Kampus dan Krisis Kepemimpinan

Setiap tahun terus berganti, berbagai peristiwa besar menghampiri kita. Uniknya, setiap momentum pergantian kepempinan selalu mengundang kontroversi publik. Baik bergerak ke arah negatif atau positif.  Satu yang pasti, pergantian pemimpin menandakan tidak ada keabadian jabatan. Selalu ada penyegaran baik tenaga, gagasan, pikiran oleh setiap individu yang dipercayakan memimpin.

Dalam wilayah kampus, pergantian pemimpin dapat diartikan sebuah kesempatan mahasiswa menaruh harapan. Sebab umumnya, perjalanan pemimpin sebelumnya dapat terbaca dan terukur keberhasilannya. Dengan kemampuan membaca gejala pemimpin itu, dapat melahirkan sebuah sikap meneruskan atau menghentikan jejak rekam pemimpin incumbent.

Fenomena itu, jika mau jujur adalah sebuah gejala terstruktur. Dari level negara, misalnya pergantian presiden dimaknai pergantian kebijakan. Artinya dibutuhkan laporan apa yang sudah dilakukan pejabat selama memegang amanahnya. Bergerak ke arah perbaikan, atau sebaliknya menuju jurang kebobrokan. Tidak heran, sikap “mengkomparansikan (membandingkan)” sering berjalan subyektif. Perkembangan terbaru, kita dapat melihat bagaimana misalnya respon publik yang menyenangi zaman Soeharto dibandingkan SBY. Sebab mereka merasa, perbaikan pasca reformasi yang diharapkan tidak kunjung datang. Justru sebaliknya reformasi menghasilkan demokrasi yang kebablasan.

Kondisi serupa terjadi di level kampus yang notabene laboratorium intelektual muda. Pergantian pemimpin kampus misalnya, dapat menjadi sebuah momentum penting. Sebab dapat dimaknai mahasiswa, sudah sejauhmana pencapaian keberhasilan seorang pemimpin. Sikap memandang kritis dapat ditumbuhkan, baik dalam melihat kepemimpinan, perbaikan fasilitas kampus atau kebijakan konkret pemimpin lainnya.

Kita dapat melihat dalam kehidupan sehari – hari  di kampus, betapa ringkihnya kepemimpinan seorang pemimpin kampus. Banyak pemimpin kampus dan dosen, misalnya lebih sibuk mengurus proyek daripada memperhatikan kebutuhan belajar mahasiswa. Berburu lembaran rupiah demi mengukuhkan eksistensi diri sehingga tercapai kesejahteraan pribadi. Akhirnya, aktivitas mengajar sebagai implementasi tri dharma perguruan tinggi tercampakkan. Kebebasan menjalankan proyek diprioritaskan, mahasiswa dibiarkan berjalan sendiri. Ketika hujatan mengalir, jawaban cuek terlontar “ Kalian bukan siswa lagi, jadi mahasiswa harus belajar mandiri”.

Perkataan itu tidak salah, tapi konteksnya kurang tepat. Coba tanyakan kepada hati nurani anda sebagai pendidik. Apa tugas seorang pendidik, mencari proyek atau mengajar mahasiswa yang haus ilmu? Titik inilah menempatkan mahasiswa, tidak ubahnya obyek mati dan bergerak seperti robot. Mereka dipaksa menutup mata, hidung dan telinga atas berbagai hak yang tidak tertunaikan. Bayaran terus jalan dan mahal, tapi dapat apa?.

Ironisnya pemimpin jenis ini tahu dalam ketidaktahuannya. Ketulian sudah membutakan mata hati, sehingga bersikap acuh terhadap masukan dan keluhan. Repotnya, mereka bebas melenggang sebab dianggapnya kontrol mahasiswa sudah lemah. Kita tidak menemukan kembali fungsi mahasiswa sebagai ikon kontrol sosial, agen perubahan dan cadangan masa depan. Stiuasi akan semakin runyam, jika di masa mendatang kampus diberikan otonomi sehingga melahirkan raja kecil sebagai eksekutif tanpa batas.

Tidak heran, stabilitas kampus cenderung terjaga tapi selalu gagal mengatasi masalah lemahnya transparansi, akuntabilitas dan moralitas. Perlu diingat, sampai sekarang tidak ada satupun kampus transparan memberikan laporan keuangan. Sikap tidak transparan memicu kebebasan korupsi menjangkiti wilayah kampus. Menghadapi kondisi menyedihkan, kita semakin sedih melihat sikap kritis mahasiswa terbungkam. Kita hanya dapat terkejut, melihat pihak birokrat “sembunyi-sembunyi” melemparkan tanggung jawab keuangan kepada mahasiswa baru.

Entah mengapa, penulis berpikir mahasiswa sekarang mengalami degradasi intelektual. Daya kritisnya rapuh akibat mengurangnya kebiasaan ilmiah seperti membaca, menulis dan diskusi. Kelemahan mendasar, kita tidak membiasakan diri kembali berdialog masalah – masalah krusial dan menyangkut kehidupan civitas akademika khususnya mahasiswa sendiri. Mengulang kejayaan NKK/BKK, mahasiswa terjebak kebingungan merumuskan blue print masa depan kampus. Lembaga legislatif dan eksekutif mandul melawan kediktatoran birokrasi sehingga jangan salahkan jika disebut kredibilitas mereka rendah di mata publik.

Nilai terpenting, mahasiswa mulai menjauhkan diri dari kejaran masalah itu sendiri. Advokasi kemahasiswaan terbungkam membludaknya hingar binger politik nasional. Arogansi politik kampus memang menguat, tapi tidak dilengkapi data ilmiah. Pertanyaan mendasar, mengapa SPP naik? Apa bukti, (data dan fakta) SPP naik? Ke mana saja uang itu dibelanjakan kampus? Sudah menghilang daya tamping kritis konstruktif kita.

Jika mau jujur, ajaklah diri kita berefleksi apakah pembangunan kampus menyejahterakan mahasiswa. Sebab hampir dalam setiap aktivitas pembangunan kampus, mahasiswa tidak mendapatkan keterwakilan. Bagaikan keledai dungu, mahasiswa dipaksa menerima kebijakan yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Seharusnya, berpikirlah mengikuti gerakan opini dan propaganda gerakan masyarakat sipil. LSM Anggaran seperti Fitra, ICW misalnya melemparkan isu pembangunan gedung baru DPR melalui wacana public. Mereka menolak dan menyebarkan gagasan melalui media massa. Bola panas penolakan bergulir deras, masyarakat merespons dengan ikut–ikutan menolak. Sehingga setelah proses panjang digulirkan, pembangunan gedung baru DPR dapat dihentikan.

Artinya mahasiswa harus menyatukan kekuatan mengalahkan rezim korup dan otoriter. Mereka (kaum birokrat) juga manusia tidak lepas salah dan lupa. Posisi itu menempatkan kita sebagai pengontrol kebijakan mereka. Jika ada penyimpangan, gerakan penolakan adalah solusi demi terciptanya kebijakan pro mahasiswa.

Sebagai penutup, perlu rasanya mahasiswa kembali menegaskan sikapnya. Penting sekali pemimpin baru merespons keinginan publik. Pertama menuntut keterlibatan mahasiswa dalam pemilihan pemimpin. Kedua, setiap calon pemimpin harus berani mendebatkan gagasan besarnya untuk kemajuan kampus. Tentunya, setiap pemimpin masa mendatang tidak berkuping tipis. Lontaran keluhan, masukan dan kritik pedas mahasiswa dianggap bentuk kewajaran dan kepedulian. Terakhir demi perbaikan kampus, para pemimpin hendaknya berani bertransparansi dalam masalah keuangan. Di kemanakan saja dana mahasiswa, buat kepentingan apa dan apakah tercapai keseimbangan pengeluaran kampus dibandingkan manfaat dan hasil yang diperoleh.

Penulis : Inggar Saputra, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta dan analisis Institute for Sustainable Reform (Insure).

Sumber Artikel  :
HMINEWS.COM

Sumber Gambar :
http://ekonomrabbani.blogspot.com,
Keterangan Gambar Ilustrasi :
Kampus Masih menjadi Menara Gading
atau ke sumber tulisannya..


20 komentar:

  1. kunjungan perdana mas... blogwalking time :)

    ReplyDelete
  2. Nah, ngomong2 soal pergantian pemimpin, kemarin di kampus saya baru aja tuh diadakan pemilu Presiden Mahasiswa untuk periode baru :D
    Ya..semoga aja ke arah yang lebih baik nantinya :)

    ReplyDelete
  3. @Merlina, terima kasih kunjungannnya. Kalau sempat saya juga berkunjung balik..

    ReplyDelete
  4. @Zippy, semoga saja mas..Perlu ada perbaikan yang mengakar dari kampus, jika Indonesia menginginkn pemimpin yang berkualitas nantinya. Sebab dari mana lagi pemimpin Indonesia ini akan muncul, selain dari kampus..Nah jika kampusnya krisis, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan kepemimpinan Indonesia ke depannya?..

    ReplyDelete
  5. info : Di universitas mercubuana jakarta saja pemilu terjadi saling pukul dan saling keroyok sehingga ada korban luka yang cukup parah. Prihatin...

    ReplyDelete
  6. gimana pemimpin selanjutnya jika ketika mahasiswa berpolitik pun harus menggunakan urat...

    lieur pisan...

    ReplyDelete
  7. @ALL, terima kasis komentar dan kunjungannya.. Memang yang perlu mengkritisi dan memperbaikinya adalah kita-kita sebagai penerus kepemimpinan nasional. Mudah2an ke depan lebih baik.. Amin

    ReplyDelete
  8. "Setiap tahun terus berganti, berbagai peristiwa besar menghampiri kita. Uniknya, setiap momentum pergantian kepempinan selalu mengundang kontroversi publik. Baik bergerak ke arah negatif atau positif." < Wah ane setuju banget sama kata-kata itu :)

    ReplyDelete
  9. @BoyMalik..Terima kasih komentarnya Boy..Sahabat blogger yang sudah tidak asing lagi di dunia maya..Thank nanti saya kunjung balik...

    ReplyDelete
  10. Ayo koment yang tajam..mana suaramu mahasiswa....

    ReplyDelete
  11. Suksesi kepemimpinan hanyalah formalitas belaka.. Yang miskin tetap miskin, yang bodoh tetap bodoh, yang kaya dan yang pinter makin merajalela menindas yang lemah...sedikit pun saya tidak percaya, nonsen dengan semuanya !!!..

    ReplyDelete
  12. Terima kasih tanggapannya..lebih bagus lagi coba keluarkan ide-ide genuin seputar kepemimpinan kampus...Kita coba bangun argumentasi yang memang benar menurut kita..Teriam kasih semua.. Lanjut diskusinya...

    ReplyDelete
  13. Itu balik lagi kenapa anda memilih pemimpin itu ? kalau secar kualitas tidak bagus !
    Apakah karena argument yang tidak bisa pertnaggung jawabkan ? maka'a anda memilih pemimpin tersebut

    ReplyDelete
  14. Sebagai Mahasiswa yang mempunyai intelektual yang tinggi setiap adanya perubahan terutama adanya pergantian pemimpin musti disikapi dengan baik agar menuju tercapainya kesuksesan....btw salam kenal yah mas

    ReplyDelete
  15. Karena kerjanya unjuk rasa jadi jarang belajar, krisis deh

    ReplyDelete
  16. Namun terkadang mahasiswa lebih mengedepankan emosi dari pada pikiran rasionalnya. Tengoklah demontrasi yang berujung rusuh, anarkisme, dan aksi sosial lainnya yang menyebabkan kerusakan dan kata-kata kotor yang tidak terkontrol dalam banyak aksi massa. Hal ini rawan dimanfaatkan oleh kelompok lain dan masuk menyusup dalam gerakan mahasiswa. Kedepan harusnya dibuat model baru gerakan yang lebih beradab dan menampakkan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan para intelek yang tahu banyak mana yang layak dan tidak layak dilakukan. Kita jangan meniru para politisi busuk di pemerintahan sana..Kita yang akan mengganti tampuk kepemimpinan ke depan. Kegagalan kepemimpinan Indonesia ke depan, akan ditentukan oleh gagal tidaknya kamupus memupuk dan membiasakan jiwa dan keterampilan sebagai seorang pemimpin yang handal. Terima kasih kunjungannya semua..Silanhkan lanjut diskusinya..Opini yang bebas dan bertanggung jawab..

    ReplyDelete
  17. tak kan ada kepemimpinan nasional klo g ada gerakan mahasiswa baik omek ato omik, yang perlu diperbaiki adalah iklim kondusifitasnya.

    jangan sampai terjadi ketidakdewasaan yang akut, imbasnya ya ntar kayak anggota dpr yang maen arogan dan g tau sopan santun

    ReplyDelete
  18. asalkan jangan berubah ke hal yang lebih negatif saja

    ReplyDelete