Model Politik "Biangkerok"


Dalam realita politik negeri kita ini, pernahkah kita memikirkan satu fenomena aneh yang sulit dibendung?. Disebut aneh karena dunia politik yang seharusnya logika yang bersih yang dipakai untuk kesejahteraan bersama dalam banyak fenomena ini justru dikesampingkan. Respon masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin kita (baca : presiden) melahirkan pola yang unik. Kita mengangkat mereka dengan semangat optimistis, tetapi menjatuhkannya sebagai seorang pecundang, kalau tidak dibilang sebagai orang jahat. 

Coba kita lihat Soekarno yang ketika diangkat sebagai presiden, masyarakat rame-rame mendukungnya sebagai pemimpin penyelamat dan pejuang kemerdekaan. Namun dipenghujung kekuasaannya, Soekarno sama sekali tidak dilirik oleh bangsa Indonesia, bahkan dalam beberapa sejarah pun kematiannya mengandung banyak misteri dan tidak banyak orang yang tahu. Lebih ekstrim lagi beliau dianggap terlibat dengan Gerakan 30 S PKI tahun 1965. Begitu pun dengan Soeharto yang di elu-elu kan ketika detik-detik pengangkatan dan dianggap sebagai penyelamat Pancasila dari gerakan kudeta PKI, namun su’ul khatimah (berakhit tragis) di penghujung kekuasaannya dengan dilekatkannya berbagai atribut negatif kepadanya.

Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya Habibie yang bahkan lebih tragis lagi, beliau mendapatkan limpahan kekuasaan yang secara tidak sengaja dari kejatuhan Soeharto, mendapat beban dalam membangun negara karena rakyat sudah terlanjur mengeneralisir (sakompet daun) dirinya sama dengan Soeharto. Dalam istilah sunda kata yang tepat untuk ini adalah sakompet daun kan. Penguasa ini pun dicerca habis-habisan oleh berbagai elemen sebagai biangkerok lepasnya Timor Timur dari Indonesia. 

Selanjutnya Gus Dur diangkat secara legitimate lewat drama permainan Poros Tengah, namun tidak lama berselang beliau dijatuhkan kembali oleh pihak-pihak yang dahulu mendukungnya di Poros Tengah, bahkan melekat kepadanya berbagai kasus seperti Bullogate dan pemimpin yang otoriter (saat itu Gus Dur mengeluarkan Dekrit untuk mengcounter MPR yang akan menurunkannya). Megawati mendapat limpahan haknya sebagai presiden pasca kejatuhan Gus Dur, dan berakhir dengan banyak cercaan, bahkan dianggap sebagai biangkerok lepasnya asset tak terkira harganya, pulau Blok Ambalat. Begitu pula dengan presiden kita saat ini yang terpilih sangat legitimate dari hasil pemilihan langsung yang pertama di negeri ini. Dalam perjalanan kepemimpinannya penuh dengan tantangan, tidak hanya tantangan akan keterpurukan negara ini saja, tetapi resistensi yang begitu besar sejak penghujung pemerintahannya yang pertama dan semakin menggila di pemerintahan yang kedua saat ini. Walaupun pemerintah mengklaim ada banyak kemajuan dalam pemerintahannya, namun banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya gagal.

Fenomena di atas menguatkan satu pola persepsi masyarakat terhadap penguasa  negeri kita atau sebaliknya yang cenderung menyerupai model politik biangkerok atau juga dalam istilah Sunda politik sakompet daun. Ditambah ketakutan-ketakutan Rezim itu sendiri terhadap kritik rakyatnya, menjadikan beberapa pemimpin ini mempraktekkan model kekuasaan yang hegemonik dan dominatif seperti Soekarno dan Soeharto. Rakyat dengan mudahnya terbuai oleh kehebatan dan kebaikan pemimpin, tetapi giliran pemimpin tersebut membuat kesalahan dengan mudah pula sang pemimpin dijadikan biangkerok, seolah-olah semua kehancuran yang terjadi pemimpin tersebut yang melakukannya. Semua kebaikannya lenyap tak berbekas. Dalam model ini masyarakat cenderung mengeneralisasi persoalan yang belum tentu terjadi sebenarnya. Istilah inilah yang saya namakan sebagai politik sakompet daun. 

Apa yang salah sebenarnya dari pola yang terbentuk saat ini?. Jawabannya sebagai model demokrasi yang plural dalam membentuk kondisi ruang publik (public sphere) jelaslah tidak ada yang salah. Namun jika kita menginginkan negara ini mengalami kemajuan, sepertinya model ini harus ditinggalkan diganti dengan model baru dengan tidak menghilangkan akses public sphere sebagai prasyarat demokrasi. Model yang saya maksudkan lebih cenderung ke model komunikasi dua arah dan model common work. Istilah yang saya buat ini saya gunakan untuk membayangkan politik Indonesia yang saling padu-memadu antara pemerintah dengan semua elemen masyarakat. 

Harus Bagaimana?
Untuk bisa berpadu keduanya memang bukan persoalan mudah, perlu ada langkah-langkah yang ditempuh oleh keduanya, bagi pemerintah harus mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat dengan memiliki integritas kepemimpinan nasional yang  tinggi, independensi dan harga diri di dunia internasional yang  tidak dapat didikte oleh siapa pun dan negara manapun. Mampukah pemimpin kita seperti itu ?. Ini menjadi PR pemerintahan SBY saat ini. Jika menginginkan rakyat bekerja bersama dengan pemerintahannya, maka PR tersebut harus segera teratasi. Cibiran-cibiran saat ini justru sering dialamatkan pada lemahnya pemerintahan di bidang ini. Bahkan negeri kita saat ini sering dianggap compradornya Amerika.

Satu hal lagi yang bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rezim ini adalah kebijakan yang populis. Kebijakan yang populis dalam tulisan ini ditafsirkan enteng saja yakni kebijakan yang lebih banyak memihak pada golongan menengah ke bawah tidak seperti saat ini yang cenderung pro pemodal semata. Pemerintah harus memperhatikan kepentingan golongan mayoritas di negeri ini jika pemerintahan ingin kuat, jangan hanya memikirkan rente semata.

Dipihak lain masyarakat pun perlu ada perbaikan cara pandang berpolitik yang cenderung menjurus ke politik sehat dan fair. Elemen masyarakat seperti kampus, NGO, Ormas, pers dan lainnya jangan sampai menempatkan rezim sebagai musuh. Tetapi menempatkannya sebagai pengelola kebijakan yang perlu dikritik, jika memang pemerintahan tersebut masih bisa diperbaiki. Sedang jika memang tidak, tidak ada jalan lain, gerakan sosiallah yang berlaku, ketika lewat jalur formal seperti proses di lembaga perwakilan mandul. Namun yang saya perhatikan saat ini banyak elemen masyarakat yang menempatkan rezim SBY sebagai musuh yang  tanpa alasan yang kuat harus dilawan. Isu-isu yang diusung dalam banyak aksi pun sangat miris yakni mengkerucut pada penumbangan rezim tanpa paham betul mengapa harus mengambil jalan tersebut. Isu-isu yang berkembang pun cenderung kepada isu-isu aneh yang kurang substansial dalam konteks memperbaiki negara semisal pendudukan istana, aksi kepung istana, kepung Jakarta dan lain sebagainya yang berkonotasi pada penurunan rezim SBY. Mereka menganggap pemerintah SBY sudah gagal dan tidak mampu lagi meneruskan kepemimpinan nasional. Lebih parahnya lagi para pemimpin yang eks pemerintahan dan saat ini terlempar dari kekuasaan ikut bergabung menyuarakan hal ini. Seolah-olah mereka ini problem solver yang paling tahu solusi memperbaiki negara. Padahal mereka sendiri pun aktor-aktor yang dianggap pernah gagal memimpin dan mengelola negeri ini. Mereka semua menganggap SBY sebagai biangkerok kegagalan ini.

Lebih lucu lagi partner presiden (eksekutif) dalam pemerintahan pun melakukan politik cari aman dengan arus main-stream masyarakat yang belum tentu benar. DPR seolah-olah kritis dan siap kapan pun menyerang presiden dan para pembantunya untuk kepentingan rakyat, walaupun dalam dataran tertentu terkesan kesiangan. Coba lihat menguatnya opini menolak pembangunan gedung baru DPR setelah opini masyarakat terbentuk. Mereka sibuk mengamankan posisinya masing-masing, ambisi pribadi dan semangat mengganti jabatan yang lebih tinggi. Lebih culasnya lagi kesibukan mereka tersebut dibumbui dalam rangka atas nama kepentingan rakyat. Dalam setiap kesempatan DPR  (non-Demokrat) selalu menuduh pemerintahan SBY sebagai biang kerok kemunduran negara ini.

Lebih lucunya lagi SBY sebagai penguasa yang mendapatkan resistensi besar dari elemen masyarakat saat ini terkesan cengeng. Integritas kepemimpinan nasional yang kuat kurang terlihat dalam kepemimpinan SBY  saat ini. Kritik-kritik yang bertubi-tubi dari rakyat membuat keder SBY. Padahal sebenarnya jika SBY mampu menjadikan kritik sebagai obat dan jadikan para pengkeritik sebagai tim work dalam memperbaiki bangsa dan negara ini sebenarnya merupakan solusi yang akurat untuk politik saat ini. SBY perlu memperbaiki komunikasi politik ke masyarakatnya, karena tidak semua personalan pribadinya harus dengan serta merta dibicarakan dengan diliput media dan ditonton ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan oleh mancanegara. SBY harus menjadikan legitimasinya yang kuat (di atas 70 %) saat dipilih sebagai frame dalam memahami dukungan konstituen. Maka setelah terpilih estimasi tersebut harus dibalik menjadi  hanya 30 % saja yang pro dengannya. Hal ini penting sebagai frame berpikir seorang penguasa supaya tahan dari berbagai kritik. Untuk pada gilirannya nanti kritik-kritik tersebut diolah menjadi perbaikan yang signifikan dalam kepemimpinannya ke depan. Semoga Indonesia tambah jaya, dan secepatnya keluar dari politik yang serba tidak pasti ini. Amin..

Ditulis oleh : Subhan Agung, M.A.
Sawit Sari, Yogyakarta, 08 Juni 2011.


6 komentar:

  1. @HAJARHABIS..Terima kasih kunjungannnya gan..kapan2 berkunjung ke blogmu..

    ReplyDelete
  2. politik di indonesia..

    hanya sandiwara beLaka..

    bnyak aksi tipu2nya....

    fuck poLitik di Indonesia

    ReplyDelete
  3. Terima Kasih atas commet nya kapan2 berkunjung balik..

    ReplyDelete
  4. polotik indonesia bnyak koruptornya!! mementingksan diri sendiri

    ReplyDelete