New Institutionalism dalam Ilmu Politik

Review Perkuliahan Scope and Political Method, Pasca Politik dan Pemerintahan UGM, 2009

Oleh: Subhan Agung, M.A.


New Institutionalism merupakan salah satu paradigma yang berkembang dalam ilmu politik. Paradigma ini merupakan kritik atas pendahulunya, yaitu Institutionalism. Seperti diketahui bahwa Institutionalism memiliki karakter utama, yakni : pertama, cita-cita politik yang berkembang dalam sejarah politik Barat dijelmakan dalam hubungan-hubungan khusus antara penguasa dan rakyat[2]. Kedua, selalu memiliki ciri khas dimana aturan, prosedur, dan organisasi pemerintahan menjadi starting point dalam diskursus politik kenegaraan.
 
Cara pandang tersebut tentu saja memiliki kelemahan di mana cenderung menganggap tidak penting aktor politik sebagai inisiator. Pembentukan atau perubahan sebuah institusi, tidak dapat dilepaskan dari kepentingan aktor inisiatornya. Dalam konteks untuk menjawab kelemahan inilah muncul cara pandang yang mengoreksi Institutionalism, yakni New Institutionalism.

Menurut fokus perhatian New Institutionalisme dibedakan dalam beberapa pendekatan turunan yakni Rational Choice Institutionalism, Sociological Institutionalisme, dan Historical Institutionalism (Campbel, 2004)[3].

Pertama, Rational Choice Institutionalism merupakan aliran pendekatan institutionalisme baru yang sangat kentara dipengaruhi oleh tradisi behavioralis yang menganggap bahwa interaksi manusia merupakan manifestasi dari kepentingan diri individu. Menurut Hall dan Taylor (1996,146)[4] menganggap bahwa aktor, baik individu maupun organisasi selalu memiliki seperangkat preferensi atau selera yang baku. Untuk mencapai preferensi-preferensi tersebut, aktor akan bertindak dan berperilaku secara instrumental, bertindak strategis dan membuat kalkulasi yang komprehensif untuk tercapainya tujuan yang diinginkan. Rational Choise memiliki fokus utama pada persoalan bagaimana aktor-aktor yang ada membangun dan merubah institusi untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Institusi juga dianggap hadir untuk menata interaksi-interaksi aktor dengan cara mempengaruhi apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak. Selain itu institusi juga diharapkan bisa melanjutkan agenda dan preferensi individu dan organisasi.

Kedua, Sociological Institutionalism merupakan institutionalism yang berfokus pada upaya institusi untuk mampu menyediakan identitas dan makna interaksi sosial. Selain itu juga concern pada bagaimana institusi mempengaruhi pilihan dan identitas aktor. Menurut Campbel (2004:17) cara pandang ini melihat bahwa lingkungan (nilai dan identitas) akan mempengaruhi pilihan dan strategi aktor politik dalam institusi. Perubahan dan pembentukan institusi harus mempertimbangkan faktor eksernal institusi.

Ketiga, institusionalisme historis (historical institutionalism. Berbeda dengan institusionalisme sosiologis, institusionalisme historis mengacu pada catatan sejarah. Institusionalisme historis menempatkan analisis sejarah dan penelitian-penelitian lain dalam memahami fenomena institusinya. Sedangkan institusionalisme politik berusaha menunjukkan kekuatan yang jelas serta menekankan peran kausal institusi politik terhadap proses dan hasil politik[5].

Ketiga pendekatan ini meruapakan pendekatan-pendekatan yang biasa digunakan dalam berbagai analisa politik. Berbicara pendekatan, maka tentu saja memiliki kelemahan selain tentunya kelebihan. Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian dikritik oleh pendekatan-pendekatan lainnya seperti konstruktivis, positivist, dan pendekatan lainnya. Hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Yang terpenting dalam cara pandang adalah konsisten dan memiliki argumentasi yang mampu membuktikan kesimpulan kita.

Cara pandang dalam analisa politik bagaikan ruh yang sangat penting untuk membangun positioning dan pemihakan penulis atau pengkaji akan satu tema politik tertentu. Dalam satu kondisi cara pandang ini dapat dijadikan frame dalam mengarahkan kajian untuk menghasilkan kesimpulan yang mampu dipertanggungjawabkan secara metodis.

Memang membicarakan metode ilmu politik harus disertai dengan mengkaji lebih lanjut metode penelitian politik, sebagai manifestasi konsekuensi memilih satu pendekatan tertentu. Satu pendekatan mungkin tidak cocok dengan metode penelitian tertentu. Semisal jika kita memilih cara pandang behavioralisme dalam kajian tema politik kita, maka akan lebih efektif mengkajinya dengan menggunakan metode yang biasa digunakan postivist, karena meneliti perilaku politik seseorang akan lebih mudah dengan menggunakan tradisi penelitian kuantitatif, dibanding kualitatif. Sehingga lebih cocok jika menggunakan tradisi positivist. Hal ini akan dibahas lebih detail dalam postingan saya selanjutnya tentang hubungan metodologi ilmu politik dengan metode penelitian. (Terima kasih, Subhan).



[1] Pengampu bapak Prof.DR. Mohtar Mas’oed, MA, DR. I. Ketut Putra Erawan dan  Dra. Ratnawati, SU
[2] Lihat dalam Apter, David,  1996, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta, halaman 136
[3] Campbel, John L, 2004,  Institutional Change and Globalization, Princeton University Press, Princeton.
[4] Hall, P. A., & Taylor, R. (1996). Political Science and the Three Institutionalism. Political Studies, 44, 936-957
[5] Lutviah, 2011, Media Massa dan Institusi Politik, dalam http://lutviah.net/category/teori-dan-perspektif-komunikasi/, diakses tanggal 21 Februari 2012.

5 komentar:

  1. Kunjungi dan jangan lupa komment ya..Thanks..

    ReplyDelete
  2. nah loh kenapa diputus-putus gan postingannya.

    ReplyDelete
  3. Fazri, maaf atas ketidaknyamanan anda..Sengaja postingannya saya putus, di derect ke blog satu lagi karena loading berat, kelebihan bandwidt maklum hosting free.. Jadi mohon maaf, untuk mekanjutkan membaca tinggal klik saja link dibawahnya gan. Makasih

    ReplyDelete
  4. artikel yang di sajikan selalu menarik, terimakasih gan, saya akan selalu mampir untuk membaca artikel-artikel politiknya..klau ada waktu mampir http://aguzssudrazat.blogspot.com/

    ReplyDelete