Rezim dan Gerakan Mahasiswa Islam

Perjuangan Eksistensi Himpunan Mahasiswa Islam 
Majelis Penyelamat Organisasi dalam Melawan Hegemoni Rezim 
 Oleh : Subhan Agung, S.IP, M.A.


Sudah menjadi ciri khas dan watak penguasa yang selalu lebih berkuasa dibandingkan rakyat. Keberkuasaan negara atas rakyatnya paling tidak disebabkan oleh: pertama, negara memiliki wewenang --yang sebenarnya dikuasakan oleh rakyat-- untuk mengatur kehidupan bernegara, bahkan sampai pada ranah-ranah individu jika ranah itu berkaitan dengan relasi antar-individu. Kedua, negara memiliki kewenangan untuk menentukan nasib masyarakat yang berhubungan dengan berbagai lini kehidupan yang berpengaruh bagi nasib banyak orang. Ketiga, negara memiliki kemampuan memaksa (power to force) sekaligus merekayasa masyarakat dan negara atas dasar kepentingan rakyat dengan legalisasi hukum positif negara tersebut.
  
Dari penyebab-penyebab di atas, keberkuasaan negara atas rakyat tidak bisa diterima begitu saja (taken for granted) seperti yang sering terjadi dalam realita kenegaraan. Secara konseptual hal tersebut di atas bukan mustahil akan menjadi malapetaka besar bagi negara itu sendiri yang mau tidak mau menempatkan penguasa (the elite) dengan rakyat (the mass) pada posisi vis a vis jika kewajaran di atas melalaikan satu hal penting, yakni apa yang disebut Thomas Hobbes (1588-1679) dalam Deliar Noer (2001;115)[1] sebagai perlindungan atas rakyat dalam pengambilan seluruh kebijakan yang berkaitan dengan nasib mereka.

Bukanlah sesuatu yang mengejutkan ketika Rezim Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun di negeri ini disebut-sebut sebagai rezim yang hegemonik. Hegemonisasi rezim Soeharto terhadap masyarakat sangat luar biasa, di mana rezim ini sangat teliti dan “licin” dalam mengawal proses hegemoninya dengan memasuki seluruh lini kehidupan dalam cengkeramannya.

Daniel Levy dalam Philip G. Altbach (1991;186) mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun 1985 rezim Orba sudah memantapkan dirinya sebagai Modern Authority Regime. Konstruk politik semacam ini dicapainya setelah melalui serangkaian penaklukan terhadap berbagai elemen kekuatan politik. Langkah-langkah penaklukan tersebut dapat teridentifikasi dalam hal-hal berikut: pertama, secara politik rezim ini menyederhanakan partai-partai menjadi tiga saja[2] dengan Golkar sebagai partai dominan yang juga dijadikan tunggangan politik serta membuat braind-image tentang perfeksionisme partai ini. Kedua, peran militer yang saat itu nota bene di bawah kekuasaannya diperluas meliputi wilayah publik yang disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Ketiga, dikuasainya lini-lini kehidupan publik yang cukup strategis melalui lembaga-lembaga yang dapat terpantau langsung oleh Soeharto dan “kaki-tangannya”, misalnya KORPRI dan Dharma Wanita di organisasi Pegawai Negeri Sipil, Ormas-Ormas semacam HMI, GMNI, PMII, GMKI dan lainnya dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), ICMI untuk para cendekiawan, HKTI untuk petani, HNSI untuk para nelayan dan contoh-contoh lainnya yang kesemuanya menggiring mereka untuk  monoloyalitas pada Rezim Soeharto. Keempat, melakukan pemberangusan terhadap pers-pers nasional yang cenderung membongkar kebobrokan pemerintah, contoh pemberangusan Majalah Tempo dan beberapa majalah nasional lainnya.

Selain pola-pola penaklukan yang dilakukan rezim Soeharto di atas, ada juga hegemonisasi yang sangat monumental dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia dan sulit terlupakan sebagai salah satu “lambang nyata” tindakan hegemonik Rezim Soeharto. Seperti kita ketahui, Rezim Soeharto pada awal masa pemerintahannya mendapat dukungan besar dari elemen masyarakat termasuk gerakan mahasiswa yang di antaranya HMI. Keberhasilan Soeharto yang mampu mencitrakan dirinya sebagai “pahlawan” atas penumpasan terhadap para penculik dan pembunuh jenderal-jenderal dalam G 30 S/PKI mampu melenakan mahasiswa untuk mendukung sepenuhnya pemerintahan ini. ” Kemesraaan“ pemerintah dengan mahasiswa berlangsung sampai kurun waktu 1969-an. Awal 1970-an bisa dikatakan sebagai awal merenggangnya “bulan madu” Rezim Soeharto dengan mahasiswa.

Merenggangnya hubungan pemerintah dengan mahasiswa dipengaruhi kuat oleh: pertama, strategi developmentalism Soeharto di mana pembangunan lebih cenderung “dipanglimai” oleh persoalan ekonomi semata yang mau tidak mau menggiring pemerintahan ini menjadi comprador Barat (baca: Amerika Serikat dan kroni-kroninya di wilayah Uni Eropa). Hal ini dapat diidentifikasi dengan banyak masuknya perusahaan asing ke negeri ini, di pihak lain mematikan potensi pengusaha menengah ke bawah yang nota bene merupakan asli pribumi dan mayoritas penduduk bangsa ini. Kedua, kebijakan pemerintah yang lebih banyak berpihak pada pengusaha “kelas kakap” dan asing, tetapi melalaikan yang menengah ke bawah. Ketiga, banyaknya penyelesaian permasalahan bangsa yang melibatkan rakyat lebih disikapi secara represif dan militeristik.

Dari tiga penyebab di atas, maka gelombang protes mahasiswa pun semakin menggila. Puncaknya terjadi peristiwa berdarah tanggal 15 Januari 1974 (Malari) di mana pemerintahan Soeharto dipermalukan di depan “tamu istimewanya” dari Jepang, yakni Perdana Menteri Tannaka. Maka secara parsial bisa dikatakan bahwa kejadian ini merupakan titik-tolak terbukanya tabir “kejahatan politik” Soeharto. Hegemonik dan represif Soeharto pun terbuka dengan jelas, terutama lewat kebijakan-kebijakan Rezim ini yang mengarah pada pembelengguan atau lebih tepatnya pemberangusan.

Tindak lanjut dari kejadian di atas, Soeharto lewat antek-anteknya memberlakukan serentetan kebijakan[3] untuk memberangus kekuatan elemen gerakan mahasiswa. Pengetatan kontrol atas Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawatan Mahasiswa dilakukan melalui Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974, SK ini memberikan wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa.

Selanjutnya 4 tahun kemudian muncul SK Mentri P dan K No. 01/V/1978 tentang NKK/BKK yang semakin menyempurnakan “pengebirian” potensi kekuatan politik mahasiswa. Untuk selanjutnya DM dan BPM sebagai alat perlawanan juga dibubarkan dan dibuatkan bentuk baru yang lebih terbatas. Dalam payung Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), Senat Mahasiswa (SM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai organisasi intern kampus secara formal berhasil dibuat tertib. Masa 1978 hingga 1984 adalah saat-saat vacuum of power elemen gerakan mahasiswa. Dalam situasi kampus semacam ini sejumlah mahasiswa mulai sadar, bahwa kampus tidak lagi memberikan ruang yang kondusif bagi pengembangan pemikiran dan arena gerakan mahasiswa.

Puncak dari “kegilaan” Rezim Soeharto untuk melumpuhkan kekuatan masyarakat khususnya mahasiswa, yaitu dengan dikeluarkannya kebijakan Asas Tunggal Pancasila lewat UU Keormasan No. 8 Tahun 1985 tentang Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila,[4] di mana semua organisasi tanpa terkecuali harus memakai Pancasila sebagai asas organisasinya. Kebijakan ini sangat mempengaruhi gerakan mahasiswa, bahkan tidak sedikit menimbulkan konflik internal di beberapa organisasi kemahasiswaan yang ada saat itu.

Dampak di atas tidak terkecuali dirasakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Perseteruan di tubuh himpunan yang pro-Asas Tunggal dan yang kontra telah menimbulkan dualisme yang menyakitkan mereka, bahkan dampaknya masih terasa dan berlangsung sampai saat ini. HMI yang menerima Asas Tunggal Pancasila di kongres ke-16 Medan kemudian dikenal HMI Diponegoro (HMI Dipo), sedang HMI yang menentang kemudian dikenal dengan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang pada awalnya dimotori oleh delapan cabang besar, yakni Jogjakarta, Jakarta, Makassar, Purwokerto, Pekalongan, Tanjung Karang, Bandung dan Metro Lampung (Berkas Putih HMI, 1986: zonder hal.).

Tentang awal terbentuknya Majelis Penyelamat ini secara jelas diungkap oleh M. Choeron (Ketua Umum HMI Cabang Jogjakarta periode 1986/1987) seperti dalam pernyataannya :
”Awal munculnya MPO merupakan ketidakpuasan cabang-cabang terutama sembilan cabang besar saat itu tentang kesimpangsiuran sikap PB terhadap pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila. Kekecewaan memuncak ketika PB dalam rapat pleno Majelis Pekerja Kongres (MPK) di Ciloto menetapkan Pancasila sebagai asas organisasi ini dan untuk selanjutnya diusulkan di Kongres ke-16 Padang, Sumatera Barat. Ketidakpuasan akhirnya bermuara pada pembentukan MPO dengan mengumpulkan ratusan tanda tangan dan menyatakan sikap untuk memboikot kongres Padang. Saya sebagai wakil cabang Jogja membawa aspirasi 23 ribu lebih anggota HMI”. (Ibid, lembaran pertama)
 HMI MPO melakukan ”pembangkangan” ini tidak sendirian[5], tetapi bersama Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemuda Marhaenis. Berbagai ujian dan cobaan bisa dibayangkan pasti dirasakan oleh ketiga organisasi ini dari mulai dicap komunis, pemberontak aliran kiri, berbahaya, radikal dan menyesatkan. Tidak hanya sebatas itu, pemerintah juga melakukan tindakan represif terhadap organisasi tersebut. Misalnya penggerebekan saat Latihan Kader I (semacam rekruitmen kader) dan ancaman penjara bagi para pengurusnya (Karim,1997:15).

Strategi gerakan ”bawah tanah” yang dilakukan ketiga organisasi semasa Orba di atas dalam dinamikanya terjadi naik-turun. Tercatat hanya HMI MPO-lah yang secara institusional dan gerakannya sampai saat ini eksis, malah di beberapa daerah seperti Jogja, Makassar dan Jakarta, kuantitas mereka sangat dominan. Sedangkan Pemuda Marhaen nasibnya saat ini tidak ketahuan. PII memang eksistensi gerakannya sampai saat ini masih sering kedengaran, tapi secara institusi mereka mengalami kevakuman total dan sudah sulit ditemukan di daerah-daerah.

Awalil Riezky ( 1996:47) menyebutkan, bahwa belum pernah organisasi HMI menemukan kegairahan berorganisasi selain kurun waktu 1989-1996-an --justru merupakan puncak kekuasaan Rezim Orba--, di mana wacana-wacana yang diproduksi benar-benar merupakan murni hasil dari dialektika para kadernya,  tradisi menulis sebagai salah satu ciri tingginya apresiasi terhadap ilmu pengetahuan, cukup tinggi. Ini yang membuat “ajaib”, karena organisasi ini hidup dengan “dikejar-kejar pasukan loreng” serta senantiasa mendapat teror dan nasib mereka pun setiap saat terancam.

Selama kurun waktu 1989-1997 ada hal-hal yang membuktikan kegairahan HMI MPO sebagai gerakan “bawah tanah”. Pertama, periode itu disebut-sebut sebagai puncaknya dialektika ilmu pengetahuan di antara kader-kadernya dengan banyaknya kader yang kreatif menuangkan buah fikirannya dalam bentuk buku, artikel dan opini lainnya baik eksklusif tentang HMI maupun umum. Salah satu karya tulis monumental yang memiliki nilai ideologis HMI MPO adalah Khittah Perjuangan.[6], Selain itu juga ada karya yang biasa menjadi rujukan tentang HMI MPO, baik di dalam negeri maupun luar negeri yakni HMI dan Kemelut Demokrasi di Indonesia yang ditulis oleh M. Rusli Karim sebagai tesis studinya di Ohio State University. Kedua, dalam waktu yang relatif singkat HMI MPO dapat membenahi struktur dan kuantitasnya dengan sembunyi-sembunyi melakukan rekrutmen Latihan Kader I, sehingga menjadi salah satu organisasi besar yang disegani di negeri ini. Ketiga, terus bergulirnya wacana counter hegemony rezim  yang terlihat dari isu utama mereka seperti ”Memperkuat Jiwa Profetik Kader dalam Pembelaan Kaum Mustad’afien”, ”Revolusi Sistemik : Ikhtiar Menegakkan Hak-hak dan Partisipasi Kaum Lemah yang Humanis dan Transenden Menuju Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Ghafur” dan ”Penguatan Masyarakat Sipil dalam Pembelaan Kaum Terpinggirkan”.(LPJ PB HMI, 2005:4).

Isu utama yang mereka usung tentu bukan “isapan jempol” semata, tapi cukup masif dalam bentuk gerakan organisasi, seperti Aksi Massa, Seminar, Diskusi, Bakti Sosial dan aksi lainnya. Nama yang mereka gunakan merupakan nama-nama samaran (institusi kantong). Hal ini dilakukan untuk mengelabui para aparat yang senantiasa mengawasi berbagai gerakannya.

Perlawanan HMI MPO sebagai satu-satunya organisasi yang menolak Asas Pancasila di saat Rezim sedang berkuasanya perlu kita apresiasi. Kekuatan apa yang menjadikan mereka begitu berani melakukan langkah berseberangan dengan rezim yang sedang berkuasanya. Namun, yang lebih menarik bagi peneliti ádalah penentangan mereka pada rezim pasca Soeharto. Seperti apa konsistensi perlawanan mereka terhadap penguasa setelah tumbangnya rezim Soeharto —baca :Rezim Habibie--, yang bukan mustahil memunculkan hegemonisasi baru, berhubung watak penguasa adalah hegemonik (power tend to hegemonic). Bukanlah sesuatu yang mudah mengidentifikasi hegemonisasi Rezim Transisi Habibie, Namur peneliti ingin melihat mampukah HMI MPO tetap iritis dan membaca kemungkinan hegemonisasi tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti memilih studi Counter Hegemony Gramsci sebagai kerangka teoritik utama, paling tidak ada dua alasan penting seperti yang diungkap Simon (1999:21) yakni : pertama, penjelasan Gramsci tentang dua kekuatan utama yang berasal dari satu unsur, yakni rakyat dalam kekuatan Kepemimpinan Dominan, yang senantiasa dipegang oleh rezim penguasa serta pengawal dominasi yang senantiasa diwakili oleh Kepemimpinan Intelektual peneliti anggap bisa menjadi bingkai teoritik untuk menjelaskan fenomena perlawanan HMI MPO atas proses hegemoni rezim yang dalam proses sejarah telah terbukti proses perlawanannya dari berbagai gerakan mereka yang selalu kontra pemerintah dalam membidik kebijakan-kebijakan yang kontra-produktif dengan kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak.

Dalam hal ini analisis Gramsci penulis anggap lebih sesuai dengan konteks perlawanan HMI MPO dalam mengawal rezim dibanding misalnya analisis ”reduksi” dari Marx yang sekarang banyak bertebaran, di mana konflik yang diharapkan tercipta oleh karena over-produksi yang dialami kapitalisme lebih pada utopia. Koherensi konflik internal kapitalisme dan juga antar kelas (ploletar dan borjuis), sebenarnya dimaksudkan bukan dalam kerangka menunggu datangnya revolusi, tetapi perubahan harus diciptakan oleh masyarakat yang mampu mengawal penguasa. 

Kedua, untuk memperkuat argumen Kepemimpinan Intelektual, Gramsci dalam Putra (1998;15) memberikan sampel kualifikasi personal yang membentuk Masyarakat Intelektual dengan terma Intelektual-Organik, yakni seseorang yang tidak hanya memahami teori sebagai teori yang terlepas dari realitas sosial, namun juga mereka yang mampu memanifestasikan potensi perubahannya dalam realitas sesungguhnya, bagaimana saat berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang mendominasi. Cita-cita Gramsci tadi jelas sangat mirip dengan apa yang diidam-idamkan oleh HMI pada umumnya dan HMI MPO pada khususnya, yakni pembentukan karakter intelektual yang respek atas kondisi  di sekitanya. Hal ini bisa dilihat dalam tujuan HMI maupun HMI MPO yang lebih terkonsentrasi pada pembentukan karakter intelektual-transformatif (intelektual yang respek atas kondisi objektif di sekitarnya).[7] Prioritas utama tujuan mereka yang termanifestasi dalam gerakan mereka yang lebih menonjolkan intelektualitas inilah yang menimbulkan image, bahwa HMI MPO liberal dalam pemikiran Islamnya, belum lagi hal ini diperkuat dengan alumni-alumninya yang memiliki pemikiran ke-Islaman modernis (banyak kalangan menyebutnya liberal).

Daftar Pustaka 
Al-Mandary, Syafinuddin, 2002, HMI MPO dan Transformasi Sosial, Penerbit Hijau-Hitam, Jakarta.
Gramsci, Antonio, 2001, Catatan-Catatan Politik, Pustaka Promethea, Surabaya.
Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci : dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Mizan, Bandung.
Maliki, Zainuddin, 2002, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
Patria, Nezar dan Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni,  Cet I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sitompul, Agussalim, 1986, HMI dan Perannya bagi Negara, Ghalia dan IAIN SUKA Press, Yogyakarta.

Sumber lain :      
Anggaran Dasar HMI, tahun 1983-1986, Jakarta.
Anggaran Dasar HMI MPO tahun 2005-2007, Jakarta.
Buku Putih HMI MPO, Jogjakarta, 1987.
Dokumen Pusat Pengendalian dan Gangguan Departemen Sosial DKI Jakarta.
Kumpulan Kliping Pengurus Besar Sementara (PBs) HMI MPO, Jakarta, 1987.




[1] Buah pikiran Hobbes tentang Kemerdekaan Warga Negara merupakan salah satu esensi yang terdapat dalam tulisan monumentalnya  yang berjudul Leviathan.
[2]PDI dan PPP merupakan partai pendamping dihampir selama 30-an tahun di bawah Golkar.
[3]Seluruh kebijakan diwadahi dalam paket UU Politik tahun 1985, dengan demikian kontrol dan kooptasi rezim benar-benar efektif  terhadap elemen kekuatan masyarakat.
[4]UU ini dikemudian hari dikukuhkan kembali dalam TAP MPR No. XX/1996.
[5]Nasib Pemuda Marhaen sampai sekarang tidak diketahui riwayatnya. Organisasi ini sering disebut-sebut sebagai organisasi aliran kiri yang dianggap menggabungkan ajaran Marx dengan sosialisme ke-Indonesiaan.
[6]Tulisan yang disusun oleh tim yang beranggotakan Awalil Riezky, Suharsono dan M. Choeron, (ketiganya dari cabang Jogjakarta) serta M. Nuski Zetka (cabang Purwokerto) merupakan Tafsir Organisasi yang menyangkut Asas, Tujuan dan Sifat Organisasi.
[7]Tujuan HMI HMI MPO adalah : terbinanya mahasiswa Islam menjadi Insan Ulil Albab, yang turut bertanggung jawab atas terbentuknya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT (Anggaran Dasar HMI MPO tahun 2005-2007).


 Sumber Gambar Ilustrasi :

kabarnet.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment