Membangun Oposisi Menuju Demokrasi Substansial

(Tinjauan Kritis Tenggelamnya Oposisi Partai Politik Pada Pemerintahan Sby Jilid II

Oleh : Mohammad Ali Andrias[1]

          Abstrak 
Ketidakberdayaan munculnya partai politik yang berani mengatakan menjadi oposisi pemerintahan pada kabinet SBY jilid II, merupakan fenomena politik yang “unik” dalam membangun demokrasi. Selama sejarah perpolitikan di Indonesia selain pangkal permasalahan adalah sistem politik yang memungkinkan oposisi di Indonesia tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, akibat sentralistik, elitisme, dan antipublik, namun juga berpusar pada kekakuan struktur politik dan keterbelakangan sikap kultural masyarakat Indonesia yang paternalistik. Maka kerapkali kita selalu membaca dan menganalisis bahwa perkembangan kehidupan oposisi bertumpu pada kata demokratisasi.
Gelombang demokrasi yang substansial menjadi agenda penting di Indonesia, namun perlu ada komitmen pula dari wakil-wakil rakyat dan golongan menengah untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia. Jangan sampai pandangan Lord Acton terhadap kekuasaan menjadi hal lumrah di Indonesia. Pemerintahan yang dipimpin oleh siapapun, jika sistem politik dan kultur yang sudah menjadi tradisi tidak akan menghadirkan sikap oposisi yang berani dan mantap.
Sekalipun agak klise, namun tampaknya memang inilah agenda utama sistem politik kita saat ini. Yakni demokratisasi dalam pengertiannya yang mendasar (fundamental) dan substansial. Yang menjadi kebutuhan operasional dan konkret saat ini pertama-tama adalah memperbaiki cara pandang kita tentang proses demokratisasi. Demokrasi yang ditarik dan menumpukkan diri pada sebuah lingkaran elit politik cenderung akan menghasilkan sebuah demokrasi semu dan setengah hati. Diperlukan cara pandang baru yang melihat demokratisasi sebagai sebuah proyek massal yang menyentuh penguatan seluruh elemen masyarakat sipil. Demokratisasi dengan demikian tidak dipandang sebagai “gerakan menanti negara berhati baik”, melainkan gerakan mendesak untuk mengubah sikap negara melalu perubahan komposisi politik di dalamnya.

Abstract

Helplessness emergence of political parties would dare to say the opposition to the government of SBY cabinet volume II, is a political phenomenon of "unique" in building democracy. During the history of politics in Indonesia in addition to the base problem is a political system that allows the opposition in Indonesia can not grow and develop well, due to centralized, elitism, and antipublik, but also spun on the rigidity and backwardness of the political structures of cultural attitudes of Indonesian society is paternalistic. So often we are always reading and analyzing the opposition that the development of life rests on the word of democratization.
A substantial wave of democracy becomes an important agenda in Indonesia, but also need to have a commitment from the representatives of the people and the middle class to improve the political system in Indonesia. Do not let Lord Acton's view of power become commonplace in Indonesia. Government led by anyone, if the political system and culture that has become a tradition would not present a brave opposition and steady.
Although a bit cliche, but it appears it is the main agenda of our political system today. Namely the democratization in the sense that basic (fundamental) and substantial. Which became operational needs and the current concrete is first and foremost improve the way we view the process of democratization. Democracy is pulled and piled on a circle of political elite tends to produce a false democracy and half-hearted. Needed a new way to see democratization as a massive project that touches the strengthening all elements of civil society. Democratization is thus not seen as a "gesture of good-hearted look forward", but urged the movement to change attitudes through changes in the composition of state politics in it.
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 
Gelombang demokratisasi substansial sudah mengharu biru dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, yang sebelumnya dicengkram oleh rezim otoritarian Soeharto. Dinamika kehidupan  sosial politik mengalami percepatan yang luar biasa. Maraknya gerakan sosial, tumbuh berkembangnya partai yang sebelumnya dibatasi untuk melakukan politisasi, dan berkembangnya kebebasan politik untuk melakukan kritisme masyarakat yang menggejala setelah Soeharto tumbang. 

Dalam konteks ini, tahun 1998 adalah tahun yang sangat penting dalam transisi demokrasi yang substansial di Indonesia. Inilah periode yang membuka kemungkinan bagi Indonesia untuk dikategorikan sebagai salah satu negara yang turut serta dalam gelombang demokratisasi global, sebagaimana yang diutarakan oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave yang masih menjadi bahan perdebatan politik. Tetapi sebaiknya kita juga jangan terjebak oleh optimistis yang terburu-buru. Perkembangan dramatis yang terjadi di Indonesia sepeninggal mendiang Soeharto. belum bisa dipastikan sebagai tahap awal demokrasi yang ideal. Yang lebih terlihat dalam konteks itu, adalah ketidakpastian apakah Indonesia menuju ke sistem baru yang demokratis, ataukah hanya terselingi dalam kurun waktu yang relatif pendek oleh sebuah musim semi kebebasan, yang kemudian kembali menjalani rekonsilidasi otoritarianisme gaya baru. Meminjam redaksi O’Donnel, masih menjalani fase transisi demokratisasi. 

Saat ini, pembangunan demokrasi secara esensial kembali diuji di Indonesia, kali ini pasca pemilu 2009 suatu periode politik yang kompleks. Partai politik yang kalah dalam perolehan suara ternyata tidak berani bahkan terkesan malu-malu untuk memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Partai politik yang notabene partai besar PDIP dan Golkar secara tegas berkeinginan untuk merapat dan berkoalisi dengan pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) -Boediono dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pilpres dan Pileg 2009 dengan perolehan suara dalam dua pemilu lebih dari 60%. PDIP dijanjikan menempatkan Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR dan memberikan sejumlah kursi menteri kepada para petinggi PDIP. Begitu juga kursi menteri akan dibagikan kepada elite dari Partai Golkar, kedua-duanya untuk mendapatkan jabatan politik sudah terealisasi hingga redaksi ini turun.  

Pernyataan ini dipertegas oleh SBY dalam pidato kemenangannya dalam Pilpres 2009 yang menyatakan, 'Kompetisi politik telah usai saatnya kita bersatu'. Dari ungkapan ini secara substansial adanya keinginan SBY untuk membangun pemerintahan 2009-2014 secara bersama-sama yang kuat antarsemua parpol. Meski ada partai yang berani beroposisi (misal Hanura dan Gerindra). SBY tetap percaya diri melenggang untuk memimpin pemerintahannya dengan langgeng hingga akhir periode.

Partai Demokrat sebagai partai pengusung pasangan Capres-Cawapres SBY-Boedioeno. Mampu mendominasi pesaing-pesaing politik terberatnya (Golkar dan PDIP) untuk memimpin negara ini selama lima tahun mendatang. Kendati kekisruhan penyelenggaraan pemilu 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan salah satu pemilu terburuk pasca reformasi, sejumlah kalangan politik dan sosial mengklaim bahwa pemilu 2009 ini berhasil dilaksanakan tanpa menghasilkan kekerasan fisik dan separatisme. 

Kendati demikian, pelaksanaan pemilu 2009 tidak menghasilkan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis. Implementasi demokrasi di Indonesia masih merupakan demokrasi minimalis sebatas demokrasi elektoral, formal dan prosedural sebagaimana dipandang Schumpeter, demokrasi ini dipandang tidak memuaskan oleh sejumlah ilmuwan politik dan kalangan aktivis prodemokrasi. Demokrasi minimal dalam artian pemilu hanya berfungsi untuk menghasilkan penguasa, dan lebih tidak mampu lagi menghasilkan public policy yang relevan, sehingga gagal mencukupi public goods dan menjamin proses politik secara ideal, yang merupakan ciri demokrasi maksimal. 

Demokrasi tanpa oposisi adalah 'demokrasi kuburan', yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa program alternatif. Padahal, demokrasi modern membutuhkan checks and balances dan kontrol yang bersifat politik dari DPR. Ketika seluruh partai berkoalisi, DPR hanya akan menjadi tukang ketuk palu (rubber stampt) dan mau menuruti kehendak pemerintah. Sementara kepentingan publik ketika ditekan oleh negara dengan segala kebijakannya diabaikan oleh elit-elit politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Maka vox populi vox dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) telah berubah menjadi vox elite vox dei (suara elit sebagai suara Tuhan) Hal ini tentu saja pemerintahan ini hanya mengulangi era pemerintahan Soeharto dengan format yang berbeda. Ini terjadi karena persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik. 

Selama kurun waktu 32 tahun (1967-1998) di era Orde Baru para politisi tenggelam dalam kehidupan sistem politik otoritarian yang tidak kenal oposisi. Hal ini membuat partai atau politisi tidak terbiasa membangun tradisi dan kultur politik berbeda dengan penguasa, baik dalam tataran artikulasi maupun konsep operasional. Jika fenomena ini menjadi kenyataan, berarti dalam pemerintahan SBY kelak tak akan ada partai oposisi secara permanen, baik di pemerintah maupun di parlemen. Ini juga menunjukkan tak konsistennya PDIP sebagai partai besar yang tidak mampu memenangi pemilu 2009, untuk mempertahankan sikap politiknya sebagai partai oposisi sebagaimana dilakukan pada periode sebelumnya 2004-2009. 

Pemerintahan SBY-Boediono berpotensi sulit dikontrol dan mudah disalahgunakan jika semua kekuatan politik terhipnotis dan silau untuk masuk ke dalamnya. Tiadanya pihak yang mau menjadi oposisi di pemerintahan juga menunjukkan, tujuan utama elite politik Indonesia hanya memperoleh kekuasaan semata. Sesungguhnya demokrasi mensyaratkan adanya kontrol dan ini diharapkan dari pihak yang kalah dalam pemilu. Untuk itu, mereka sebaiknya berada di luar kekuasaan dan sikap itu juga untuk menunjukkan konsistensi sikap oposan. Hal yang tidak logis dalam demokrasi jika semua pihak akhirnya bersatu di pemerintahan.

Dalam dunia politik praktis mungkin hal ini sah-sah saja, kekuasaan punya kecenderungan untuk menindas dan korupsi, dan kekuasaan absolut sudah pasti akan cenderung untuk menindas dan kian korup. Sebagaimana disebut oleh Lord Acton, “power attend to corrupt, absolute power attend to corrupt absolutely”. Itu sebabnya mengapa secara teori, lahirnya pemerintahan yang kuat memang harus diimbangi dengan kekuatan oposisi yang kuat. Tanpa itu, bukan pemerintah yang kuat yang lahir, melainkan pemerintahan otoriter dan korup. Karena itu pula, perlu adanya pembatasan-pembataan terhadap kekuasaan politik menjadi sangat perlu untuk dilakukan (Khoiruddin 2004 : 168).

Namun, di era reformasi ternyata tidak segera melahirkan pemerintahan yang kuat sekaligus oposisi yang kuat. Artinya, keseimbangan sistem politik yang ideal memang belum pernah dirasakan publik Indonesia. Sekaligus tradisi dan budaya untuk menjadi oposisi penguasa belum pernah benar-benar tumbuh dalam sistem politik kita. Eksistensi oposisi di Indonesia bahwa partai-partai politik kebanyakan berorientasi semata-mata pada kekuasaan atau cenderung oportunis. 

Memang secara teori tidak salah apabila partai politik bertujuan merebut kekuasaan. Namun menjadi persoalan ketika partai seringkali tidak siap berada pada posisi oposisi.Sebagian partai merasa tidak nyaman pada posisi oposisi. Kekuasaan pastilah dibagi-bagi diantara sesama partai koalisi. Tidak kepada kelompok berposisi oposisi. Kesempatan-kesempatan yang bakal menguntungkan secara ekonomi bagi partai lebih mungkin akan dinikmati oleh kelompok koalisi.

Kendati demikian, tidak adanya partai oposisi di dalam pemerintahan SBY-Boediono bukan harga mati, masih banyak langkah yang bisa ditempuh oleh kompetitor politik lainnya untuk memberikan kontrol dan pengawasan kepada pemerintah, agar pemerintahan SBY-Boediono tidak sebagaimana yang dikatakan Lord Acton sebelumnya, sehingga demokrasi yang ideal di Indonesia bisa terwujud. Sementara itu, mengambil tulisan Sunny Tanuwidjaja (dalam opini Kompas edisi Selasa 23 Agustus 2009). Untuk mendorong kontrol dan pengawasan pemerintahan tidak melulu lewat oposisi. Dalam konteks Indonesia, sangat tidak logis dan kondusif bagi partai untuk menjadi oposisi, bukan tidak mungkin bahwa fungsi kontrol oposisi dilakukan dari dalam koalisi, apalagi jika pemerintah serius membangun pemerintahan yang kuat, sekaligus mengemban reformasi menuju demokrasi di Indonesia. 

Membangun oposisi adalah tugas yang tertunda-tunda selama pembentukan negara Indonesia mengambil sistem politik demokrasi. Tugas ini menjadi beban semua segmen politik yang saat ini masih mengalami (re) politisasi. Tugas tersebut memang bukan tugas yang mudah dan tertunda-tunda karena memang ada beberapa alasan. Pertama, dalam 40 tahun terakhir, politik Indonesia mengalami peniadaan tradisi oposisi. Memulai sesuatu yang sudah lama tidak ada tentu saja akan memancing kebingungan dan kegagapan. Kedua, masih ada kecenderungan pada berbagai kalangan politik untuk lebih senang mengurusi titik pecah, bukan membangun titik temu. Ketiga, berbagai kalangan di Indonesia, partai politik, mahasiswa saat ini kelihatan mengalami disorientasi, terutama dalam kerangka pilihan antara menghela demokratisasi secara konsisten dan ikut menyokong kembalinya otoritarianisme secara diam-diam tanpa disengaja. Keempat, surplus percaya diri masih menjadi kecenderungan umum dimana-mana. Kelima, banyak kalangan politik yang tampaknya salah duga menyangkut reformasi. Mereka kira reformasi adalah sebuah proses yang bisa dilakukan dalam jangka pendek, padahal reformasi memerlukan proses yang lama dan butuh kekonsistenan yang mantap (Saefullah, 1999: xxiv). 

B. Latar Belakang Masalah 
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, apakah budaya dan tradisi politik masyarakat Indonesia dan sistem politik presidensial, kenyataannya tidak bisa melahirkan oposisi yang berani mengambil sikap ketika kalah mengambil kekuasaan ?. Langkah apa sebaiknya dilakukan untuk mencegah kembalinya Indonesia menuju periode otoritarianisme gaya baru pada pemerintahan SBY ?

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Hakikat Oposisi Politik  

Oposisi dalam beberapa kalangan penguasa atau di dalam pemerintahan sering diartikan sebagai penentang an sich. Oposisi sebenarnya bukanlah penentang, oposisi bukan pula sekedar menyatakan ketidaksetujuan, dan tukang teriak-teriak semata. Oposisi juga bukan pula sebagai kalangan atau organisatoris yang melawan secara membabi buta, ketika ketidaksetujuan dengan lawan politik penguasa.

Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggaris bawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada di jalan yang benar. Maka dalam konteks ini. Beroposisi politik berarti melalukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kesalahan atau kekeliruan dalam melakukan kebijakannya. Oposisi berfungsi mengabarkan kepada khalayak (publik) kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaiknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi “menggarisbawahinya” sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenarannya itu. (dalam Saefullah Fattah, 1999 : xi-xii).

Dalam konteks ini, hakikat oposisi terletak pada kejernihannya memandang segala sesuatu, serta konsistensi sikapnya dalam menyokong kebenaran. Untuk memenuhi hakikat inilah lalu muncul kebutuhan lain : tidak partisan secara politik. Oposisi seyogyanya tidak memiliki sikap partisan terhadap kepentingan kelompok. Sikap partisan yang ditolerir dari oposisi adalah pemihakannya pada kebenaran. Dan karena perspektif tentang kebenaran (dan kekeliruan) yang hidup di tengah masyarakat itu sangat beragam. Maka secara sosial kebenaran pun bisa menjadi beragam. Di sinilah sikap partisan diperkenankan, yakni partisan terhadap salah satu perspektif kebenaran (dan kekeliruan) tadi. 

Dalam politik kebenaran biasanya diukur dari proses dan produk. Pada tingkat proses, kebenaran hanya bisa diwujudkan keterlibatan sebanyak dan seluas mungkin perspektif dalam perumusan kebijakan. Pada tingkat produk kebenaran bisa dilihat dari seberapa adil setiap rumusan dan implementasi sebuah aturan atau kebijakan. Maka, kebenaran dalam politik dapat didefinisikan secara pragmatis sebagai kebijakan publik yang partisipatif dan menghasilkan keadilan. Pekerjaan oposisi, dengan demikian membangun model partisipatif dalam proses politik dan mendorong agar semua elemen politik yang bekerja hanya menghasilkan satu jenis out put saja, yakni keadilan. Dalam kerangka itu, oposisi yang benar sebetulnya mitra kerja kekuasaan yang paling baik. Oposisi itu justru membersihkan kekuasaan dari kemungkinan menyeleweng dari keinginan universal yang dimiliki paling banyak orang, yakni partisipasi dan keadilan.

Sementara dalam kerangka Fahmi Huwayadi, sebagai pemikir Mesir dalam bukunya Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani : ISu-Isu Besar Politik Islam (1996:132). Oposisi dalam politik Islam adalah kegiatan menyerukan kepada kebenaran dan melawan kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam kerangka inilah ia menegaskan bahwa oposisi bukanlah sekedar hak tapi juga kewajiban.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, Bagaimanakah oposisi sebagai hak dan kewajiban bisa tertunaikan atau diimplementasikan ?. Prasyarat terpenting dari kehidupan oposisi adalah prasyarat sistemik, yakni adanya sebuah sistem yang memang membiarkan tumbuhnya keragaman, kompetisi, antarkelompok terbina, ideologi toleransi tumbuh, dan mekanisme pengawasan berjalan dengan efektif. Ketika prasyarat sistemik itu tersedia maka masyarakat dan seluruh elemen sistem politik mau tidak mau akan mengalami proses pendewasaan kultural yang sejalan dengan kebutuhan membangun oposisi. Proses pendewasaan kultural ini secara sederhana bisa digambarkan sebagai proses pembentukan kesiapan masyarakat dan semua elemen sistem politik untuk berbeda, berkompetisi secara sehat, menjalani sirkulasi kekuasaan secara arif, menjadi pemenang yang baik sekaligus menjadi pecundang yang baik, dan menjalani perbedaan dengan baik bukan sebagai biang masalah sosial dan politik.

Dengan demikian sistem dan kultur itulah oposisi akan tumbuh. Namun sejarah tidak pernah berjalan secara linier dan seragam di mana-mana. Sulit menemukan sebuah negara yang bisa dengan mudah menjalani pembentukan sistemik dan pendewasaan kultural yang sejalan dengan kebutuhan eksistensi oposisi itu. Di banyak tempat, khusus di Indonesia hari ini. Membangun oposisi ternyata harus merupakan pekerjaan yang amat sulit, sebagaimana yang sudah dipaparkan penulis. Kita membutuhkan energi dan kesiapan untuk membangun oposisi tersebut. Sebab, baik prasyarat sistemuk maupun kultural yang diperlukan justru sudah terbabat hamper habis oleh praktik politik yang keliru selama sekian lama pada era Orde Baru. 

B. Oposisi Tidak Dikenal dalam Sistem Politik Presidensil 
Jika institusi formalnya adalah partai politik bahwa terdapatnya satu atau beberapa partai politik yang mengambil posisi menentang pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Artinya, partai yang kalah dalam pemilu secara tegas memposisikan diri sebagai kelompok oposisi yang akan mengkritisi dan mengawasi secara ketat kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkuasa. Persoalannya, apakah setiap negara dan dalam semua sistem pemerintahan dikenal adanya oposisi? Memang secara teori oposisi sangat terang pada negara yang menganut sistem parlementer.

Dalam sistem parlementer, posisi berhadap-hadapan antara pemerintah dan oposisi, pihak oposisi membentuk pula menteri bayangan (shadow ministers). Menteri bayangan adalah menteri-menteri yang dibentuk oleh oposisi untuk mengimbangi dan mengawasi pekerjaan pemerintah. Misalnya pemerintah memiliki 20 menteri, maka partai oposisi yang menjadi lawan pemerintah akan pula membentuk 20 posisi yang berfungsi sebagai menteri bayangan. Masing-masing menteri bayangan akan secara ketat mengawasi menteri “mitranya” yang duduk di pemerintahan. Tentu saja menteri yang sebenarnya adalah menterinya pemerintah. Menteri oposisi lebih kepada menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan.

Memang parlemen kita sekarang jauh lebih kuat dalam menjalankan ketiga fungsinya (fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan) namun tidak merubah sistem dasar ketatanegaraan kita yang menganut sistem presidensil. Berbeda jauh dengan sistem parlementer dimana oposisi benar-benar dipraktekkan. 

Mengenai sistem presidensial murni yang memisahkan secara tegas garis antara eksekutif dan legislatif. Oposisi lazim muncul dalam sistem parlementer dimana eksekutif/pemerintah menyatu dengan parlemen. Pemimpin tertinggi pemerintahan yang biasanya disebut Perdana Menteri berikut kabinetnya adalah bagian dari parlemen. Begitu juga sebaliknya, pimpinan oposisi adalah bagian dari parlemen. Artinya, dalam pemerintahan parlementer, pemilihan hanya dilaksanakan satu kali dalam periode tertentu untuk memilih seluruh anggota parlemen termasuk kabinet. Lazim terjadi, pimpinan partai pemenang kemudian menjadi perdana menteri. Indonesia pernah mencoba melakukan praktik parlementer pada awal kemerdekaan, walaupun kurang berhasil.

Masa jabatan pemerintahan di bawah presiden telah ditentukan secara tegas selama lima tahun. Dalam iklim oposisi, masa jabatan pemerintah sangat bergantung pada kemampuannya memimpin. Pemerintahan dapat jatuh kapan saja apabila mosi tidak percaya (motion of no confidence) lolos di DPR karena dianggap wanprestasi. Pilihan bagi pemerintah yang jatuh tidak banyak, mengundurkan diri, pemilu ulang atau tampilnya oposisi di pemerintahan. Dalam amandemen UUD 1945, pemerintahan hanya dapat jatuh apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan presiden, yang kemungkinannya sangat kecil. Artinya, walaupun janji kampanye tidak diwujudkan oleh pemerintah, hampir tidak ada peluang untuk menjatuhkan presiden selama tidak melakukan tindak kriminal.

Tidak adanya dua kekuatan utama di DPR, antara pemerintah dan oposisi. Dua kekuatan besar ini merupakan hasil dari sistem pemilu Majoritarian dimana setiap daerah pemilihan (Dapil) hanya mengirimkan satu wakil ke parlemen (single member district). Artinya, hanya kandidat dengan lebih dari 50% suara yang bisa melenggang ke parlemen. Indonesia memakai sistem Proportional yang mengirimkan banyak Caleg ke DPR untuk setiap dapilnya (multi member district). Sistem proportional lebih menjamin terwakilinya kaum minoritas untuk menyuarakan aspirasinya ke dalam sistem. Namun, sistem ini tidak menjamin terjadinya pengerucutan kekuatan karena aspirasi yang tersebar dalam berbagai partai politik. Jikapun koalisi dilakukan, keberlangsungan kontrak politik tidak akan dapat dijamin mengingat tajamnya perbedaan kepentingan tiap partai. Kekuatan politik di parlemen tetap tersebar di beberapa partai.

Praktis sejak sistem parlementer dihapuskan, berlanjut ke Orba dan diteruskan di era reformasi, tidak ada tradisi oposisi di DPR. PDI-P dan Golkar berusaha memposisikan diri sebagai partai oposisi sejak kalah di Pilpres 2009, terbukti kurang menunjukkan hasil yang memuaskan. Oposisi tidak dikawal oleh pemimpin partai di DPR sehingga tak cukup bergigi dan tidak terarah. Selama lima tahun berjuang menjadi oposisi, Megawati dalam debat capres pertama ketika menanggapi SBY berkata dengan kurang lebih “karena pak JK setuju, saya sebagai oposisi juga setuju.” Oposan sangat jarang seiya sekata dengan pemerintah penguasa, kecuali menyangkut isu tertentu. Oposan sedapat mungkin berbeda dengan mengambil titik pandang yang lain dari sebuah kasus.

Pendeknya, walaupun setengah mati memposisikan diri menjadi oposisi, yang terjadi justru oposisi setengah hati, karena absennya daya dukung sistem politik.  Lebih baik menjadi kekuatan kritis di parlemen tanpa harus melabeli diri dengan oposisi.

C. Konsolidasi Demokrasi 
Demokrasi Indonesia hanya sebagai jargon politik pemerintah, sementara secara substansi mengalami pasang surut. Sementara pada era transisi ini memang memiliki kemungkinan merosot kembali menjadi otoritarianisme. Dalam buku Membangun Oposisi “Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan” Eep Saefullah Fattah (1999:viii-ix), Ada beberapa faktor yang kerapkali berperan penting untuk menciptakan rekonsilidasi otoritarianisme tersebut. Pertama, perubahan yang terjadi bukanlah perubahan revolusioner dalam bentuk pergantian rezim secara menyeluruh dan mendasar. Rezim lama memang seolah mengalami kehancuran, namun pemerintahan yang baru terbentuk setelah itu masih ditandai oleh kuatnya posisi dan peranan unsur-unsur rezim lama. Bahkan, aliansi strategis yang menjadi pilar rezim lama masih dipertahankan sebagai pilar pemerintahan baru. 

Kedua, ketidakpastian yang berlarut-larut dan tidak terkelola. Transisi dari sistem otoritarianisme selalu ditandai suasana ketidakpastian pada awalnya. Di satu sisi, ketidakpastian ini menyuburkan dinamika politik. Namun di sisi lain, ketidakpastian yang berlarut-larut dan tidak terkelola bisa menjebak. Ia bisa mengundang praktik-praktik kekerasan politik. Inilah yang mengundang dan membuka peluang bagi instrument kekerasan negara, yakni militer, untuk memainkan peranan yang lebih besar dari semestinya. Dalam kerangka inilah, struktur-struktur baru yang lebih demokratis tidak sempat dibangun dengan efektif karena terlibas oleh militerisme. 

Ketiga, faktor militer. Di negara otoritarian umumnya yang mengandalkan militer sebagai tulang punggungnya, kejatuhan otoritarianisme kerapkali tidak identik dengan kehancuran politik militer. Jatuhnya otoritarianisme bisa saja hanya berhenti pada tingkat habisnya periode kepemimpinan otoritarian, namun militer sebagi institusi politik tetap bercokol di posisi politik yang masih menentukan, disukai atau tidak disukai oleh kalangan prodemokrasi. 

Keempat, perluasan kebebasan memancing konflik yang meluas dan tidak terkelola. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme, konflik-konflik yang segera berkembang adalah konflik vertikal : kekuatan properubahan dalam masyarakat versus kekuatan pro status quo yang masih kuat di level formal (state).

Namun, perluasan kebebasan yang berkembang di tengah masyarakat kemudian potensial memancing perluasan konflik dan pergeseran struktur konfliknya, dari vertical menjadi horizontal. Konflik yang pada awalnya menghadapkan masyarakat dengan negara, makin lama makin berubah menjadi konflik yang menghadapkan unsur masyarakat yang satu dengan unsur masyarakat lainnya. Konflik horizontal semacam inilah yang kemudian munculnya ke publik atau kekuatan masyarakat yang terkonsolidasikan dan teguh pada agenda-agenda demokratisasi. Ketika daya tekan publik makin terkikis inilah proses rekonsolidasi otoritarianisme diberi jalan yang lapang. 

Kelima, gerakan sosial prodemokrasi kehabisan nafas. Fase pasca otoritarianisme membutuhkan gerakan sosial pro demokrasi yang kuat, terkonsolidasikan, setidaknya di tingkat gagasan dan wacana. Adalah tidak mudah untuk menunjukkan dan menemukan pelaku dan gerakan prodemokrasi yang teguh itu, terlebih-lebih di (bekas) negara-negara otoritarian yang selama bertahun-tahun tidak membolehkan politik oposisi. Ketidaksediaan gerakan sosial prodemokrasi yang teguh inilah yang bisa membuka peluang kemungkinan bagi rekonsilidasi otoritarianisme.

Dalam konteks kelima faktor inilah mengemuka kebutuhan untuk memberlakukan dan menjalani fase transisi dari otoritarianisme di Indonesia dengan hati-hati. Bahwa transisi dari otoritarianisme itu bukanlah sebuah agenda jarak pendek yang cepat, melainkan butuh proses yang panjang. Bahwa persoalan yang harus dihadapi bukan saja merestrukturisasi negara, melainkan juga merekonsolidasikan masyarakat. Bahwa transisi itu tidak linier mengarah ke demokratisasi, tetapi memutar balik kembali ke otoritarianisme.

Pada titik inilah mencuat kebutuhan yang tidak terhindarkan, yakni membangun oposisi, baik dalam hal visi maupun aksi. Dengan terbangunnya oposisi yang permanent (tetap) dan solid, cepat atau lambat, demokratisasi sistem politik sebetulnya akan menjadi keharusan. Indonesia yang baru dikatakan menuju demokrasi, adil dan terbuka membutuhkan terbangunnya oposisi secara permanen dan solid.  

Kendati demikian, kita masih berupaya untuk mencegah agar kemerosotan demokrasi tidak terjadi di Indonesia. Ada dua strategi demokrasi  yang dikatakan Mochtar Mas’oed dalam buku “Demokrasi Tersandera” (2001:xxii-xxiii) jangka panjang dan jangka pendek. Sementara dalam jangka pendek diusahakan memperoleh legitimasi.

Syarat pokok, semua pelaku politik penting harus menerima bahwa pembaharuan pemerintahan harus berlangsung secara demokratis. Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi  mengharuskan rakyat, kelompok kepentingan dan partai politik nengejar kepentingan mereka dengan cara yang damai dan santun. Yakni melalui persaingan berdasar aturan main, negoisasi dan kerjasama di dalam suatu proses pembuatan keputusan politik terlembaga. Mereka yang terlibat dalam lembaga pembuat keputusan itu mesti memperoleh dukungan suara rakyat dalam pemilu yang LUBER JURDIL.

Dalam pengertian ini, rezim demokratis dianggap terkonsolidasi kalau memenuhi syarat dalam tiga dimensi berikut : Pertama, (Dimensi Perilaku), tidak ada lagi aktor penting nasional, sosial ekonomi, politik atau institusional yang berusaha mencapai tujuan dengan menciptakan rezim dengan cara non demokratis atau dengan memisahkan diri dari negara. Kedua, (Dimensi Sikap), muncul pendapat umum mayoritas yang kuat (walaupun masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi luar biasa dan walaupun mereka kecewa dengan sang pemimpin) bahwa prosedur dan lembaga-lembaga demokrasi  merupakan cara paling tepat untuk menyelenggarakan kehidupan kolektif dan dukungan terhadap alternatif yang anti sistem sangat kecil dan terisolasi dari gerakan pro demokrasi. Ketiga, (Dimensi Konstitusional), semua kekuatan pemerintah maupun non pemerintah tunduk pada, dan membiasakan diri dengan metode, resolusi konflik berdasarkan hukum, prosedur dan lembaga-lembaga yang disahkan oleh proses demokrasi baru.

Faktor-faktor apa yang bisa mendorong keberhasilan konsolidasi demokrasi  itu ? masyarakat yang berhasil melewati masa transisi dan bisa mempertahankan keberlangsungan demokrasi  memiliki lima karakteristik berikut : (1) sistem politiknya memiliki legitimasi geografik, konstitusional dan politik,. (2) ada kesepakatan mengenai aturan main politik dan semua pihak mematuhinya, (3) pihak-pihak yang berhadapan bersepakat untuk menahan diri, sehingga pihak yang menang tidak menghancurkan yang kalah, (4) kemiskinan di kalangan masyarakatnya diminimalkan, (5) perpecahan etnik, kultural atau religisunya tidak mendalam dan bisa dikompromikan.

Sebenarnya prasyarat di atas harus diikuti dengan tindakan konsolidasi politik jangka panjang yang dapat dirumuskan dalam lima kondisi berikut : 1) adanya civil society yang bebas dan dinamik adalah suatu arena kelompok gerakan dan perorangan yang otonom berusaha mengajukan nilai-nilai yang dianggap penting membuat perkumpulan dan menggalang solidaritas, dan memperjuangkan kepentingan mereka. Civil Society meliputi berbagai bentuk gerakan sosial seperti gerakan keagamaan, perkumpulan intelektual, gerakan perempuan, buruh dan asosiasi profesi tanpa ada tekanan dari negara.. 2) adanya Political society yang relatif otonom adalah tempat para pemain politik saling bersaing memperebutkan hak untuk secara sah mengendalikan kekuasaan publik dan aparat negara. Civil society sendiri bisa menghancurkan rezim otoriter, tetapi konsolidasi demokrasi harus melibatkan para aktor dalam political society yakni partai politik, badan perwakilan pemilu, aturan main pemilu, kepemimpinan politik dan antar aliansi partai politik.

Seringkali civil society dipertentangkan dengan political society, misalnya dikotomi antara civil society versus state (negara). Keberhasilan menumbangkan rezim otoriter seringkali membuat civil society dianggap pahlawan, sedangkan political society dianggap sebagai musuh. Pandangan seperti ini sangat merugikan, terutama ketika demokrasi harus dikonsolidasikan. Yaitu ketika kehidupan demokrasi harus dilembagakan dalam proses dan institusi yang lebih mapan. Civil society yang dinamik, yang memiliki kapasitas untuk menumbuhkan alternatif politik dan memantau pemerintahan dan negara, bisa membantu memulai transisi menuju demokrasi. Karena itu dalam seluruh proses demokratisasi, suatu civil society yang dinamik dan independen sangat diperlukan.

3. PEMBAHASAN
A. Transisi Demokrasi : Fase yang Berliku dan Tidak Mudah 
Pengalaman berbagai negara telah menunjukkan bahwa tidak mudah menjalani fase pasca otoritarianisme menuju transisi demokrasi. Apa yang dibayangkan sebagai transisi menuju demokrasi kerapkali tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebuah fase pra-transisi yang belum jelas arahnya. Dalam fase ini yang terjadi hanyalah terbentuknya musim semi kebebasan yang tidak panjang periodenya, setelah musim kebebasan berakhir yang muncul adalah otoritarianisme pemerintahan dengan gaya yang baru. Dalam The Third Wave, Peter Worsley (Saefullah Fattah,1999: viii) menggambarkan bahwa gejala rekonsiliasi otoritarianisme itu merupakan gejala yang khas di negara-negara dunia ketiga. Worsley menyebutnya sebagai “siklus otoritarianisme”. Di berbagai negara dunia ketiga, otoritarianisme jatuh atau dijatuhkan, namun setelah itu yang muncul adalah otoritarianisme baru. Hakikatnya tetap saja otoritarianisme sekalipun berwajah dan label baru.

Sejarah perpolitikan Indonesia pada awalnya telah berjalan di jalur yang tepat menuju pembentukan oposisi secara benar. Segera setelah kemerdekaan dikumandangkan, dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tentang pembentukan partai politik. Indonesia memasuki sistem multipartai. Pada saat bersamaan dimulai pula eksperimen demokrasi liberal atau konstitusional.

Sistem multipartai dan demokrasi liberal yang berjalan dari awal kemerdekaan hingga pemilu September 1955, telah menghasilkan perangkat sistemik dan kultural yang penting. Secara sistemik, demokrasi liberal telah mengkondisikan terbangunnya peluang bagi perbedaan, kompetisi, dan sirkulasi kekuasaan. Bahkan, dinamika politik di masa itu yang berjalan secara cepat telah melahirkan sistem politik yang dinamis. Perlahan-lahan penghargaan atas dan kesiapan menjalani perbedaan, kesiapan menjalani kompetisi politik secara sehat, serta kesiapan untuk membangun toleransi lintaskelompok-lintas ideologi kepentingan adalah beberapa perangkat kultural yang dibangun oleh sistem liberal parlementer kala itu.

Disamping itu, tradisi oposisi berkembang cukup sehat dan pesat. Studi-studi tentang masa itu, selalu menggambarkan betapa suasana kehidupan politik ditandai oleh pertentangan-pertentangan tajam antarkelompok, antarideologi, antarkepentingan, namun dalam suasana saling toleransi. Oposisi terbangun sebagai sesuatu yang rutin dan biasa. Tidak ada tendensi peniadaan oposisi karena oposisi tidak dianggap sebagai ganjalan atau gangguan. (Fattah, 1999 : xiv)

Fakta itulah yang kemudian diubah oleh perkembangan politik baru mulai tahun 1957, ketika Soekarno dan Angkatan Darat mulai secara agresif  melancarakn strategi antarpartai dan bersekutu untuk mengakhiri eksperimen demokrasi parlementer di Indonesia yang berbasiskan partai politik, karena dengan sistem tersebut Indonesia selalu mengalami perdebatan politik yang sengit, sehingga akan mengganggu stabilitas politik kala itu yang dianggap berpotensi menuju konflik sosial dan separatisme. Sekaligus memunculkan terbukanya pintu bagi sistem baru yang lebih sentralistik dan meminggirkan peran partai politik dan oposisi. Inilah fase yang disebut oleh Herbet Feith sebagai “the decline of constitutional democracy in Indonesia”. 

Salah satu yang kemudian terbawa hingga kini, adalah berjalannya proses penghancuran sistemik dan kultural bagi oposisi politik. Otoritarianisme mulai dibangun secara sistematis. Dengan atas nama revolusi Seokarno dengan dukungan Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat mulai menggemakan dan pemberangusan atas kekuatan kontra revolusi. Pada hakikatnya inilah sebuah proses kematian oposisi yang sangat tegas dan jelas.

Demokrasi terpimpin dan Demokrasi Pancasila yang digelontorkan Soeharto kemudian dicatat dalam sejarah politik Indonesia sebagai periode politik yang ditandai dengan musim kering kehidupan oposisi. Karakter demokrasi terpimpin yang sentralistik, ekslusif dan antipublik telah menyebabkan potensi-potensi oposisi mengalami proses pembinasaan sistemik. Dengan cepat pula Orde Baru dengan karakter otoritarianisme sebagai langkah penting untuk melakukan konsolidasi politik guna menstabilkan ekonomi dan politik Indonesia. Dalam kerangka ini, kita dapat mengatakan sejarah Indonesia merdeka sampai dengan reformasi adalah cerita sejarah tentang dimulainya proses pembentukan sistem dan kultur yang pro oposisi, tetapi diakhiri dengan cepat oleh praktik-praktik pemberangusan oposisi. Dalam konteks inilah kita bisa memahami sejarah dua dekade sebagai cerita menyedihkan tentang oposisi di Indonesia.

Studi Anders Uhlin dalam Oposisi Berserak (1998) menggambarkan betapa oposisi demokrasi sebetulnya telah dicoba dibangun oleh berbagai kekuaatan sosial dari beragam wacana, namun mengalami keterbatasan efektivitas, karena sebab eksternal dan internal. Secara internal, oposisi dari beragam wacana mengalami perpecahan yang cukup serius, sementara eksternal perkembangan oposisi terbentur secara ketat dan kakunya rezim yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto.

B. Indonesia Pasca Soeharto
Bagaimana dengan runtuhnya Soharto, apakah dengan sendirinya telah memasuki fase pembangunan oposisi ?. Secara umum, pasca Soeharto Indonesia memang memasuki fase kehidupan politik yang berkembang secara dramatis. Namun tentu saja tidak mungkin membayangkan kehidupan politik periode reformasi, semudah membalikan telapak tangan. Ada beberapa konsekuensi dari berbagai bentuk perkembangan politik yang begitu dramatis itu. Pertama, berkembangnya ketidakpastian politik. Kedua, tertadi ketidaktertataan pemerintahan mengingat pemerintahan harus mengkonsolidasikan dirinya di tengah suasana politik yang sangat berbeda yang memungkinkan gerakan protes sosial dan perlawanan politik melakukan kritik dan hujatan sekeras apapun. Ketiga, berkembang konflik dan kekerasan politik mengingat suasana kebebasan, ledakan partisipasi politik, dan surplus percaya diri publik, terjadi ditengah tiadanya kesiapan hampir semua kalangan untuk berpolitik secara sehat dan dewasa. Keempat, berkembangnya instabilitas dan destabilitas politik. Kelima, terjadi pergeseran dari otonomi negara ke otonomi massa rakyat. Dalam konteks inilah yang tersedia adalah kekhawatiran ketimbang harapan. Adalah belum pastinya bahwa Indonesia saat ini sedang menuju kea rah transisi demokrasi. Adalah jelas tersedia banyak indikasi bahwa kemungkinan Indonesia kembali lagi ke arah rekonsolidasi pemerintahan otoritarianisme masih terbuka sangat lebar, sebagaimana sudah dijelaskan dalam tinjuan pustaka sebelumnya. Dalam kondisi demikian membangun visi dan misi aksi oposisi menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.

Untuk membahas peta kekuatan politik pada hasil pemilu 2009 kemarin. Dari data berbagai sumber kita bisa melihat koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah SBY :
1. Partai Demokrat  :  148 Kursi
2. Partai PKS          :    57 Kursi
3. Partai PAN          :    46 Kursi
4. Partai PPP          :    38 Kursi
5. Partai PKB          :    28 Kursi
6. Partai Golkar       :  106 Kursi
                               ============
Jumlah                   =  423 Kursi

Parpol Belum Menentukan sikap kepada pemerintah cenderung ke oposisi
1. Partai PDIP          94 kursi
2. Partai Gerinda      26 Kursi
3. Partai Hanura       17 Kursi
                               ========
Jumlah                 = 137 Kursi
Dilihat dari peta politik partai politik, maka partai oposisi kurang berpengaruh dalam menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang ataupun koreksi dalan jalannya pemerintahan mendatang. Setelah 10 tahun bergulir periode reformasi yang tujuannya untuk membentuk periode demokrasi yang substansial. Prof Amzulian Rifai, Phd mengatakan, Di Indonesia, perilaku serupa merupakan hal yang lumrah, ada kecenderungan partai hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan. Platform partai bukan yang utama. Yang pokok justru apakah partai tersebut mampu mengantarkannya ke suatu jabatan, visi misi parpol hanya sekadar formalitas belaka. Begitu juga ketika berbicara tentang oposisi. Tanpa melakukan perdebatan soal sistem politik yang dianut, hakikatnya oposisi itu diperlukan. Sikap beroposisi dapat menjadi kontrol bagi siapa saja yang sedang berkuasa. Kekuasaan yang tanpa kontrol akan melahirkan pemerintahan yang korup.

Sementara itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga yang juga sebagai Direktur Riset Democracy and Conflict Governance Institute, Airlangga Pribadi (dalam Kompas edisi Jumat, 11 September 2009). Suatu pernyataan yang memperkuat argumentasi bahwa oposisi itu diperlukan untuk memberikan kontrol terhadap penguasa. Tarik ulur penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menarik untuk dikaji. Saking banyaknya yang berharap untuk masuk ke dalam kabinet, hasil akhirnya melahirkan menteri pelangi. Tak jadi soal jika warna-warni itu menunjukkan keragaman bidang keahlian. Namun, akan jadi hirukpikuk perdebatannya jika warnawarni itu justru menunjukkan ramainya ikut campur partai politik dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini. Mungkin ada beberapa alasan mengapa tercipta menteri yang warna-warni ini. Di antara alasan itu adalah karena oposisi bukan tradisi, strategi politik SBY yang berkeinginan menciptakan stabilitas yang langgeng. Stabilitas menjadi prioritas. Secara sederhana,oposisi dapat diartikan sebagai mengambil posisi berlawanan. Para politikus kita cenderung bersifat kompromis, tak ingin berposisi oposisi. Bahkan partai yang paling keras sekalipun melunak ketika ditawari jabatan menteri. Jadi hakikat oposisi adalah terdapatnya satu atau beberapa partai politik yang mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya.

Sedangkan untuk menguatkan pernyataan tersebut di atas apakah tradisi dan budaya politik masyarakat Indonesia juga terhadap oposisi juga menjadi permasalahan. Dalam harian Kompas 3 September 2009, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Indo Barometer pada tanggal 18-26 Agustus lalu. Bahwa mayoritas responden yang disurvei secara random menginginkan agar partai yang kalah dalam pemilu, ikut bergabung ke dalam kabinet pemerintahan mendatang. Dalam survei yang dilakukan terhadap 1200 orang di 33 provinsi, ditanyakan perihal partai politik yang sebaiknya masuk kedalam kabinet mendatang. Hasilnya diperoleh sebanyak 50,6% responden menginginkan agar PDI Perjuangan masuk ke dalam kabinet. Selain itu 57,2% responden juga menginginkan agar Golkar masuk ikut masuk kedalam kabinet mendatang. Tak hanya itu 44,2% responden juga menginginkan agar Hanura juga masuk kedalam kabinet sedangkan untuk Gerindra sebanyak 45,3% responden. Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari menilai, dari hasil survey ini budaya oposisi di Indonesia belum mengakar secara kuat di masyarakat. Pasalnya, kebanyakan masyarakat Indonesia menginginkan agar partai politik yang mengalami kekalahan dalam Pemilu Presiden lalu ikut bergabung kedalam kabinet pemerintahan mendatang.

Ini terjadi karena persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik. Terkadang tidak semua orang faham apa dan bagaimana sebenarnya praktek partai oposisi. Secara sederhana oposisi dapat diartikan sebagai mengambil posisi berlawanan.

Ketidakberdayaan oposisi itu bukan semata-mata produk struktural, melainkan di dukung oleh sikap yang melekati kaum oposan. Ciri kultural terpenting gerakan dan kelompok oposisi di Indonesia terletak pada sifatnya yang elitis. Kultur elitis pada oposisi di Indonesia tentu saja tidak berdiri sendiri. Setidaknya ia ikut dibentuk oleh aura sosial yang paternalistik. Analisis klasik George Mc Turnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia bahwa salah satu penghalang perkembangan demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan.  Di tengah lingkaran budaya semacam ini, segenap elit masyarakat tentu saja boleh merasa berarti setelah mereka memainkan “peranan politik pendahuluan”, dan setelah itu tinggal berharap bahwa masyarakat luas akan ikut dalam arus yang mereka ciptakan. (Saefullah Fattah, 1999: 6-7)

Kedua, bahwa partai-partai politik di Indonesia tidak terbiasa menjadi oposisi. Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Diantara alasan itu karena memang secara sistem Indonesia tidak mengenal oposisi dalam makna sebenarnya. Alasan kedua karena sistem pemerintahan presidensil memang tidak mengenal adanya oposisi. Jikapun ada, lebih bersifat semu. Alasan ketiga disebabkan sejarah partai-partai di Indonesia adalah partainya pemerintah. Ketika Indonesia berada dalam era Orde Baru semua partai adalah partai pemerintah.  Ketika itu Golkar jelas-jelas golongannya pemerintah. Namun ada juga orang pemerintah “ditugasi” untuk memimpin PDI atau diminta merapat ke PPP. Ketika itu pula, penguasa akan bertindak cepat apabila terdapat anasir di partai lain yang diperkirakan “menentang” pemerintah.

Bagaimana dengan istilah oposisi di Indonesia yang menganut sistem presidensil, bukan sistem parlementer? Secara teori ada perbedaan yang signifikan antara sistmen parlementer dengan sistem presidensil. Ada perbedaan yang prinsip ketika kita menyebut oposisi di Indonesia dengan partai oposisi yang sebenarnya yang dianut oleh negara-negara dengan sistem parlementer.  Ada beberapa catatan dalam mendiskusikan oposisi di Indonesia.

Kemudian yang menjadi titik permasalahan enggan menjadi oposisi salah satunya yakni sistem politik Indonesia menganut sistem presidensial murni yang memisahkan secara tegas garis antara eksekutif dan legislatif. Oposisi lazim muncul dalam sistem parlementer dimana eksekutif/pemerintah menyatu dengan parlemen. Pemimpin tertinggi pemerintahan yang biasanya disebut Perdana Menteri berikut kabinetnya adalah bagian dari parlemen. Begitu juga sebaliknya, pimpinan oposisi adalah bagian dari parlemen. Artinya, dalam pemerintahan parlementer, pemilihan hanya dilaksanakan satu kali dalam periode tertentu untuk memilih seluruh anggota parlemen termasuk kabinet. Lazim terjadi, pimpinan partai pemenang kemudian menjadi perdana menteri. Indonesia pernah mencoba melakukan praktik parlementer pada awal kemerdekaan, walaupun akhirnya kurang berhasil.

Sementara itu, dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian yang berhasil diwawancarai oleh Koran Tempo (Senin, 19 Oktober 2009) menuturkan, meski sudah ada partai yang berani beroposisi, sebenarnya itu bukan karena kesadaran untuk memunculkan check and balance di pemerintahan, tapi lebih karena faktor keterpaksaan belaka. Mereka khawatir kekurangan resources. Sebab mereka menilai oposisi bisa diartikan dekat dengan kafakiran. Tidak mendapatkan kucuran dana dari BUMN, Kementrian serta pos-pos pemerintahan lain dimana kader mereka ditempatkan. Kalau sudah begitu logika yang muncul adalah apabila tidak masuk dalam pemerintahan, maka tidak akan mendapat resources untuk menggerakkan mesin politik. Sehingga ujungnya muncul ketakutan tidak akan lolos parliamentary threshold pada pemilu selanjutnya.

Kemudian dalam perundang-undangan di Indonesia tidak memerbolehkan parpol memiliki badan usaha. Sehingga praktis parpol tidak memiliki sumber pendanaan memadai. Padahal cost politics sangat besar. Mengandalkan iuran dari kader sudah tidak mungkin. Berharap ada sumbangan dari pengusaha juga pasti ada timbal baliknya. Ironisnya lagi mayoritas pengurus parpol juga pengangguran. Mereka menyandarkan hidupnya dari penghasilan menjadi politisi. Jadi apabila tidak mendapatkan “kue” kekuasaan dalam putaran pilpres maka akan jadi pengangguran selama lima tahun ke depan.

Gahral Adian menambahkan, izinkan parpol untuk membentuk badan usaha. Daripada mendorong mereka menyusupkan kader-kadernya di BUMN lantas menguras pundi-pundi keuangan negara. Pertanyaannya apakah dengan begitu maka akan terbangun budaya oposisi?. Dengan adanya manajemen yang memadai maka parpol akan mampu menjalankan fungsinya. Memberikan pendidikan politik, mengkader anggotanya, serta mengagregasikan kepentingan kelompoknya. Parpol yang beroposisi pun akan memiliki stamina untuk tetap berada di luar kekuasaan dan kritis tanpa kekurangan “gizi”. Bahkan hingga dua periode berada di luar kekuasaan mereka akan mampu bertahan. Sembari beroposisi, mereka akan menghimpun kekuatan dengan mempersiapkan kadernya sebaik mungkin.

Meskipun sebelumnya Mantan Menko Ekuin Rizal Ramli dan mantan Mendagri dan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid (dalam INILAH.Com 24 Agustus 2009) optimistis bahwa partai-partai politik oposisi dan kritis terhadap pemerintahan SBY, berpeluang meraih suara besar dalam Pemilu 2009. PDI Perjuangan dan parpol menengah-kecil yang kritis diprediksi bisa meningkatkan perolehan suara mereka. Mereka menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang telah jalan empat tahun, gagal memenuhi harapan rakyat. Untuk itu, reformasi pemerintahan mutlak diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan rakyat. Ada dua masyarakat di Indonesia saat ini. Pertama, 20% orang-orang telah menikmati kemerdekaan. Kedua 80% belum menikmati kemerdekaan.

Ryaas Rasyid yang juga menjabat sebagai Presiden Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), kemajuan ekonomi yang selama ini digembar-gemborkan Presiden SBY, hanya dari sisi ekonomi makro saja. Tak banyak berdampak terhadap rakyat. Kenyataannya, masih banyak rakyat yang hidup miskin dan menderita sebagai penganggur. Dalam kaitan inilah, parpol oposisi dan parpol menengah-kecil yang kritis, bisa memanfaatkan peluang. Mereka punya kesempatan menuai popularitas dan keuntungan pada Pemilu 2009 akibat kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi. Seperti sudah menjadi teori Pemilu di berbagai negara demokratis, jika publik mempersepsikan pemerintah gagal dalam mengelola ekonomi, simpati cenderung akan beralih kepada pihak oposisi.

Sementara Umar S Bakry, Direktur Lembaga Survey Nasional mengingatkan, jika ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi semakin meluas dan sentimen perubahan kian menguat, hampir pasti capres dan cawapres incumbent akan kalah dalam pemilihan tahun depan. Sebagai satu-satunya partai yang memposisikan diri sebagai oposisi, PDIP beserta calon presiden yang diusungnya, Megawati Soekarnoputri, diuntungkan dengan situasi seperti itu. Mereka mendapat keuntungan karena ketidakpuasan publik. Sama seperti tatkala SBY meraih manfaat dari tak puasnya publik terhadap pemerintahan Megawati terdahulu.

Survei LSN pada Mei 2008 menunjukkan ketika pemerintah SBY akan menerapkan kebijakan ekonomi nasional yang tidak populis (menaikkan harga BBM), PDIP paling lantang menolak. Dalam kondisi seperti itulah, tingkat elektabilitas PDI-P terdongkrak, mengalahkan Partai Golkar dan Partai Demokrat. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), angka kemiskinan Indonesia lebih dari 100 juta jiwa. ADB mengasumsikan rakyat miskin adalah mereka yang berpenghasilan US$ 2 per hari atau US$ 60 per bulan atau sekitar Rp 600.000 per bulan.

Namun pemerintahan SBY mengasumsikan rakyat miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 180.000 per bulannya. Ini perlu koreksi. Dan dalam situasi begini, parpol oposisi dan partai kecil yang kritis dan vokal, berpeluang meningkatkan suara mereka. Maka, parpol berkuasa harus sigap menjawab tantangan ini.

Meskipun pada akhirnya kenyataan berpandangan lain, ternyata SBY dengan Partai Demokratnya masih meraih angka pada pemilu lalu. Bahkan jauh mengungguli pesaing-pesaing politiknya yang notabene adalah partai besar yang sudah mapan (PDIP dan Golkar). Sementara Sunny Tanuwidjaja (dalam opini Kompas edisi Selasa 23 Agustus 2009) menilai kondisi sosial dan politik Indonesia sangat tidak memungkinkan munculnya kekuatan oposisi riil. Apalagi berdasarkan pengalaman pemilu yang lalu ketika PDI-Parpol yang setia duduk manis menjadi oposisi selama lima tahun terakhir, kustru menurun kinerja elektoralnya dalam pemilu legislatif 2009, selain karena masalah internal PDI-P juga masalah faktor tradisi dan budaya, serta sistem politik yang tidak memungkinkan munculnya oposisi politik yang mapan menjadi check and balance dalam pemerintahan.

Sunny mengkritisi, kenyataan yang ada adalah partai-partai politik di Indonesia minim tawaran dan gagasan kebijakan yang unik. Antara partai yang satu dengan yang lain tidak ada perbedaan yang signifikan, ideologi maupun kebijakannya. Hampir semua partai menempatkan diri pada posisi yang “aman” atau “sentris”. Dalam realitas politik yang demikian, ketika sebuah partai dipaksa menjadi oposisi, apa yang akan menjadi basis untuk mengkritik pemerintah dan kebijakannya? Yang terjadi justru adalah bukan oposisi yang kritis, melainkan oposisi yang asal kritik.

Tanpa memiliki gagasan yang unik dan berbeda, kritik oposisi terhadap pemerintah hanya akan didasarkan pada kepentingan politik belaka. Mendorong oposisi yang dimulai pada sekedar gagasan yang “normatif” tanpa ada perubahan yang mendasar, terutama sistem politik hanya akan memunculkan oposisi yang tidak jelas (oportunis) yang asal kritik. Realitas yang lain adalah masih terbukanya ruang bagi partai pendukung pemerintah untuk kritis. Jika SBY serius membangun pemerintahan yang kiat, berarti ia bukan hanya berfikir untuk membangun pemerintahan yang efektif dan cepat dalam pemerintahan kebijakan. Ia juga akan berfikir bagaimana membuat kualitas substansi kebijakan makin yang baik.

Untuk memperbaiki kualitas susbtansi kebijakan, perlu keterbukaan SBY menerima dan masukan dan kritik dari mitra koalisinya. Dalam konteks ini, posisi oposisi maupun koalisi menjadi tidak terlalu berbeda. Partai-partai koalisi akan diberikan ruang untuk memberikan masikan dan kritik terhadap pemerintahan SBY. Yang membedakan antara oposisi dan koalisi hanyalah akses terhadap posisi di kabinet. Kemudian realitas selanjutnya, adalah adanya ruang bagi partai koalisi untuk meninggalkan koalisi. Kapan pun partai yang berkoalisi dengan pemerintah, jika sudah tidak popular dimata rakyat akan meninggalkan koalisi yang sudah dibangun. Namun dalam realitas-realitas demikian tidak logis jika sebuah partai memilih berada di luar pemerintahan apapun kepentingannya. Jika ia berkepentingan memperoleh akses kekuasaan, atau jika ia berkepentingan menjalankan fungsi kontrol, atau jika ia punya kepentingan politik 2014, semuanya dapat terakomodasai dengan menjadi koalisi pemerintah.

Namun apapun yang dinilai oleh Sunny di atas mungkin ada benarnya, partai politik berusaha untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara koalisi, selain itu bukan tidak mungkin bawa fungsi kontrol oposisi dilakukan di dalam koalisi. Tapi jika dilihat dari permasalahan yang terjadi saat ini, mengenai kasus perseteruan dua lembaga negara (KPK Vs Polri) yang belum menemukan titik terang siapa yang benar, siapa yang bersalah. Telah menimbulkan publik tersentak, marah, sedih dan kecewa batapa parahnya penegakan hukum di Indonesia, publik semakin mempertanyakan supremasi hukum di Indonesia. Secara mengejutkan, upaya demokratisasi dan good governance process di Indonesia telah dicederai oleh “bandit” yang bisa menguasai semua lapisan dalam pemerintahan, sekaligus telah mengindikasikan bahwa kapasitas negara masih lemah dalam penegakan hukum.

Kasus kriminalisasi KPK telah menjadi batu sandungan pemerintahan SBY jilid II. Publik semakin tidak yakin dengan pemerintahan, apakah hukum ini telah diintervensi oleh kekuasaan politik. Meski belum ada bukti yang jelas, apakah SBY juga terlibat dengan kasus ini meski namanya dicatut dalam rekaman penyadapan. Akan tetapi program 100 hari SBY dengan munculnya kasus KPK dan juga Bank Century yang semakin gencar diberitakan oleh pers. Telah membawa implikasi negatif terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan ini. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang melakukan analis terhadap pemberitaan sejumlah media, serta interview yang dilakukan pada 3-9 November 2009, bahwa program 100 hari SBY akibat munculnya kasus besar ini terancam tidak efektif, dan lembaga presiden dan lembaga legislatif yang dikuasai 50% lebih oleh Partai Demokrat sebagai partainya SBY dipersepsikan negatif. 

Lembaga DPR di persepsikan negative 58% sementara lembaga eksekutif 64%. Dua lembaga ini terkesan hanya memberikan jargon-jargon politik, tanpa adanya realisasi untuk mereformasi lembaga negara dari kalangan koruptor. Yang menjadi kekecewaan publik adalah Partai Demokrat terkesan “plin-plan” untuk mendukung hak angket terhadap kasus Bank Century. Meski memiliki argument tersendiri, jelas sikapnya ini di dalam parlemen telah merusak koalisi untuk mendukung pemerintahan. Keadaan ini jelas tidak baik untuk kekuatan pemerintahan selama 5 tahun mendatang.

Jika kita telaah sebelumnya mengenai peta kekuatan kursi parlemen periode 2009-2014, jelas Partai Demokrat dan SBY tidak tergoyahkan. Namun penulis masih optimistis apa yang dikatakan Sunny, bahwa koalisi akan mungkin terpecah, jika publik semakin tidak yakin dengan pemerintahan. Apapun itu koalisi dan oposisi di Indonesia, jelas harus ada kontrol dan pengawasan terhadap pemerintahan SBY dalam lima tahun mendatang. Jangan sampai pemerintahan otoritarianisme kembali muncul diakibatkan oleh tidak adanya kelompok atau golongan oposisi yang berani menentang dan mengkritisi secara bijak, jika pemerintahan ini sudah melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap publik. Jika otoritarianisme kembali di Indonesia, konsolidasi demokrasi yang diupayakan dalam 10 tahun terakhir ini terpaksa kembali ke titik nol.

4. KESIMPULAN
Berbicara tentang ketidakberdayaan oposisi  di Indonesia selama sejarah perpolitikan dari masa kemerdekaan hingga reformasi ini. Selain pangkal permasalahan adalah sistem politik yang memungkinkan oposisi di Indonesia tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, akibat sentralistik, elitisme, dan antipublik, namun juga berpusar pada kekakuan struktur politik dan keterbelakangan sikap kultural masyarakat Indonesia yang paternalistik. Maka kerapkali kita selalu membaca dan menganalisi bahwa perkembangan kehidupan oposisi bertumpu pada kata demokratisasi.

Gelombang demokrasi yang substansial menjadi agenda penting di Indonesia, namun perlu ada komitmen pula dari wakil-wakil rakyat dan golongan menengah untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia. Jangan sampai pandangan Lord Acton terhadap kekuasaan menjadi hal lumrah di Indonesia. Pemerintahan yang dipimpin oleh siapapun, jika sistem politik dan kultur yang sudah menjadi tradisi tidak akan menghadirkan sikap oposisi yang berani dan mantap

Sekalipun agak klise, namun tampaknya memang inilah agenda utama sistem politik kita saat ini. Yakni demokratisasi dalam pengertiannya yang mendasar (fundamental) dan substansial. Yang menjadi kebutuhan operasional dan konkret saat ini pertama-tama adalah memperbaiki cara pandang kita tentang proses demokratisasi. Demokrasi yang ditarik dan menumpukkan diri pada sebuah lingkaran elit politik cenderung akan menghasilkan sebuah demokrasi semu dan setengah hati. Diperlukan cara pandang baru yang melihat demokratisasi sebagai sebuah proyek massal yang menyentuh penguatan seluruh elemen masyarakat sipil. Demokratisasi dengan demikian tidak dipandang sebagai “gerakan menanti negara berhati baik”, melainkan gerakan mendesak untuk mengubah sikap negara melalu perubahan komposisi politik di dalamnya.


Daftar Pustaka

Arief Saiful, dkk, 2006. Demokrasi”Sejarah, Praktik, dan Dinamika Pemikiran. Perogram Penguatan Simpul Demokrasi Kabupaten Malang bekerjasama dengan Averoes Press dan KID (Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi).
Dahl, A. Roberth. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta : PT Rajalawali Press.
Koiruddin, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi (Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fatah, Eep Saefulloh. 1999. Membangun Oposisi “Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan”. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Maliki, Zainuddin (editor), 2001. Demokrasi Tersandera. Yogyakarta :Galang Press.
Sanit, Arbi. 1985. Keterwakilan Politik di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Sharma, P. 2004. Sistem Demokrasi Yang Hakiki. Jakarta : Yayasan Menara Ilmu.
Putra, Fadillah. 2001, Devolusi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
____________. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Aveross Press

WWW. INILAH.COM
WWW. KOMPAS.CO.ID

Sumber Gambar Ilustrasi :
maxlaneonline.com, dilihat 01 April 2011




[1]  Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi     Tasikmalaya
   Alumni Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tahun 2005

10 komentar:

  1. saya belum begitu paham dengan masalah politik di Indonesia.

    ReplyDelete
  2. Wah, saya belum mau berurusan dengan politik. Bikin pusing dan maunya marah aja kalau denger politik yang amburadul. hehehe

    ReplyDelete
  3. ini nih,, penerus dan pengontrol dunia politik kita... jangan jangan agan anggota DPR nih kawan//// ilmu politiknya begitu bermanfaat... hobi berpolitik menuju kursi legislatif kawan.

    ReplyDelete
  4. FOR ALL..Terima kasih semuanya..Aku cuman memposting aja..Itu tulisan temanku yang kebetulan temanya relevan dengan tema blogku. Dengan izinnnya aku postingkan, untuk dibaca oleh agan-agan, baik yang seneng maupun tidak dengan perbincangan politik.. Mudah-mudahan bermanfaat aja. Terima Kasih..

    Subhan

    ReplyDelete
  5. Mantab Gan, ... kalo belum terjun jadi politikus saatnya 2014 nanti untuk ikut bertarung ke Senayan, saya do'a-in muga2 tercapai... dan bisa duduk di kursi DPR.

    ReplyDelete
  6. hihihi...!! masalah politik masih belum nih kalo aku!!
    karna masih muda!!

    ReplyDelete
  7. waduh mas bro,,, aku masi kecil,, belum ngerti apa-apa,, hihihi,,, apalagi urusan politik,, aduuh,,,
    nambah pengetahuan :)

    ReplyDelete
  8. Panggung politik tidak ubahnya sebuah panggung sandiwara..yang dengan mudah dibuat alur ceritanya serta kemana arah tujuan akhirnya...dalam politik tidak kenal kawan semua adalah lawan...

    ReplyDelete