Uang dan Politik

Dominasi Uang dan Bahayanya dalam Rekruitmen Anggota Legislatif di Indonesia
Oleh : Subhan Agung
  
Politik dan uang sebenarnya suatu bahasan yang berlainan, namun dalam realita zaman saat ini jelas keduanya sangat terkait erat. Uang --seperti dalam bidang kehidupan lainnya yang memiliki pengaruh besar--, saat ini memainkan mekanisme politik prosedural yang sangat dominan di Indonesia. Politik prosedural yang dimaksudkan seperti misalnya partai politik dan pemilu, rekruitmen pegawai negara (PNS), bahkan juga dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Dominasi uang dalam mekanisme politik Indonesia misalnya –yang akan dibahas dalam tulian ini-- yang terlihat dalam rekruitmen calon anggota legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), baik di daerah maupun pusat. Anggota dewan, baik pusat ataupun daerah (tingkat I dan II) dalam mekanisme sistem politik di negara demokrasi manapun selalu berasal dari partai politik. Partai politik dalam konteks ini mengajukan calon pemimpin dalam legislatif melalui rekriutmen politik yang menjadi salah satu fungsinya. Pada prinsipnya siapapun figurnya yang memang mampu memimpin dan mendapat mandat dalam pemilihan (terpilih lewat mekanisme Pemilu) berhak untuk menjadi wakil rakyat untuk wilayah pemilihan konstituennya (lazim disebut Dapil). Dia yang terpilih berhak menjadi wakil rakyat.

Tapi dalam kenyataannya dalam mekanisme yang berlaku di Indonesia apakah sesederhana itu?. Ternyata tidak, dalam mekanisme tersebut ada faktor dominan yang memainkan proses politik yakni “uang”. Dalam sistem demokrasi, apalagi dalam model demokrasi langsung saat ini cenderung melahirkan suatu kultur politik yang sangat kompetitif. Dominasi Partai dalam menentukan wakil mana yang lolos dalam pemilihan dikurangi lewat suara terbanyak dan meniadakan sistem nomor urut. Sistem kompetisi yang sangat terbuka menyebabkan masyarakat bisa menjadi “hakim” tentang siapa yang berhak lolos sebagai wakil mereka. Namun di sisi lain membuka peluang peserta Pemilu untuk sebanyak-banyaknya mendapatkan dukungan. Kenyataan di lapangan faktor “uang” menjadi sangat dominan dalam membuat hal-hal penting bagi calon wakil rakyat dalam pemilihan, semisal power untuk menggenjot polularitas lewat kampanye, termasuk di dalamnya rangkaian kegiatan yang ada kaitannya dengan peningkatan popularitas. Hal ini juga tentunya termasuk membiayai tim sukses kampanyenya.

Mengapa uang sangat dominant?. Jawabannya adalah untuk membiayai semua kegiatan tersebut disetting membutuhkan uang. Tim sukses mana yang akan tetap loyal, jika calon yang diperjuangkannya tidak memiliki “uang cuku”. Jawabannya akan sangat jarang!.

Kultur di Indonesia mekanisme para calon wakil rakyat untuk mensosialisasikan visi dan misinya (peningkatan popularitas) dibebankan pada personal yang mencalonkan (Caleg yang bersangkutan) bukan menjadi tanggung jawab negara. Negara hanya memberikan anggaran secukupnya pada partai yang menjadi peserta Pemilu. Oleh karena itulah selalu  mereka yang mencalonkan menjadi anggota dewan, baik daerah, maupun pusat sebagian besar dikuasai oleh orang yang mampu secara finansial, jikapun dari golongan menengah ke bawah mereka biasanya membiayai kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas dengan cara menghutang pada pihak lain. Bagi mereka yang kurang mampu, namun memiliki lobi yang kuat dan jaringan dengan pengusaha biasanya mendapat donasi dari para pengusaha, walaupun dengan cara “menggadaikan” independensi personalnya[1]. 

Uang dan Calon Legislatif 
Secara kasat mata kebutuhan akan uang untuk seorang calon legislatif untuk daerah kabupaten/kota pengeluaran biasanya meliputi biaya kunjungan, biaya iklan, stiker, banner, kaos dan sebagainya. Yang jelas dana kampanye untuk seorang Caleg sangatlah mahal, minimal ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah silakan lihat link[2]. Biaya kampanye yang mahal ini telah menjadi mekanisme tersendiri dalam politik prosedural di Indonesia saat ini. Seolah-olah mereka yang ingin menjadi anggota DPRD/ DPR harus memiliki modal besar atau kalah tidak dapat sponsor dari para pemodal atau jalan terakhir menjual hak milik sendiri seperti rumah sekalipun atau juga meminjam kepada pengusaha atau pihak lain.

Kebiasaan ini membenntuk satu pola tersendiri dalam mekanisme politik prosedural yakni money centris mechanism. Tidak hanya sudah menjadi kesepakatan bagi subjek yang berkampanye dan tim sukses atau lingkungan pemerintahan, namun juga pola pikir masyarakat menjurus ke arah money centris. Para anggota dewan yang datang ke kampung atau desa mereka diterima dengan “diperas” dengan dalih untuk kepentingan umum, lebih parahnya lagi diperas untuk kepentingan personal belaka.

Hal di atas yang menjadikan politik indonesia bagaikan tercengkram oleh uang. Kondisi ini kalau digambarkan bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk dihindari. Akibat terburuknya adalah anggota dewan yang terpilih menjadi rakus dan orientasi pasca dia terpilihpun terkonsentrasi pada bagaimana mengganti uang dan semua kekayaan yang sudah mereka keluarkan semasa kampanye. Hal ini tentunya mengkhawatirkan, bahkan kemungkinan meningkatnya angka korupsi di tingkat pejabat dan legislatif akan semakin besar.

Akibat lainnya adalah banyaknya calon anggota dewan yang “gila” atau stress ketika tidak terpilih. Hal ini terjadi karena para  calon anggota dewan tersebut sudah habis-habisan mengeluarkan uangnya, bahkan dari hutang dan menjual rumah, mobil dan barang berharga lainnya. Akibatnya karena mental yang lemah dan kerugian pribadi (habis segalanya) yang sangat besar, mereka jadi miskin dan merasa tidak mendapat apa-apa dari proses yang sudah mereka perjuangkan. Sehingga terjadilah guncangan jiwa, stress dan sebagainya[3]. 

Inisiasi untuk Perbaikan 
Persoalan substansi yang sangat besar dalam diskusi ini adalah uang menjadi sangat dominan, paling menentukan dalam proses politik di Indonesia. Ada beberapa tawaran inisiasi dari problem di atas  : pertama, membentuk jiwa pemimpin dan pengabdian kepada masyarakat sejak dari tingkat keluarga. Konsep popularitas (popularity) sebenarnya memiliki banyak faktor penyebabnya. Bisa karena peran dan kontribusinya di masyarakat yang sudah teruji dalam jangka waktu tertentu, dijalankan secara konsisten sehingga masyarakat sekitar kemudian bisa menilai dan mengenal akan kiprahnya. Jika konsep ini dijalankan maka ketika dia memasuki panggung politik mencalonkan diri lewat partai tertentu sebagai calon legislatif, maka cost yang akan dia keluarkan untuk mendongkrak popularitas tidaklah terlalu berat, dikarenakan orang tersebut sudah memiliki investasi sosial. Kampanye pun dilakukan hanya untuk lebih memantapkan dan memasifkan visi misi ke masyarakat. Politisi yang memiliki backround yang seperti inilah yang memang pantas memasuki panggung politik Indonesia saat ini.

Jika hal tersebut digalakkan dan menjadi pola dalam model rekruitmen calon pemimpin yang berkualitas, maka tidak akan ada istilah anggota dewan malas bersidang, anggota dewan kerjanya hanya terkantuk-kantuk saat bersidang sampai anggota dewan tidak mengerti kerja dan perannya karena kerjanya cuman tidur, dan tidak akan ada anggota dewan hanya diam ketika aspirasi rakyat dan kebutuhan banyak orang dipertaruhkan. Politisi yang tidak teruji dalam persoalan pengabdian dan kiprahnya di masyarakat (apapun bidang kehidupannya) kalaupun menang dalam pemilihan, hanya karena disebabkan backing uang yang kuat dan hanya akan melahirkan politisi yang karbitan, politik sebagai ajang “mencari uang”, bukan sebagai ajang pengabdian kepada negara. Akibat yang sangat buruk adalah melahirkan politisi yang bermegah-megahan, jauh dari kehidupan rakyatnya yang serba kekuarangan, masa kampanye hanya dijadikan sebagai ajang jualan, kalau sudah laku, ditinggal begitu saja. Setelah mereka duduk ‘empuk’ di kursi kehormatan, mereka enggan untuk melihat, merasakan apalagi memperjuangkannya. Karena yang mereka perjuangkan adalah gaji yang “melambung” dan kedudukan. Mereka akan respek jika pembahasan dalam lembaganya menyangkut kepentingan mereka semisal kenaikan gaji, selain itu mereka enggan dan malas untuk membahasnya. 

Kedua, Mekanisme lainnya yang masih berjalan sampai saat ini dan jika didiamkan akan berbahaya adalah anggapan dan kultur masyarakat itu sendiri yang ‘setali tiga uang’ mengembangkan money process mechanism. Masyarakat seperti yang biasa kita lihat dalam setiap kampanye meminta segalanya kepada calon yang akan bertarung dalam Pemilu. Masih mending jika untuk kepentingan umum, tidak sedikit juga yang memanfaatkannya untuk kepentingan perutnya sendiri. Pada musim kampanye, masyarakat biasanya beranggapan bahwa mereka akan membohongi para caleg yang selama ini dianggap membohongi mereka.

Dalam banyak kasus “pemerasan” rakyat terhadap Caleg dengan iming-iming memberikan suara saat Pemilu biasa dijadikan ajang “balas dendam” untuk saling membohongi. Mekanisme ini berlaku dikarenakan kembali kepada perilaku anggota dewan yang sebelumnya (sejarah sebelumnya) yang mengecewakan para konstituen. Mereka mengecewakan dikarenakan ketidaksiapan dan ketidaklayakan mereka dalam membawa amanah rakyat. Jika tidak di cut lingkaran ini akan melahirkan mekanisme politik demokrasi yang cacat.

Begitu pula dengan media setali tiga uang, karena tidak sedikit mereka yang hanya memanfaatkan uang dari para calon. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga civil society, tidak sedikit menggadaikan independensinya karena bayaran yang sangat menggiurkan, sehingga masuk menjadi bagian “tim sukses siluman” yang mampu menset perilaku memilih masyarakat, tanpa melihat kemampuan dan treck record calon. Memang selama masih dalam wilayah kerja sama sesuai fungsinya hal tersebut  sangatlah wajar dan sehat, namun jikalau melampaui sampai masuk menjadi “tim sukses yang tersembunyi” karena bayaran inilah yang membuat mekanisme politik mengalami kecacatan. Semoga dengan upaya semuanya dari elemen bangsa ini, kecacatan-kecacatan yang membahayakan negeri secara pelan-pelan ini bisa diminimalisir. Amin.



[1] Biasanya para penguasaha mau membiayai “jagonya”, jika ia mau berkerja sama memperjuangkan kepentingan pengusaha tersebut, terutama yang terkait dengan kebijakan publik.
[3] Kasus pasca Pemilu 2004 , banyak calon anggota dewan yang tumbang, bahkan gila ketika tahu tidak lolos. Mereka kehilangan segalanya termasuk rumah dan hutang yang menumpuk.

Sumber Gambar Ilustrasi :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/08/06/61693/Ramai-Warga-Cabut-Laporan-Politik-Uang

1 komentar:

  1. Meskipun kurang ngerti nih tulisan, tapi masih nyangkut" lah..wkwk..

    ReplyDelete