.


B. Kultur Birokrasi dan Optimalisasi Pelayanan Publik
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat paternalistik.

Koentjaraningrat (1987) menganggap bahwa sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa, khususnya menunjukkan status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi. Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Menurut Dwiyanto (2002), hal ini kemudian membuat birokrasi tidak merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan, melainkan justru masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.

Corak budaya agraris yang masih memiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang masih berbasis pada kultur agraris tersebut sentimen komunal lebih menonjol dalam bentuk komitmen untuk menghindari konflik. Pola sikap dan perilaku birokrasi dalam masyarakat sampai saat ini terlihat masih terpengaruh oleh budaya tersebut. Sikap aparat birokrasi yang tidak berani melakukan kritik kepada atasan atau pimpinan dalam perlakuan-perlakuan birokratis yang sering merugikan kepentingannya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditentang, bahkan mereka enggan menuntut hak-hak mereka untuk dilayani dalam birokrasi.

Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang hirarkis birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsive terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Birokrasi menjadi sebuah institusi yang seolah tidak mau mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan publik. Birokrasi kemudian seolah menjadi kekuatan besar yang tidak ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya.

Netralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sentralisme birokrasi juga telah menumbuhkan kultur birokrasi yang terjebak dalam pengembangan kultur vertikal daripada horizontal yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi (penyakit) dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi.

Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi telah berorientasi ke atas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitive terhadap nilai, aspirasi dan kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur kekuasaan yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu untuk mengembangkan sistem kerja yang fleksibel, bahkan tidak mampu untuk mengembangkan semangat kerjasama dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi sebuah kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik melibatkan beberapa bidang dan instansi. Lemahnya pembentukan semangat kerja seringkali membuat aparat birokrasi enggan, atau bahkan tidak dapat mengerjakan tugas di luar tugas rutinnya, sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang akhirnya banyak dirugikan.

Tulisan ini merupakan review perkuliahan Etika Birokrasi di Ilmu Politik Universitas Siliwangi.. Direview oleh Ali Andreas, M.Si (Dosen Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya).

2 komentar: